Balsem RI "Menjajah" Belanda - Amerika, Nasibnya Tengah Terancam

2 weeks ago 10

Jakarta, CNBC Indonesia- Balsem Indonesia menghangatkan pasar dunia. Dari toko obat tradisional di India hingga rak apotek di Belanda, produk ini pernah menjadi andalan ekspor dengan permintaan yang stabil.

Ekspor balsem pada 2020 bahkan melonjak luar biasa, mencapai lebih dari US$54 juta atau sekitar Rp 882,4 miliar (US$1=Rp 16.340) angka yang sangat kontras dengan tahun-tahun sebelumnya. Namun, setelah puncak tersebut, ekspor justru merosot tajam. Hingga 2024, nilai ekspornya hanya tersisa US$697 ribu, hangatnya  perlahan padam.

Meski permintaan masih ada, terutama dari India, Taiwan, dan Amerika Serikat, tren ekspor balsem RI jelas tidak lagi sekuat dulu.

India, misalnya, tetap menjadi pelanggan setia, dengan permintaan yang tinggi untuk kebutuhan pengobatan tradisional Ayurveda dan terapi pijat. Sementara itu, Taiwan masih menyerap produk ini, terutama untuk industri kesehatan herbal yang semakin berkembang. Di luar pasar yang tersisa ini, balsem RI seperti kehilangan tempatnya di persaingan global.

Di balik turunnya ekspor ini, ada pertanyaan yang menggelitik kenapa bisa turun drastis? Apakah ini hanya soal tren? Atau ada faktor lain yang membuat balsem RI kehilangan momentum?

Balsem, yang sering dikaitkan dengan produk kesehatan tradisional berbasis rempah, memiliki sejarah panjang sebagai komoditas ekspor Indonesia. Berbeda dengan 5 negara tujuan ekspor balsem dengan nilai tertinggi di 2023, selama bertahun-tahun, Belanda menjadi importir terbesar balsem RI, dengan total transaksi mencapai US$5,85 juta dalam lima tahun terakhir, disusul India (US$3,26 juta) dan Singapura (US$3,10 juta).

Balsem khas Indonesia bukan sembarang produk. Di dalamnya terkandung jejak warisan rempah-rempah Nusantara yang telah digunakan selama berabad-abad. Proses pembuatannya pun masih mempertahankan unsur tradisional, meskipun sudah dikombinasikan dengan teknik modern.

Di pabrik-pabrik kecil maupun skala industri, pembuatan balsem diawali dengan ekstraksi minyak atsiri dari bahan-bahan alami seperti kayu putih, cengkeh, dan jahe. Proses destilasi ini menghasilkan minyak berkualitas tinggi, yang kemudian dicampur dengan lilin lebah atau parafin untuk mendapatkan konsistensi khas balsem. Beberapa produsen juga menambahkan mentol dan kamper untuk memberikan efek hangat yang lebih kuat saat dioleskan ke kulit.

Yang menarik, sebagian besar bahan baku balsem Indonesia berasal dari perkebunan lokal. Minyak kayu putih, misalnya, diproduksi di Maluku dan NTT, sementara cengkeh banyak berasal dari Sulawesi dan Sumatra. Kombinasi bahan inilah yang menjadikan balsem Indonesia berbeda dari produk sejenis dari negara lain. Namun, meski kualitasnya tak diragukan, ekspor tetap merosot.

Ada beberapa faktor yang mungkin menjelaskan mengapa ekspor balsem RI kehilangan panasnya di pasar global. Salah satunya adalah anomali akibat pandemi.

Pada 2020, ekspor balsem melonjak bukan karena pertumbuhan industri yang alami, tetapi karena lonjakan permintaan mendadak akibat COVID-19. Ketika pandemi melanda, orang-orang di seluruh dunia beralih ke pengobatan herbal dan balsem sebagai solusi alternatif untuk meredakan gejala flu dan batuk. Ini yang menjelaskan mengapa ekspor mendadak naik drastis, hanya untuk kemudian turun lagi begitu kondisi mulai normal.

Selain itu, persaingan di pasar global juga semakin ketat. Negara-negara seperti Thailand dan Tiongkok mulai menawarkan produk sejenis dengan harga yang lebih kompetitif dan branding yang lebih modern.

Di Eropa, regulasi terkait bahan aktif dalam produk kesehatan semakin diperketat, membuat beberapa jenis balsem sulit masuk ke pasar. Tanpa inovasi dan strategi pemasaran yang kuat, produk balsem Indonesia semakin terpinggirkan.

Namun, bukan berarti masa depan balsem RI sudah berakhir. Tren global justru mulai bergerak ke arah produk berbasis herbal dan natural, yang bisa menjadi celah bagi industri ini untuk bangkit kembali.

Pasar Timur Tengah dan Amerika Latin, misalnya, menunjukkan ketertarikan yang meningkat terhadap minyak atsiri dan produk berbasis rempah. Jika Indonesia bisa menyesuaikan produk balsemnya dengan tren kesehatan modern, seperti dengan menambahkan sertifikasi organik atau menggencarkan kampanye "wellness product," peluang ekspor bisa kembali terbuka lebar.

Saat ini, balsem RI mungkin tidak lagi sehangat dulu di pasar global. Namun, di dunia yang semakin sadar akan manfaat pengobatan alami, selalu ada peluang bagi produk tradisional untuk menemukan jalannya kembali. Pertanyaannya, apakah Indonesia siap untuk menyalakan kembali bara industri balsemnya?

CNBC Indonesia Research

(emb/emb)

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |