Jakarta, CNBC Indonesia - Pada awal perdagangan hari ini, investor dibuat gemetaran usai Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terjun bebas bahkan sampai terkena trading halt karena ambruk lebih dari 8%. Penurunan yang terjadi sebenarnya telah diprediksi oleh para pelaku pasar sebelumnya, melihat dari pergerakan Wall Street dan Bursa Asia pada perdagangan kemarin.
Sebelum pasar saham dibuka hari ini, Selasa (8/4/2025), pemangku jabatan Bursa Efek Indonesia (BEI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memutuskan untuk menaikkan batas trading halt atau penghentian sementara perdagangan di pasar modal.
BEI akan menghentikan perdagangan selama 30 menit apabila Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok lebih dari 8% dalam satu hari bursa yang sama. Angka ini naik dari sebelumnya 5%.
Lalu bila IHSG mengalami penurunan lanjutan hingga lebih dari 15% pada hari yang sama, trading halt akan kembali dilakukan selama 30 menit. Bursa akan melakukan suspensi pasar hingga akhir sesi atau lebih dari 1 sesi perdagangan bila penurunan berlanjut hingga lebih dari 20% pada hari yang sama.
Selain itu batas auto rejection bawah (ARB) juga diubah menjadi 15%. Sebelumnya Bursa memberlakukan ARB dan auto rejection atas (ARA) simetris.
Penurunan IHSG pagi ini Selasa (8/4/2025) dengan jatuh 9,19% dan sempat menyentuh 5.912,06 merupakan penurunan terburuk sejak 10 Desember 2020 yang menyentuh level 5.911,91 pada perdagangan intraday terendah. Namun, penurunan tersebut belum mampu menyingkirkan rekor terendahnya IHSG pada 20 Maret 2020 di level 3.911,72.
Penerapan tarif resiprokal ke 160 negara, termasuk Indonesia yang digaungkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump mendorong kekhawatiran pasar terhadap pertumbuhan ekonomi.
AS akan memberlakukan tarif bea impor dengantarif dasar 10% pada semua impor ke AS dan bea masuk yang lebih tinggi pada puluhan negara lain.
Tarif impor ke China akan diberlakukan 34%, 20% untuk Uni Eropa, 25% untuk Korea Selatan, 24% untuk Jepang, dan 32% untuk Taiwan.
Selain itu, pemerintahan Trump juga memberlakukan tarif timbal balik khusus negara terhadap negara-negara yang dituduh melakukan praktik perdagangan tidak adil. Di antaranya termasuk India, Vietnam, dan Uni Eropa. Tarif ini disesuaikan sekitar setengah dari tarif yang negara-negara tersebut kenakan terhadap barang AS.
Karena itu, Kementerian Perdagangan China gerak cepat menyatakan pada Jumat (4/4/2025) bahwa mereka akan memberlakukan tarif sebesar 34% pada semua produk AS. Pernyataan ini mengecewakan para investor yang sebelumnya berharap kedua negara akan berunding terlebih dahulu sebelum mengambil langkah balasan.
Tarif timbal balik itu menandai bahwa saat ini dunia sudah berubah cenderung pada kebijakan proteksionisme. Hal ini menjadi tanda dimulai perang dagang yang bisa memicu pergolakan pada perdagangan dan pertumbuhan ekonomi dunia.
Sementara itu kabar terbaru, Trump mengatakan akan mengenakan tarif tambahan sebesar 50% atas impor dari China jika Beijing tidak mencabut kebijakan tarif balasannya pada hari Selasa, (8/4/2025).
Ancaman yang dirilis melalui platform Truth Social ini menandai eskalasi terbaru dari konflik dagang yang telah menyebabkan kejatuhan pasar saham global selama tiga hari berturut-turut, sejak Trump mengumumkan perang tarif terhadap mitra dagang AS pekan lalu.
Saat itu, Gedung Putih mengumumkan pengenaan tarif 34% terhadap impor dari China. Tak lama kemudian, pemerintah China membalas dengan memberlakukan tarif yang sama terhadap barang-barang asal AS.
Namun, Trump menyebut bahwa tindakan balasan dari China adalah bentuk pengabaian terhadap peringatan keras yang telah ia keluarkan sebelumnya.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(saw/saw)