Danantara Effect: Jalan Keluar Resource Curse via Hilirisasi Industri

4 hours ago 3

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Indonesia, negara dengan kekayaan sumber daya alam yang berlimpah, selama berpuluh-puluh tahun terjebak dalam siklus ekspor bahan mentah dan impor produk jadi, sebuah pola yang menyebabkan nilai tambah ekonomi justru dinikmati negara lain.

Melanjutkan dan memperkuat upaya hilirisasi industri yang telah diinisiasi pada periode-periode pemerintahan sebelumnya, pemerintahan saat ini di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto terus mendorong percepatan proses hilirisasi, khususnya di sektor energi dan mineral.

Inisiatif ini tercantum dalam 21 proyek komoditas strategis senilai US$ 40 miliar yang ditujukan untuk pembangunan infrastruktur hilirisasi komoditas prioritas nasional di berbagai sektor, langkah ini merepresentasikan wujud nyata pemerintah dalam mempercepat capaian ketahanan energi nasional.

Hal itu juga dinilai sebagai bentuk realisasi visi Indonesia emas melalui nilai tambah dan ketersediaan lapangan kerja yang memiliki manfaat signifikan terhadap aspek kesejahteraan sosio-ekonomi masyarakat.

Pengembangan Infrastruktur Energi Strategis
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia menguraikan beberapa proyek transformatif yang secara langsung mengatasi tantangan ketahanan energi Indonesia. Landasan strategi ini adalah rencana pembangunan infrastruktur penyimpanan minyak mentah di Pulau Nipa, yang dirancang untuk mempertahankan cadangan penyangga energi selama 30 hari sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 96 Tahun 2024 tentang cadangan penyangga energi.

Penempatan infrastruktur ini direncanakan dibangun di dekat Singapura yang memungkinkan menghemat biaya logistik, mengingat selama ini Indonesia mengimpor sekitar 60% minyak mentah dari Singapura.

Data Badan Pusat Statistik pada semester pertama 2024 menunjukkan Indonesia mengimpor 8,17 juta ton minyak mentah senilai US$ 5,19 miliar (setara dengan Rp84,63 triliun dengan kurs Rp16.310 per US$). Angka ini menunjukkan sedikit peningkatan dari 8,15 juta ton senilai US$ 5,17 miliar yang diimpor selama periode yang sama di tahun 2023.

Melalui pembangunan fasilitas penyimpanan ini, Indonesia ingin menargetkan negosiasi ketentuan yang lebih menguntungkan di pasar energi internasional, mengurangi kerentanan terhadap gangguan pasokan, dan volatilitas harga.

Penuh optimis, pemerintah Indonesia juga memasukkan perencanaan pengembangan kilang minyak baru dalam tahap pertama proyek sebagai respon terhadap permintaan domestik yang besar. Memiliki estimasi nilai investasi sebesar US$ 12,5 miliar, kilang ini akan mampu memproses minyak mentah domestik dan impor untuk menghasilkan hingga 531.500 barel per hari berbagai produk hasil hilirisasi minyak bumi.

Dampak ekonominya diproyeksikan akan sangat substansial dan bahkan menghemat hingga 182,5 juta barel minyak impor per tahun, setara dengan US$ 16,7 miliar. Selain itu, proyek ini akan menciptakan sekitar 63.000 lapangan kerja langsung dan 315.000 kesempatan kerja tidak langsung.

Solusi Inovatif untuk Kebutuhan Energi Domestik
Strategi pemerintah tidak hanya terbatas pada infrastruktur penyimpanan dan pengolahan minyak, tetapi juga mencakup alternatif dari Liquefied Petroleum Gas (LPG) yang masih impor. Berdasarkan pernyataan Menteri ESDM, sepanjang tahun 2023, Indonesia mengimpor sekitar 6,9 juta ton LPG dan devisa negara diperkirakan rugi sekitar Rp63,5 triliun.

Hal ini ditanggapi oleh pemerintahan Presiden Prabowo melalui rencana pengembangan fasilitas produksi Dimethyl-ether (DME) dengan memanfaatkan sumber daya batubara kalori rendah Indonesia yang melimpah. Inisiatif ini bertujuan untuk mensubstitusi LPG impor yang saat ini membebani neraca perdagangan Indonesia.

Berbeda dengan upaya pada tahun-tahun sebelumnya dalam pengembangan DME, di mana investor asing mundur setelah proses ground breaking, pendekatan saat ini akan meminimalisasi ketergantungan terhadap investasi asing.

Seperti ditekankan Menteri Bahlil, kita harus mulai mengurangi dependensi kita terhadap pembiayaan asing dan ketidakpastian yang menghambat progres dan capaian target pembangunan infrastruktur ini.

Proyek ini akan diimplementasikan secara paralel di beberapa wilayah termasuk Muara Enim dan Ogan Komering Ilir (OKI) di Sumatra Selatan, Tanah Bumbu di Kalimantan Selatan, dan Kutai Timur di Kalimantan Timur.

Melalui pemanfaatan sumber daya batubara Indonesia yang diestimasi mencapai 35 miliar ton menurut data Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal. Inisiatif DME merepresentasikan konversi strategis komoditas ekspor bernilai rendah menjadi produk energi domestik bernilai lebih tinggi.

Pengembangan Hilir Mineral Komprehensif
Tahap pertama proyek hilirisasi yang diupayakan pemerintah RI juga mencakup pengembangan ekstensif kekayaan mineral Indonesia, khususnya nikel, tembaga, dan bauksit. Indonesia memiliki cadangan kelas dunia untuk mineral-mineral tersebut: 21 juta ton nikel (22% dari cadangan global), 24 juta ton tembaga (3% dari cadangan global), dan 1,2 miliar ton bauksit (4% dari cadangan global).

Peta jalan industri hilir nikel menargetkan posisi Indonesia sebagai produsen baterai kendaraan listrik terbesar kelima dunia dan produsen baja tahan karat terbesar kedua pada tahun 2040. Melalui rencana investasi sebesar US$ 127,9 miliar antara tahun 2023-2040, sektor nikel saja diproyeksikan akan berkontribusi US$ 43,2 miliar terhadap PDB pada tahun 2040 dan menciptakan 357.000 lapangan kerja.

Nilai tambahnya sangat mengesankan, konversi menjadi produk baja tahan karat meningkatkan nilai 9,5 kali lipat, sementara pengolahan nikel menjadi baterai kendaraan listrik meningkatkan nilai 67 kali lipat dibandingkan dengan ekspor bijih mentah.

Demikian pula, industri hilir tembaga ditargetkan menjadikan Indonesia sebagai produsen kabel terbesar kelima dunia dan produsen penggerak motor listrik terbesar kedua. Didukung oleh nilai investasi US$ 38 miliar, sektor ini diproyeksikan akan berkontribusi US$ 34,87 miliar terhadap PDB pada tahun 2040 dan menciptakan 253.583 lapangan kerja.

Pelipatgandaan nilai di sini bahkan lebih tinggi, pengolahan tembaga menjadi produk kabel meningkatkan nilai 70,8 kali lipat, sementara produksi motor listrik meningkatkan nilai 38,7 kali lipat.

Untuk bauksit, Indonesia bertujuan menjadi produsen panel surya terbesar ketujuh secara global pada tahun 2040. Menggunakan investasi sebesar US$ 48,89 miliar, sektor hilir bauksit diproyeksikan akan berkontribusi US$ 36,99 miliar terhadap PDB dan menciptakan 766.807 lapangan kerja. Pengolahan bauksit menjadi panel surya merepresentasikan peningkatan nilai yang luar biasa sebesar 115,8 kali lipat dibandingkan dengan ekspor bijih mentah.

Pendekatan Inovatif dalam Pembiayaan dan Implementasi
Fitur distingtif dari strategi hilirisasi Indonesia saat ini adalah melalui pendekatan pembiayaannya. Alih-alih mengandalkan dan berpacu pada investasi langsung asing, Menteri Bahlil menekankan peran sumber pembiayaan domestik, termasuk Danantara.

Model yang dipadukan dengan kemitraan teknologi asing mencerminkan kebijakan pembangunan ekonomi yang semakin terencana dengan mengutamakan kemandirian nasional namun tetap menitik beratkan keberhasilan melalui metode kerja sama internasional untuk memperoleh teknologi terkemuka.

Pendekatan ini secara fundamental berbeda dari model pengembangan sumber daya masa lalu yang cenderung tergantung pada kontrol sumber daya dan manfaat ekonomi kepada entitas asing.

Dampak Ekonomi dan Posisi Global
Data Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM menunjukkan bahwa total investasi yang dibutuhkan untuk pengembangan hilir di 21 komoditas dalam 8 sektor prioritas akan mencapai US$ 545,3 miliar pada tahun 2040.

Sektor mineral dan batubara membutuhkan investasi terbesar sebesar US$ 431,6 miliar, diikuti oleh minyak dan gas alam sebesar US$ 68,3 miliar, serta perkebunan, kelautan, perikanan, dan kehutanan sebesar US$ 45,4 miliar.

Investasi besar ini didistribusikan secara strategis di seluruh wilayah Indonesia. Misalnya, Jawa Timur akan melihat pengembangan di bidang pengolahan nikel, baja, timah, emas, minyak mentah, gas, kelapa, kayu, perikanan, dan garam. Sementara itu, Kalimantan Timur akan fokus pada pengolahan minyak mentah, gas, dan kayu, sedangkan Sulawesi Tenggara akan mengembangkan industri nikel, baja, aspal, dan perikanan.

Posisi Indonesia dalam rantai nilai global akan bertransformasi melalui inisiatif-inisiatif ini. Saat ini, China mendominasi sebagai importir terbesar bahan baku Indonesia - mengimpor 43.525 kiloton bijih nikel (76,8% dari impor global) dan 107.282 kiloton bijih bauksit (70,3% dari impor global).

China kemudian memproses material-material ini menjadi produk bernilai tinggi seperti baterai untuk kendaraan listrik, yang mana China merupakan eksportir terbesar dunia dengan nilai 28,4 miliar US$ (41,2% dari ekspor global).

Melalui pengembangan kapasitas hilir sendiri, Indonesia memposisikan diri untuk menangkap nilai yang jauh lebih besar dari sumber daya alamnya. Alih-alih mengekspor bijih nikel senilai US$ 628,17 juta seperti yang dilakukan saat ini (mewakili hanya 10,3% dari ekspor global), Indonesia bertujuan memproduksi produk bernilai tinggi seperti baterai dan baja tahan karat di dalam negeri, berpotensi menangkap miliaran nilai ekonomi tambahan.

Analisis Kritis dan Prospek Masa Depan
Pemerintah RI dan para pemangku kepentingan lainnya melalui perencanaan yang tertuang dalam proyek hilirisasi industri 21 komoditas prioritas ini merepresentasikan upaya terkoordinasi dari Indonesia untuk lepas dari "kutukan sumber daya" (resource curse), sebuah fenomena yang pertama kali diidentifikasi oleh Richard Auty melalui bukunya pada tahun 1993.

Auty menjelaskan bahwa negara-negara yang kaya akan sumber daya mineral, seperti Indonesia, seringkali paradoksnya mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat dan hasil pembangunan yang kurang optimal dibandingkan negara yang kurang kaya sumber daya.

Strategi hilirisasi Indonesia ini secara langsung menjawab tantangan resource curse tersebut. Dengan mengembangkan industri hilir secara metodis di berbagai komoditas secara simultan, Indonesia berupaya menciptakan ekosistem industri terintegrasi, bukan sekadar fasilitas pengolahan terisolasi, sebagai langkah untuk menghindari jebakan resource curse.

Pendekatan komprehensif pemerintah RI sekarang mengatasi banyak keterbatasan dari upaya pengembangan hilir sebelumnya. Dengan memastikan off-taker domestik untuk produk olahan, Indonesia menciptakan permintaan dari dalam yang dapat menopang industri-industri ini melalui fluktuasi pasar global. Pengembangan paralel infrastruktur energi dan fasilitas pengolahan mineral menciptakan sinergi yang memperkuat ekosistem industri secara keseluruhan.

Secara keseluruhan, percepatan dan capaian hilirisasi Indonesia akan secara fundamental mengubah posisi negara dalam rantai nilai global, bertransisi dari pemasok bahan mentah menjadi produsen produk canggih.

Dampak ekonomi potensialnya transformatif - menghasilkan ratusan miliar kontribusi terhadap PDB, menciptakan lebih dari satu juta lapangan kerja terampil, menegakkan kedaulatan sumber daya, dan mewujudkan cita-cita ketahanan energi nasional.


(miq/miq)

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |