Belanda Gagal Menaklukkan Aceh Dengan Senjata, Kini Aceh Tersungkur Oleh Listrik dan Sinyal

7 hours ago 27
Opini

14 Desember 202514 Desember 2025

Belanda Gagal Menaklukkan Aceh Dengan Senjata, Kini Aceh Tersungkur Oleh Listrik dan Sinyal

Ukuran Font

Kecil Besar

14px

Oleh: Dr. Bukhari M.H.CM

Dulu, pada masa penjajahan Belanda, Aceh diserang habis-habisan dengan senjata dan peperangan. Meriam diarahkan, kampung dibakar, dan rakyat diteror bertahun-tahun lamanya. Namun satu hal yang gagal dipatahkan penjajah adalah jiwa perlawanan Aceh. Aceh tidak pernah benar-benar takluk. Perlawanan hidup di gunung, di dayah, dan di hati rakyatnya.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Ironisnya, di masa kini saat Aceh telah merdeka dan hidup di era teknologi kelumpuhan justru datang bukan dari senjata, melainkan dari padamnya listrik dan hilangnya jaringan telekomunikasi. Tanpa dentuman meriam, Aceh bisa lumpuh hanya dalam hitungan jam dan hari. Aktivitas ekonomi berhenti, pelayanan publik terganggu, pendidikan didayah/ pesantren tersendat, bahkan koordinasi penanganan bencana menjadi kacau.

Listrik dan jaringan hari ini bukan lagi fasilitas pelengkap, melainkan kebutuhan dasar. Ketika listrik padam, menara pemancar ikut mati. Ketika sinyal hilang, komunikasi terputus dan negara terasa menjauh dari rakyatnya. Aceh seolah kembali terisolasi bukan karena perang, tetapi karena lemahnya sistem infrastruktur yang seharusnya paling siap menopang kehidupan masyarakat.

Di sinilah paradoks itu terasa menyakitkan. Aceh yang dulu tidak bisa ditundukkan oleh kekuatan kolonial, kini tampak tak berdaya menghadapi krisis energi dan telekomunikasi. Ini bukan sekadar persoalan teknis, tetapi cermin rapuhnya tata kelola layanan publik. Kedaulatan di era modern tidak lagi diukur dari jumlah senjata, melainkan dari kemampuan negara memastikan listrik tetap menyala dan komunikasi tetap berjalan, terutama saat rakyat sedang tertimpa musibah.

Namun di tengah gelap dan sunyinya sinyal, Aceh tidak kehilangan watak sejarahnya: bertahan dan bangkit. Gubernur Aceh bersama sejumlah kepala daerah tetap berupaya hadir dan berdiri di tengah rakyat. Sebut saja Bupati Bireuen, Bupati Aceh Barat, Bupati Abdya dan Bupati Aceh Timur, yang dalam keterbatasan terus berusaha menggerakkan pemerintahan, menjaga koordinasi, dan menyalakan harapan masyarakat agar tidak merasa ditinggalkan oleh negara.

Ketegaran para pemimpin daerah ini patut diapresiasi. Tetapi keberanian dan ketulusan mereka tidak boleh dijadikan pembenaran untuk menormalkan keadaan darurat. Aceh tidak boleh terus-menerus dipaksa kuat di atas fondasi infrastruktur yang rapuh. Listrik dan telekomunikasi adalah hak dasar warga negara yang wajib dijamin secara serius, sistematis, dan berkelanjutan.

Jika dulu Aceh diserang dengan senjata dan peperangan, hari ini ancamannya lebih sunyi namun sama berbahayanya: kelalaian dan ketergantungan sistem. Penjajahan model baru tidak datang dengan serdadu, tetapi dengan pembiaran atas layanan publik yang lemah. Dan itu melumpuhkan tanpa suara.

Aceh akan selalu bangkit, sejarah telah membuktikannya. Tetapi kebangkitan itu seharusnya tidak lagi dibayar mahal dengan padamnya listrik dan hilangnya sinyal. Aceh harus menyala, bukan hanya semangat rakyat dan pemimpinnya, tetapi juga lampunya, jaringannya, dan kehadiran negara yang benar-benar dirasakan.

Penulis adalah konsultan hukum LBH Qadhi Malikul Adil dan akademisi UIN lhokseumawe.

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |