Gen Z dan Alpha Jepang Hadapi "Kiamat" Lebih Awal

1 hour ago 2

Emanuella Bungasmara Ega Tirta,  CNBC Indonesia

30 December 2025 14:20

Jakarta, CNBC Indonesia- Jepang sedang kehilangan penduduk lebih cepat daripada kemampuan ekonominya untuk beradaptasi. Populasi negara itu akan menyusut lebih dari 20 juta orang sebelum 2050, sementara porsi lansia melonjak ke 37% dari total penduduk.

Bagi generasi Z Jepang mereka yang kini berusia belasan hingga akhir 20-an , angka-angka ini gambaran tentang pasar kerja yang makin sempit, pajak yang lebih berat, dan sistem pensiun yang semakin rapuh. Gen Alpha juga akan menghadapi beban serupa.

Jika menghitung 2050 atau 25 tahun yang akan datang maka Gen Z dan Gen Alpha (kelahiran 1997-2024) tengah berada di usia produktif. Mereka adalah tulang punggung penerimaan pajak Jepang.

Penurunan ini tidak didorong oleh satu faktor tunggal. Angka kelahiran berada di 1,15 anak per perempuan, jauh di bawah tingkat pengganti, sementara umur harapan hidup terus naik. Kombinasi ini membuat struktur demografi Jepang berbalik arah: jumlah orang yang harus dibiayai tumbuh lebih cepat dibanding jumlah orang yang bekerja.

Implikasinya langsung mengenai Gen Z. Ketika mereka memasuki puncak usia produktif pada 2030-2040, Jepang akan memiliki lebih sedikit pekerja untuk menopang lebih banyak pensiunan. Artinya, generasi ini akan hidup dalam ekonomi dengan beban fiskal tinggi, usia kerja lebih panjang, dan ketergantungan pada otomasi yang belum pernah dialami generasi Jepang sebelumnya.

Fakta menunjukkan proyeksi drastis: populasi Jepang diperkirakan turun menjadi sekitar 100 juta orang pada 2050, dari sekitar 125 juta saat ini.

Proporsi penduduk usia 65 tahun ke atas diperkirakan mencapai 37,1% pada 2050 , lebih dari sepertiga total warga negara. Ketergantungan ekonomi (dependency ratio) diyakini meningkat dari 68 per 100 pekerja pada 2020 menjadi 89 per 100 pada 2050. Itu berarti setiap pekerja produktif efektif menanggung hampir satu warga non-kerja.

Mekanisme penurunan ini berasal dari dua variabel utama: fertilitas yang terus merosot dan angka kematian yang meningkat seiring penuaan populasi. Angka kelahiran terus menurun data kesehatan Jepang menunjukkan sekitar 319.000 bayi lahir pada paruh pertama 2025, lebih rendah dibanding tahun sebelumnya. Tingkat fertilitas total berada pada 1,15 anak per perempuan, jauh di bawah angka reproduksi populasi minimum 2,1.

Konsekuensinya adalah dua hal fundamental, struktur usia penduduk bergeser tajam dan basis tenaga kerja menyusut cepat. Jumlah orang usia kerja yang turun mengurangi kapasitas produksi nasional dan menekan basis pajak untuk pendanaan pensiun serta layanan sosial. Pemerintah Jepang sekarang harus memikirkan ulang sistem pensiun, pasar tenaga kerja, dan strategi layanan publik.

Di daerah rural isu ini bahkan lebih parah. Prefektur Akita, misalnya, telah mencatat penurunan populasi tahunan paling tajam di negara itu. Pada November 2025, jumlah penduduk Akita turun hampir 1,93% dalam satu tahun, sementara lebih dari 40% warga berusia 65 atau lebih.

Proyeksi demografis memperlihatkan Akita bisa menyusut menjadi sekitar 560.000 jiwa pada 2050, hanya sekitar 60% dari jumlah saat ini.

Mekanisme penyusutan di wilayah rural berasal dari migrasi internal di mana generasi muda pindah ke kota-kota besar untuk pendidikan dan pekerjaan. Kepadatan di metropolitan seperti Tokyo meningkat sementara desa-desa kehilangan sekolah, tenaga medis, dan infrastruktur dasar. Layanan publik jadi tidak efisien karena populasi yang menyebar dan menua.

Konsekuensi nyata. desa-desa kehilangan fungsi sosialnya. Sekolah tutup, rumah sakit kekurangan pasien sekaligus tenaga kerja, dan layanan dasar menjadi tidak terjangkau. Ketidakmampuan mempertahankan layanan publik mendorong lebih banyak orang - terutama lansia - pindah ke kota besar untuk akses kesehatan dan sosial. Ini menimbulkan siklus penurunan yang mempercepat kehancuran komunitas lokal.

Di sisi lain, generasi Z yang masih produktif kini memikirkan realitas baru: pensiun akan ditunda, sistem pensiun yang ada tidak akan cukup, dan pekerjaannya mungkin terkait langsung dengan teknologi serta otomasi. Seorang siswa sekolah menengah di Tokyo memprediksi bahwa usia pensiun bisa terus mundur hingga 80 tahun karena beban finansial negara.

Mekanisme pendorong adalah kebutuhan akan basis tenaga kerja yang terus menyusut. Tingkat partisipasi pekerja wanita dan pekerja lanjut usia meningkat selama beberapa dekade terakhir.

Namun, peningkatannya tidak cukup menggantikan jumlah yang hilang akibat penurunan jumlah kelahiran dan peningkatan angka pensiun. Karena itu, otomasi dan AI dipandang sebagai buffer untuk mengisi kekosongan tenaga kerja.

Konsekuensinya, ekonomi Jepang akan bergerak menuju struktur di mana produktivitas harus ditopang teknologi, bukan jumlah tenaga kerja. Sektor seperti kesehatan lansia, logistik, manufaktur, dan layanan publik harus beradaptasi dengan tenaga manusia yang lebih sedikit. Pemerintah mempertimbangkan kebijakan yang lebih agresif terhadap imigrasi tenaga kerja terampil, meskipun ini menimbulkan tantangan sosial dan institusional baru.

Terakhir, konsekuensi paling mendasar adalah cara hidup generasi Z dan Gen Alpha Jepang akan berbeda dari generasi sebelumnya. Mereka memasuki pasar kerja ketika basis pekerja menurun, pensiun diperketat, dan layanan sosial dibatasi. Mereka menghadapi realitas di mana memiliki anak dan membesarkannya memiliki risiko ekonomi yang lebih tinggi daripada generasi sebelumnya.

CNBC Indonesia Research

(emb/emb)

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |