Dugaan Korupsi Dana Smartboard Rp49 M Di Disdik Langkat

1 month ago 17

LANGKAT (Waspada.id): Dugaan korupsi dana Smartboard atau papan tulis pintar sekitar Rp49 miliar di Dinas Pendidikan Langkat terus diselidiki Kejaksaan Negeri (Kejari) Langkat. 

Sejauh ini, 18 orang dari swasta dan pemerintah dalam pemeriksaan Kejari Langkat terkait pengadaan Smartboard Tahun Anggaran 2024.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Informasi yang diperoleh, Kabid SD Dinas Pendidikan Langkat Fajar Kurniawan termasuk salah seorang yang diperiksa jaksa.

Hal itu dibenarkan Kasi Intel Kejari Langkat Ika Luis Nardo. “Kabid SD Dinas Pendidikan Langkat Fajar Kurniawan sudah dimintai keterangannya,” kata Luis Nardo ketika dikonfirmasi wartawan kemarin. 

Sebelumnya, Supriadi yang bertindak sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam pengadaan Smartboard juga sudah dimintai keterangannya pada Rabu (30/7/25) lalu. 

Patut Dianalisis 

Dugaan korupsi dana Smartboard atau papan tulis pintar sebesar Rp49 M di Dinas Pendidikan Langkat mendapat tanggapan dari Advokat Dr. Hj. Maysarah Nasution, SH, MH yang juga Dosen Fakultas Hukum Universitas Pembinaan Masyarakat Indoensia 

Maysarah ketika dikonfirmasi, Minggu (10/8/25) mengatakan, kasus dugaan korupsi pengadaan smartboard di Kabupaten Langkat dengan nilai proyek mencapai Rp49 miliar patut dianalisis, tidak hanya dari sudut pandang hukum pidana, tetapi juga dari aspek tata kelola pemerintahan dan mekanisme pengadaan barang/jasa.

Secara normatif, jika proyek ini menggunakan anggaran kabupaten dan terjadi di wilayah Sumatera Utara, penanganan awal memang menjadi ranah Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara (Kejatisu).

Namun, mengingat nilai proyek yang cukup besar dan kemungkinan adanya keterlibatan pihak kementerian atau lembaga pusat (misalnya melalui Dana Alokasi Khusus), tidak menutup kemungkinan penanganannya dapat diambil alih oleh Kejaksaan Agung atau KPK, terutama jika ada indikasi koordinasi lintas daerah atau kebijakan bersifat nasional.

Dari informasi yang beredar, patut ditelusuri apakah pengadaan smartboard ini merupakan inisiatif murni pemerintah kabupaten atau bagian dari program nasional.

Jika perencanaan, spesifikasi teknis, dan vendor sudah ditentukan oleh pusat, sedangkan kabupaten hanya melaksanakan dan membuat SPJ (Surat Pertanggungjawaban), maka tanggung jawab utama tidak hanya dibebankan pada pelaksana daerah.

Menurut Maysarah, dalam praktik pengadaan, ada kalanya pusat menentukan paket barang dan penyedianya, sementara daerah hanya menjadi perantara administrasi dan lokasi implementasi. Dalam skema seperti ini, penyelidikan harus mencakup siapa yang membuat kebijakan, menetapkan harga, dan memilih penyedia barang.

Berdasarkan prinsip good governance, pengadaan barang/jasa idealnya terkoordinasi dari pusat, tetapi melalui mekanisme usulan berjenjang: mulai dari desa, kecamatan, dinas terkait di kabupaten/kota, lalu ke provinsi, dan akhirnya diputuskan di tingkat kementerian atau lembaga. Dengan pola ini, kebutuhan riil di lapangan menjadi dasar pengadaan, bukan sekadar penyeragaman program.

Untuk mencegah praktik korupsi, lebih tepat jika dana tidak disalurkan dalam bentuk tunai ke satuan pendidikan, melainkan barang dikirim langsung oleh penyedia resmi yang ditunjuk sesuai aturan, dan penerima (sekolah) hanya mengkonfirmasi penerimaan barang kepada dinas terkait.

Kritik lain yang patut dicatat adalah relevansi pengadaan smartboard bagi sekolah dasar. Di banyak daerah, kebutuhan dasar seperti pelatihan guru, jaringan internet, dan perangkat pendukung masih minim.

Pengadaan smartboard tanpa kesiapan SDM dan infrastruktur bisa menjadi pemborosan anggaran. Era digital memang menuntut modernisasi pembelajaran, namun teknologi seperti in-focus, proyektor interaktif, atau pembelajaran berbasis internet bisa lebih efektif jika diimbangi dengan kapasitas penggunaan yang memadai, terangnya.

Maysarah menambahkan, jika pusat yang mengatur seluruh mekanisme dan kabupaten hanya menjalankan, maka penyelidikan harus menyasar pembuat kebijakan di tingkat pusat.

Mekanisme pengadaan harus berdasarkan kebutuhan riil, bukan sekadar program seragam yang rawan mark-up.

Kemudian, transparansi dan pelibatan sekolah/dinas dalam penentuan spesifikasi akan mengurangi risiko penyalahgunaan.

“Media masa atau rakyat bisa lebih kritis yang menegaskan bahwa kasus ini bisa jadi bukan murni korupsi daerah, melainkan masalah kebijakan pusat yang tidak berbasis kebutuhan riil,” tutupnya. (id27).

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |