Dinamika Perang Digital, Belajar dari Amerika Serikat dan Korea Selatan

2 days ago 10

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Pada abad ke-21, konflik militer tidak lagi semata-mata terjadi di medan tempur fisik. Perang digital, yang berlangsung di dunia maya, kini menjadi arena baru di mana kekuatan negara diukur.

Dalam dunia yang semakin terdigitalisasi, ancaman tidak lagi berbentuk peluru atau bom, melainkan data yang diretas, informasi yang dimanipulasi, dan kepercayaan publik yang digerus lewat hoaks yang terstruktur.

Perubahan ini makin terasa sejak naiknya Donald Trump ke tampuk kekuasaan di Amerika Serikat pada tahun 2016. Kemenangannya, yang sempat dituduh melibatkan campur tangan siber dari aktor negara asing seperti Rusia, menandai era baru di mana informasi adalah senjata. Konsep "fake news" yang ia populerkan bukan hanya menjadi istilah politik, tetapi juga alat delegitimasi terhadap institusi-institusi demokrasi, media, bahkan sains.

Trump menjadi simbol dari bagaimana dunia digital bisa dipakai sebagai alat untuk membangun narasi, memanipulasi opini publik, dan memecah belah masyarakat. Era Trump memperlihatkan bahwa perang digital tidak hanya tentang serangan ke infrastruktur, tapi juga perang persepsi-sebuah fenomena yang kini menjadi perhatian utama dalam keamanan nasional negara-negara maju.

Di tengah lanskap global yang berubah cepat ini, Korea Selatan muncul sebagai salah satu negara yang sangat serius dalam mengembangkan pertahanan digitalnya. Posisi geografis yang berdekatan dengan Korea Utara, ditambah ketergantungan yang tinggi pada teknologi, membuat Korea Selatan sangat rentan terhadap serangan siber. Namun alih-alih tunduk, negara ini justru menjadikan kerentanannya sebagai motivasi untuk membangun pertahanan yang kokoh.

Korea Selatan secara konsisten menempati posisi lima besar dalam Global Cybersecurity Index (GCI) dari ITU. Investasi besar-besaran dalam infrastruktur digital, penguatan regulasi, serta kerja sama strategis dengan negara-negara besar seperti Amerika Serikat menunjukkan keseriusan mereka.

Bahkan pada tahun 2024, Korea Selatan meluncurkan Strategi Keamanan Siber Nasional yang menekankan penggunaan AI untuk mendeteksi dan merespons ancaman secara real time. Dalam strategi ini, direncanakan pula pembentukan AI Security Institute sebagai pusat pengembangan teknologi keamanan mutakhir.

Kerja sama militer digital antara Korea Selatan dan Amerika Serikat, khususnya setelah sejumlah kebocoran data intelijen oleh aktor dari Korea Utara, menunjukkan bahwa pertahanan siber kini menjadi bagian penting dalam aliansi geopolitik.

Bahkan, isu seperti Foreign Information Manipulation and Interference (FIMI) kini menjadi agenda utama pembahasan bersama Uni Eropa dan negara-negara Barat, sebuah topik yang juga sangat relevan dengan dampak era Trump dan disinformasi global.

Berbeda dengan Korea Selatan, Indonesia masih memiliki banyak pekerjaan rumah dalam menghadapi perang digital. Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai insiden serangan siber yang menargetkan infrastruktur vital Indonesia menjadi bukti lemahnya sistem pertahanan kita.

Serangan terhadap Pusat Data Nasional, Bank Syariah Indonesia (2023), dan Kementerian Kesehatan (2021) hanyalah sebagian dari banyaknya insiden yang mengancam kedaulatan digital Indonesia.

Selain aktor negara seperti China dan Rusia, ancaman juga datang dari kelompok kriminal digital dan hacktivist yang memiliki motif finansial atau ideologis. Namun yang paling berbahaya adalah meningkatnya disinformasi publik-yang sejalan dengan dinamika global pasca-Trump. Manipulasi opini lewat media sosial, penyebaran hoaks, dan polarisasi politik yang tajam adalah bentuk perang informasi yang tidak kasat mata, namun berdampak besar.

Sebagai lembaga utama, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) memiliki tanggung jawab besar untuk membangun sistem pertahanan digital yang terpadu. Tugasnya meliputi regulasi, deteksi ancaman, respons insiden, hingga edukasi publik. Sayangnya, peran strategis ini sering terhambat oleh tantangan klasik seperti ego sektoral, keterbatasan anggaran, dan koordinasi lintas instansi yang lemah.

Jika dibandingkan dengan model Korea Selatan, Indonesia masih perlu membangun ekosistem digital nasional yang lebih terintegrasi. BSSN idealnya diberi otoritas yang kuat, akses terhadap teknologi mutakhir, dan SDM berkualitas tinggi. Yang tak kalah penting, adalah membangun kemitraan lintas sektor, termasuk dengan perusahaan teknologi, media, dan masyarakat sipil.

Era perang digital tidak lagi menunggu. Seperti yang diperlihatkan oleh Korea Selatan, pertahanan digital adalah investasi strategis yang tidak bisa ditunda. Sementara itu, pengaruh era Trump dan disinformasi global menunjukkan bahwa perang informasi adalah bagian nyata dari konflik kontemporer.

Indonesia tidak boleh hanya menjadi penonton di tengah transformasi ini. Jika tidak segera membenahi sistemnya, Indonesia bisa menjadi ladang percobaan bagi para aktor jahat, baik dari luar maupun dalam negeri.

Oleh karena itu, memperkuat BSSN, membangun kolaborasi internasional, serta meningkatkan literasi digital masyarakat menjadi langkah-langkah mendesak untuk menjaga kedaulatan bangsa di dunia maya.


(miq/miq)

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |