Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonom senior yang juga merupakan Staf Khusus Menko Perekonomian Raden Pardede buka-bukaan ihwal kondisi perekonomian Indonesia. Mulai dari kondisi kurs rupiah terhadap dolar hingga daya beli masyarakat.
Untuk kurs rupiah, hingga hari ini bahkan mengalami tren pelemahan. Dilansir dari Refinitiv, rupiah dibuka melemah 0,21% di angka Rp16.400/US$ pada hari ini, Kamis (27/02/2025).
Rupiah tampak tertekan dan bahkan dalam lima menit sejak perdagangan dibuka, mata uang Garuda kembali terkoreksi hingga menyentuh level Rp16.415/US$.
Sementara itu, indeks dolar AS (DXY) pada pukul 08:56 WIB naik 0,11% di angka 106,54 Angka ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan posisi kemarin (26/2/2025) yang berada di angka 106,42.
Raden Pardede mengatakan, meski terus mengalami pelemahan, kurs rupiah kini pergerakannya lebih stabil dibanding negara lain. Kondisi ini yang ia tegaskan mampu menjaga stabilitas ekonomi tanah air beberapa tahun terakhir.
"Sebetulnya kalau kita jujur melihatnya rupiah tidak terlampau masalah kalaupun melemah," ucap Raden dalam acara CNBC Indonesia Economic Outlook 2025 di Hotel Westin, Jakarta, Rabu (26/2/2025).
Mengutip catatan Bank Indonesia meski rupiah sejak akhir tahun lalu hingga pertengahan bulan ini memang melemah 1,06% (ytd), namun pergerakannya relatif stabil bila dibandingkan dengan kelompok mata uang negara berkembang mitra dagang utama Indonesia, dan bahkan terhadap kelompok mata uang negara maju di luar dolar AS tetap berada dalam tren menguat.
"Ini yang mungkin kurang dilihat dari sejak 2022 sampai sekarang renminbi, yuan, lebih melemah dari Indonesia, yen jauh lebih melemah," tegas Raden.
Raden pun menekankan, di banyak negara dengan kapasitas ekonomi yang besar, seperti China, depresiasi kurs terhadap dolar bukan melulu menjadi masalah bagi ekonominya, karena memang dirancang seperti itu.
Kebijakan pelemahan kurs bahkan dimanfaatkan untuk membuat barang-barang ekspor China semakin murah, hingga barang-barang dagangannya itu memiliki daya saing yang tinggi di tingkat global.
"Jadi China menurut saya akan melemahkan yuan nya, karena saat tarif yang dikenakan Amerika kalau di compensate dengan itu maka tidak ada artinya tarif itu," tutur Raden.
"Maka jangan dilihat sementara-sementara pergerakan kurs antara kita dengan US, kita perlu melihat terhadap beberapa mata uang seperti Brazil, China, jangan melihat one on one Indonesia dengan US," tegasnya.
Adapun terkait pelemahan daya beli masyarakat Indonesia, sebagaimana diketahui pada awal tahun ini masih terus terjadi. Kondisi itu membuat risiko lemahnya konsumsi rumah tangga masih akan berlanjut sepanjang kuartal I-2025.
Pada kuartal IV-2024, konsumsi rumah tangga yang kontribusinya mencapai 53,71% terhadap perekonomian Indonesia bahkan hanya tumbuh 4,98%, lebih rendah dari data pertumbuhan ekonomi secara tahunan yang sebesar 5,02%.
Raden Pardede mengatakan, tanda lemahnya daya beli masyarakat ini terlihat dari berbagai indeks belanja yang direkam berbagai bank besar tanah air, mulai dari Mandiri Spending Index hingga Intrabel BCA.
"Ini early warning indicators yang menyatakan ada pelemahan," kata Raden.
Raden mengatakan, masih terjadinya pelemahan daya beli masyarakat pada tahun ini dipicu oleh hilangnya faktor musiman yang tak jadi berulang kali. Misalnya, pada tahun lalu konsumsi rumah tangga masih ditopang oleh adanya kegiatan pesta demokrasi seperti Pemilu 2024, mulai dari Pilpres hingga Pilkada.
"Kita bandingkan dengan Januari tahun lalu ada kenaikan signifikan dari belanja politik," ucap Raden.
Permasalahan kedua ialah masih minimnya ketersediaan lapangan kerja formal di Indonesia. Hal ini menurut Raden membuat upah atau gaji yang diterima kelas pekerja di Indonesia masih kecil untuk memenuhi kebutuhannya.
"Baru-baru ini ada penelitian yang dilakukan teman-teman, termasuk dari World Bank bahwa penciptaan lapangan kerja lebih banyak oleh perusahaan rumah tangga yang umumnya mereka tidak mampu memberikan gaji yang relatif oke," ucap Raden.
Permasalahan ini menurut Raden yang menjadi biang kerok merosotnya jumlah kelas menengah di Indonesia pada tahun lalu. Mengutip catatan Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah kelas menengah di Indonesia mencapai 57,33 juta orang atau setara 21,45% dari total penduduk pada 2019. Lalu, pada 2024 hanya tersisa menjadi 47,85 juta orang atau setara 17,13%. Artinya, sebanyak 9,48 juta orang telah bergeser posisinya dari status kelas menengah.
"Kita lihat data BPS bahwa middle class terjadi kontraksi dengan belanjanya itu mengkerut. Ini menurut saya tentu menjadi PR buat pemerintahan yang akan datang," ungkap Raden.
Maka, bila pemerintah ingin mengejar target pertumbuhan ekonomi di atas 8%, ia menganggap pemerintah harus mengurus daya beli masyarakat kelas menengah.
"Menurut saya yang menggerakkan ekonomi adalah kelas menengah yang tebal. Kalau negara punya kelas menengah yang tebal tingkat ketergantungan terhadap luar akan berkurang. Kalo middle class banyak, daya beli akan naik. kalau itu yang terjadi demand terhadap barang akan berputar," jelasnya.
Caranya lanjut Raden Pardede adalah menciptakan lapangan kerja sebanyak mungkin. Karena ia melihat berdasarkan penelitian di world bank penciptaan lapangan kerja justru lebih banyak oleh perusahaan-perusahaan rumah tangga yang umumnya tidak mampu memberikan gaji tidak besar.
Menurutnya, pemerintah saat ini jangan terlampau bangga dengan UMKM yang banyak. Karena tidak banyak UMKM yang bisa memberikan kerjaan dengan gaji yang layak di atas UMR.
"Kita harus bangga kalo jumlah perusahaan-perusahaan besar naik. Intinya kita harus mendorong supaya perusahaan-perusahaan ini bertumbuh menjadi kelas menengah bahkan besar. Ini menjadi pekerjaan rumah (PR) buat pemerintahan saat ini," terangnya.
(arj/haa)
Saksikan video di bawah ini:
Erick Thohir Bicara Nasib INA Usai Danantara Diluncurkan
Next Article Penampakan Penjual Tanah Abang Banting Tulang Kala RI Dihantam Deflasi