Dunia Usaha RI Masih Terganjal Rumitnya Birokrasi

3 hours ago 2

Jakarta, CNBC Indonesia - Perekonomian mahal atau high cost economy masih menjadi salah satu faktor lemahnya daya saing nasional. Di tengah kompetisi global yang ketat, hal ini menghambat pertumbuhan industri.

Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Yose Rizal Damuri menjelaskan bahwa high cost economy disebabkan oleh berbagai macam hal. Salah satunya adalah ketidakpastian regulasi yang sering berubah-ubah.

"Indikatornya salah satunya adalah jumlah regulasi yang begitu besar. Regulasi yang sering sekali berubah-ubah," ujar Yose dalam diskusi publik dikutip Senin (28/4/2025).

Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Yose, terdapat hingga 18.309 regulasi dari peraturan menteri atau permen dan 18.817 regulasi dari peraturan daerah yang saat ini berlaku.

Banyaknya jumlah peraturan tersebut, dinilai membuat ketidakpastian semakin tinggi.

"Di tingkatan peraturan menteri saja, itu tercatat ada hampir 19 ribu regulasi. Begitu juga apalagi di tingkatan daerah. Ada sekitar 19 ribu regulasi. Itu nggak ada yang tahu isinya apa. Satu sama lainnya saling overlap. Ini yang menyebabkan ketidakpastian itu menjadi lebih tinggi lagi," tegasnya.

Sebelumnya pun Pengusaha Tanah Air menilai tingginya biaya dalam sektor ekonomi masih menjadi tantangan struktural yang menghambat daya saing Tanah Air.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Kamdani, mengatakan biaya yang tinggi seperti dari sektor logistik, energi, tenaga kerja, dan pinjaman menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan biaya berusaha tertinggi di ASEAN-5, yaitu Indonesia, Singapura, Malaysia, Thailand, dan Filipina.

"Biaya logistik, misalnya, mencapai 23,5% dari PDB, jauh lebih tidak efisien dibandingkan Malaysia (12,5%) dan Singapura (8%)," kata Shinta, dalam Outlook Ekonomi & Bisnis Apindo 2025, Kamis (19/12/2024).

Lebih lanjut, Survei Apindo mencatat 61,26% pelaku usaha kesulitan mengakses pinjaman, sementara 43,05% menilai suku bunga terlalu tinggi. Di sisi lain, sekitar 64,28% perusahaan menyatakan reformasi regulasi belum menjamin kemudahan dan kepastian usaha.

Selain itu, Shinta mengatakan dominasi sektor informal dan rendahnya produktivitas juga berpotensi menghambat laju pertumbuhan ekonomi, dimana jumlah sektor informal mencapai 59,17% pada 2024, meningkat dari 55,88% pada 2019.


(mij/mij)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Adu Kuat Pengaruh AS Vs China, Indonesia Ikut Siapa?

Next Article Regulasi UMP Kerap Berubah-Ubah, Pengusaha Takut Investor Kabur

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |