Integritas Mota Dan Siasat Mundur Ardian

1 month ago 14
Editorial

12 Agustus 202512 Agustus 2025

Integritas Mota Dan Siasat Mundur Ardian

Ukuran Font

Kecil Besar

14px

Jika Mota pergi karena merasa tak pantas, Ardian justru datang karena merasa “sangat pantas”.

Dalam dunia pejabat publik Indonesia, ada dua jenis “mundur”. Pertama, mundur yang lahir dari rasa malu—sebuah kesadaran bahwa jabatan adalah amanah yang tak pantas dipegang jika kontribusi tak sebanding dengan harapan. Joao Angelo De Sousa Mota memilih jalan ini. Ia menanggalkan kursi Direktur Utama PT Agrinas Pangan Nusantara karena merasa tak mampu memenuhi janji swasembada pangan yang menjadi program strategis Presiden Prabowo Subianto. Tidak ada desakan, tidak ada skandal besar—hanya rasa malu dan integritas yang mendorongnya pergi.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Mota bicara lantang soal minimnya dukungan stakeholder dan rumitnya birokrasi. Ia pergi sambil menunjukkan cermin: masalah di BUMN pangan bukan hanya soal individu, melainkan soal sistem yang berkarat. Mundurnya Mota adalah bentuk “keberanian untuk kalah”—ini namanya kemewahan moral yang jarang ditemukan di republik ini.

Namun, ada jenis mundur kedua—mundur yang seperti permainan kursi musik. Keluar dari satu pintu, masuk ke pintu lain yang lebih empuk. Ardian Surbakti adalah contoh segar dari jenis ini. Februari lalu ia mundur dari jabatan Direktur Utama PUD Pembangunan Kota Medan, alasan resminya “fokus mengembangkan usaha di luar kota.” Tetapi beberapa bulan kemudian, ia justru kembali menjabat—kali ini sebagai Direktur Perumda Tirtanadi, sebuah perusahaan daerah yang dikenal sebagai “lahan basah” proyek.

Sulit menahan senyum getir melihat “fokus di luar kota” bisa berbelok menjadi “fokus di pipa air” yang mengalir deras anggaran. Apalagi Ardian bukan nama asing di lingkaran Bobby Nasution. Ia adalah relawan Bobby di Kabupaten Karo saat Pilkada, dan kini bergabung dengan dua tim sukses lain yang lebih dulu duduk di kursi strategis Perumda Tirtanadi. Jika Mota pergi karena merasa tak pantas, Ardian tampak justru datang karena merasa sangat pantas—atau setidaknya, dianggap pantas oleh patron politiknya.

Di sini, kita melihat dua wajah pejabat Indonesia. Wajah pertama adalah wajah yang berkeringat karena gagal, lalu menunduk dan melangkah pergi. Wajah kedua adalah wajah yang tersenyum percaya diri, meski publik bertanya-tanya soal kompetensi dan integritas. Wajah pertama langka, wajah kedua penuh siasat, terlalu sering kita lihat.

Dalam filsafat politik, jabatan publik adalah kontrak moral antara pejabat dan rakyat. Dalam praktik politik kita, jabatan publik sering kali dijadikan kontrak sosial antara pejabat dan patronnya. Mota membatalkan kontraknya dengan negara karena tak sanggup memenuhi bagiannya. Ardian tampak memperbarui kontraknya dengan patron karena diduga kuat ingin mengamankan kebijakan “strategis”.

Pertanyaannya, apakah kita mau negeri ini diisi oleh lebih banyak “Mota” yang malu ketika gagal, atau “Ardian” yang hanya malu-malu—lalu kembali duduk di kursi yang berbeda?

Sebab jika yang kedua lebih dominan, integritas akan tinggal jargon di pidato, sementara kebocoran akan menjadi bisnis yang tak pernah kering di pipa yang terus berkarat. Dan di pojok panggung, Ardian duduk nyaman, menunggu giliran memutar “keran proyek” sang majikan. Itulah bedanya dengan Mota!

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |