IHSG dan Rupiah Kompak Anjlok, Ini yang Sebenarnya Terjadi!

1 week ago 10

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok signifikan sepanjang Februari 2025, menandai level terpuruk selama tiga tahun terakhir.

Pada akhir pekan lalu, Jumat (28/2/2025) IHSG mengakhiri posisi di 6.270,60, anjlok 3,31% atau 214,85 poin dalam sehari. Depresiasi ini semakin menambah daftar panjang zona merah sepanjang Februari menjadi ambles 11,80%.

Tak hanya IHSG, mata uang Garuda juga terpantau keok di hadapan dolar Amerika Serikat (AS), bahkan menyentuh level terparah sepanjang masa. 

Dilansir dari Refinitiv, rupiah ditutup melemah 0,79% di angka Rp16.575/US$ pada perdagangan terakhir pekan ini, Jumat (27/02/2025). Posisi ini merupakan yang terparah sepanjang sejarah.

Secara mingguan, rupiah ambruk 1,69%. Hal ini lebih parah dibandingkan dengan performa minggu sebelumnya yang terdepresiasi 0,28%. Dalam sebulan, rupiah sudah ambruk 1,69% dalam sebulan atau terdalam sejak April 2024.

Pelemahan ini juga memperpanjang tren negatif mata uang Garuda. Rupiah sudah terpuruk sejak Oktober 2024 atau lima bulan terakhir. Situasi ini yang terburuk sejak Mei-Oktober 2023 di mana rupiah melemah selama enam bulan beruntun.

Periode pelemahan rupiah sejak Oktober 2024 berbarengan dengan terpilihnya Presiden Donald Trump pada pemilu 5 November 2024 serta periode awal pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

Bila dihitung sejak 5 November 2024, rupiah sudah turun Rp 845 atau 5,1%. Pelemahan rupiah sangat cepat dan berganti level dari Rp 15.000 kini mendekati Rp 17.000.
Pergerakan rupiah yang terus melemah ini lebih disebabkan oleh faktor eksternal, terutama terpilihnya Donald Trump. CNBC Indonesia merekap beberapa sentimen sepanjang pekan terakhir dan kemungkinan masih akan mempengaruhi pasar awal Maret :

1. Tarif Trump Bikin Tantrum

Pasar keuangan Tanah Air tak luput dari Trump yang kembali bikin ulah. Hal ini tak lepas dari kebijakan tarif yang kembali memicu perang dagang.

Setelah sebelumnya menunda kebijakan tarif untuk Meksiko dan Kanada selama 30 hari sejak 4 Februari lalu. Kini tarif impor untuk dua negara itu akan diberlakukan sebesar 25% mulai 4 Maret besok.

Tak terkecuali, tarif impor barang dari China juga akan dikenaikan tambahan impor sebesar 10% jadi totalnya 20% mulai esok hari juga.

Keputusan ini memperkuat kebijakan proteksionisme ekonomi yang menjadi ciri khas pemerintahannya, sekaligus menambah ketidakpastian di pasar global.

Trump juga menegaskan bahwa tanggal 2 April akan tetap menjadi hari berlakunya kebijakan tarif timbal balik (resiprokal) yang ia canangkan.

2. Rebalancing MSCI + Downgrade Saham Indonesia

Pergerakan pasar juga diguncang rebalancing MSCI edisi Maret 2025 yang menggunakan cut off pada 28 Februari lalu.

Hal tersebut akhirnya berdampak pada fluktuasi sejumlah saham yang keluar seperti saham PT Indah Kiat Pulp & Paper Corp Tbk (INKP), PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA) dan PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR).

INKP dan UNVR pada akhir pekan lalu terbilang turun signifikan di kisaran lebih dari 15%.

Belum selesai sampai di situ, Morgan Stanley juga menurunkan rating Indonesia dari Equal Weight (EW) menjadi Underweight (UW).

Sebaliknya, MSCI menaikkan rating China dengan pertimbangan perbaikan return on equity (ROE) yang didorong oleh saham di sektor teknologi.

Sebagai catatan juga, dalam beberapa tahun ini, MSCI memang sudah secara bertahap mengurangi porsi saham Indonesia.

Pada tahun ini, bobot saham Indonesia di MSCI juga akan semakin menciut dari posisi 1,5% pada 2024 menjadi 1,4% pada tahun ini.

3. Kekhawatiran Stagflasi AS

Berlanjut ke sentimen selanjutnya, dari negeri Paman Sam saat ini dikhawatirkan bisa mengalami stagflasi.

Hal ini terpicu sejumlah indikator ekonomi AS juga menunjukkan adanya tanda-tanda pelemahan, mulai dari pertumbuhan ekonomi melambat, investasi bisnis melemah, klaim pengangguran naik, sentimen konsumen turun.

Sementara itu, harga barang masih relatif mahal yang membuat inflasi mengetat, sehingga laju pemangkasan suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve (The Fed) semakin melambat.

Tarif trump juga diproyeksi bisa memberikan tekanan pada inflasi yang semakin memanas.

4. Aliran Dana Keluar Asing Masih Deras

Banyaknya tekanan dari eksternal, ini membuat aliran dana asing banyak keluar dari pasar saham Tanah Air.

Sepanjang pekan lalu, asing terpantau keluar dari pasar saham mencapai Rp8,01 triliun, ini semakin mengakumulasi derasnya tekanan keluar dana asing pada Februari nyaris Rp15 triliun.

Saham-saham yang dilego asing pada akhir Jumat lalu (28/2/2025) kebanyakan saham big caps perbankan, jika diurutkan saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) yang paling banyak dijual mencapai Rp879,3 miliar, diikuti PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) dan PT Bank Negara Indonesai Tbk (BBNI) masing-masing Rp382,9 miliar dan Rp233,6 miliar.

Tak luput saham PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) juga dilego asing mencapai Rp154,3 miliar.

Di luar perbankan, ada saham-saham yang terkait dikeluarkan MSCI seperti MDKA dengan net foreign sell Rp522,4 miliar, INKP Rp261,6 miliar, dan UNVR Rp163,6 miliar.

5. Welcoming Danantara & Bullion Bank

Dari dalam negeri, pada pekan lalu malah ramai peresmian dua lembaga baru.

Pada 24 Februari lalu, resmi menjadi hari lahir Badan Pengelolaan Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) dan berlanjut pada 26 Februari menjadi peresmian bullion bank atau bank emas pertama di Indonesia.

Kehadiran Badan Pengelolaan Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) disebut dapat membawa sejumlah manfaat ke pasar modal Indonesia, termasuk mendongkrak kapitalisasi pasar modal Indonesia.

Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI) iman Rachman menjabarkan dari segi kapitalisasi pasar sendiri, 12 perusahaan BUMN dan anak usahanya yang tergabung dalam Danantara mencapai Rp1.893 triliun per Desember 2024. Hal ini setara dengan sekitar 15% dari total kapitalisasi pasar.

BUMN dan anak perusahaannya ini pun memberikan kontribusi yang signifikan dari sisi nilai transaksi. Jika melihat nilai perdagangan, sekitar 27% dari total nilai transaksi di BEI berasal dari perusahaan-perusahaan BUMN dan anak usahanya.

"Kami melihat bahwa Danantara memiliki potensi besar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan kapitalisasi pasar Indonesia. Namun, diperlukan waktu untuk membangun kepercayaan pasar dan membuktikan efektivitas model bisnisnya," ungkap Iman, kepada wartawan, di Gedung BEI, Jakarta, Jumat, (28/2/2025).

Sementara itu, Bank Emas atau bullion bank telah diresmikan langsung oleh Presiden RI Prabowo Subianto pada 26 Februari 2025 lalu. Masyarakat kini bisa mengakses layanan bullion bank di PT Pegadaian dan PT Bank Syariah Indonesia (BSI).

Presiden Prabowo Subianto mengatakan bahwa saat ini produksi emas di Indonesia sudah naik dari 100 ton menjadi 160 ton dalam setahun. Oleh karena itu sekarang saatnya memperbaiki ekosistem pelayanan untuk mengoptimalkan cadangan emas di negara ini.

Prabowo mengatakan bahwa kehadiran bank emas akan mendongkrak produk domestik bruto (PDB) sebesar Rp 245 triliun dan mampu membuka 1,8 juta lapangan pekerjaan baru.

Pasalnya emas dari hulu ke hilir akan diolah dan disimpan di dalam negeri. Selain itu, Prabowo juga mengatakan bank emas akan menghemat devisa negara dan pengendalian stabilitas moneter melalui likuiditas emas.

Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan peluncuran bank emas atau Bullion Bank bisa membawa berbagai manfaat bagi ekonomi Indonesia. Menurutnya, peluncuran Bullion Bank membuat Indonesia dapat memanfaatkan nilai tinggi emas di dalam negeri, hingga menjaga dana haji supaya tidak mengalami penurunan nilai.

"Sebelumnya nilai ini diperoleh oleh Spanyol dan juga di Jepang, jadi untuk memiliki siklus sendiri hingga hilir, pemerintah akan meluncurkan bank emas batangan pada tanggal 26 Februari," kata Airlangga, di Indonesia Economic Summit.

Dua lembaga yang masih baru ini diharapkan bisa menjadi game changer bagi perekonomian RI. Sejauh ini, memang masih menuai kontroversi, tetapi pelaku pasar mengharapkan adanya timbal balik positif dan manajemen yang transparan dan bisa dipertanggung jawabkan akuntabilitasnya.

CNBC INDONESIA RESEARCH

Sanggahan : Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investor terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

(tsn/tsn)

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |