Jakarta, CNBC Indonesia - Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) menyoroti tekanan faktor riil sebagai tantangan utama industri dalam memenuhi ketentuan ekuitas minimum pada 2026.
Sebagaimana disebut dalam POJK no. 23 tahun 2023, perusahaan wajib memiliki ekuitas minimum Rp 250 miliar dan Rp 100 miliar untuk perusahaan asuransi syariah paling lambat 31 Desember 2026. Bagi perusahaan reasuransi wajib memiliki ekuitas minimum Rp 500 miliar dan Rp 250 miliar untuk perusahaan reasuransi syariah.
Sementara bila menilik laporan kinerja industri asuransi tahun 2024, total ekuitas industri asuransi umum turun 15,6% secara tahunan ke level Rp63,18 triliun, dari sebelumnya Rp76,68 triliun.
Ketua Umum AAUI Budi Herawan mengungkapkan, turunnya profitabilitas menjadi salah satu penyebab utama penurunan ekuitas. Budi menjelaskan bahwa industri asuransi umum masih bergantung pada hasil investasi sebagai penopang utama profitabilitas.
Semenatara hasil underwriting sepanjang tahun lalu tidak menunjukkan pertumbuhan signifikan. Sementara biaya operasional mengalami kenaikan yang cukup tinggi.
"Nah ini menjadi catatan memang di kita selalu saya sampaikan coba gimana caranya kita bisa melakukan efisiensi dalam operating expense," kata Budi dalam Konferensi Pers AAUI, di Jakarta, Rabu, (5/3/2025).
Di sisi lain, tekanan terhadap ekuitas juga disebabkan karena turunnya suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) di akhir tahun lalu. Sementaran Ia menambahkan bahwa mayoritas portofolio investasi asuransi umum masih berada di instrumen deposito karena likuiditasnya yang tinggi.
Tantangan ini, menurut Budi, akan semakin berat pada 2025, terutama dengan diterapkannya POJK 20 Tahun 2023 tentang asuransi kredit. Regulasi tersebut dinilai memberikan tekanan tambahan terhadap industri yang tengah menghadapi dampak kebijakan akuntansi baru, yakni PSAK 117.
Ia memperkirakan bahwa pada semester kedua 2025, kondisi industri bisa semakin menurun jika tidak ada perbaikan dalam kinerja keuangan sejak awal tahun. Oleh karena itu, keberhasilan melewati kuartal pertama dengan hasil yang lebih baik dibanding tahun sebelumnya menjadi faktor krusial.
"Ya terobosan-terobosan harus dilakukan, tapi bagaimanapun terobosan itu kembali lagi daya beli masyarakat, daya beli korporasi ini kan lebih sulit. Korporasi kita tahu Sritex sudah PHK, lalu yang lain sektornya," tuturnya.
Diketahui, Industri Asuransi Umum mengalami tekanan besar dalam laba dan hasil underwriting lebih dari 100% di akhir tahun 2024. Menurut catatan Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), laba setelah pajak asuransi umum turun dalam sebesar 197,8% ke Rp10,13 triliun. Adapun komponen laba terdiri dari hasil underwriting dan hasil investasi.
Bila dibedah lebih jauh, hasil underwriting menjadi pemberat utama laba asuransi jiwa. Hasil underwriting ini terkontraksi 102,7% mencatatkan rugi Rp1,52 triliun. Sementara hasil invetasinya masih meningkat sebesar 19,8% ke level Rp7,43 triliun.
(fsd/fsd)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Cari Standar Layanan Asuransi, Indonesia Contek Negara Mana?
Next Article Video: 100 Hari Kabinet Prabowo, Asuransi Minta Benahi Masalah Ini