Antara Bencana, Lingkungan, dan Pangan

7 hours ago 3

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Bencana alam, kerusakan lingkungan, dan krisis pangan merupakan tiga tantangan besar yang saling terkait. Dalam beberapa tahun terakhir, frekuensi dan intensitas bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor, dan kekeringan terus meningkat.

Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat bahwa 98% bencana di Indonesia pada tahun 2024 adalah bencana hidrometeorologi, dengan kerugian ekonomi mencapai lebih dari Rp 50 triliun. Di balik bencana ini, terdapat pola yang sama: tata kelola lahan yang buruk, alih fungsi lahan masif, dan degradasi lingkungan. Dampaknya tidak hanya merusak ekosistem, tetapi juga mengancam ketahanan pangan nasional.

Akar Masalah

Tata kelola lahan yang tidak terintegrasi dan berkelanjutan menjadi akar dari banyak masalah lingkungan dan bencana alam di Indonesia. Alih fungsi lahan, terutama dari hutan dan lahan pertanian menjadi perkebunan monokultur, pertambangan, dan permukiman, telah mengubah wajah lingkungan secara drastis. Berdasarkan data Kementerian Kehutanan, Indonesia kehilangan 1,2 juta hektar hutan antara 2022 dan 2024, dengan alih fungsi lahan menjadi penyebab utama.

Alih fungsi lahan ini tidak hanya mengurangi tutupan hutan, tetapi juga mengganggu siklus hidrologi. Hutan yang berfungsi sebagai penyerap air dan pencegah erosi telah hilang, digantikan oleh lahan-lahan yang rentan terhadap degradasi. Akibatnya, daerah aliran sungai (DAS) mengalami kerusakan parah. Sebanyak 112 dari 458 DAS di Indonesia berada dalam kondisi kritis, berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup tahun 2024. Kondisi ini memicu meluapnya air, banjir bandang dan longsor, seperti yang terjadi di Puncak, Jawa Barat, pada awal 2025, yang berdampak terhadap 1.399 jiwa dari 381 keluarga dan menewaskan seorang warga lokal akibat hanyut, serta merusak lahan-lahan pertanian.

Kerusakan lingkungan akibat alih fungsi lahan dan tata kelola yang buruk telah memperparah risiko bencana alam. Banjir dan longsor yang terjadi di berbagai daerah, seperti Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan Sumatera Barat, adalah contoh nyata. BNPB mencatat bahwa 75% bencana banjir di Indonesia pada tahun 2024 disebabkan oleh kerusakan DAS dan alih fungsi lahan.

Selain itu, pencemaran lingkungan akibat aktivitas pertambangan dan industri telah mencemari sumber daya air dan tanah. Sungai-sungai besar seperti Citarum, Bengawan Solo, dan Musi telah menjadi tempat pembuangan limbah industri dan domestik. Data Kementerian Lingkungan Hidup menunjukkan bahwa 80% sungai di Indonesia tercemar berat pada tahun 2024, dengan kandungan logam berat dan bahan kimia berbahaya yang mengancam ekosistem dan kesehatan manusia.

Dampak pada Sektor Pangan

Sektor pangan menjadi salah satu korban utama dari bencana alam dan kerusakan lingkungan. Lahan pertanian yang subur sering kali menjadi sasaran alih fungsi lahan, sementara lahan yang tersisa rentan terhadap banjir, kekeringan, dan erosi. Menurut Kementerian Pertanian, Indonesia kehilangan sekitar 110.000 hektar lahan pertanian setiap tahun akibat alih fungsi lahan dan bencana alam.

Bencana banjir dan longsor tidak hanya merusak tanaman, tetapi juga mengurangi kesuburan tanah. Banjir besar di Kalimantan Selatan pada awal 2025, misalnya, menyebabkan sekitar 1.200 hektar lahan persawahan yang terendam banjir. Di sisi lain, kekeringan akibat kerusakan DAS dan perubahan iklim telah mengurangi ketersediaan air irigasi. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa produksi padi nasional pada 2024 turun 3% dibandingkan tahun sebelumnya, sebagian besar akibat cuaca ekstrem dan kerusakan lingkungan.

Tata Kelola yang Holistik

Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan pendekatan tata kelola lahan yang holistik dan berkelanjutan. Pertama, pemerintah terus berupaya memperkuat regulasi dan penegakan hukum terhadap alih fungsi lahan, terutama di daerah hulu dan kawasan lindung.

Kedua, perlu ada integrasi kebijakan antara sektor lingkungan, pertanian, dan tata ruang untuk memastikan pembangunan yang ramah lingkungan.

Ketiga, restorasi lahan dan DAS harus menjadi prioritas. Program seperti penanaman pohon, pembangunan embung, dan konservasi tanah dapat mengurangi risiko bencana dan meningkatkan produktivitas pertanian.

Keempat, perlu ada insentif bagi petani dan masyarakat untuk menjaga kelestarian lingkungan, seperti program pertanian berkelanjutan dan agroforestri.

Tata kelola lahan yang buruk dan alih fungsi lahan yang masif telah mengubah lingkungan menjadi sumber bencana, sementara sektor pangan menjadi korban utama. Jika tidak ada perubahan mendasar dalam kebijakan dan praktik tata kelola lahan, Indonesia akan terus menghadapi lingkaran setan bencana dan krisis pangan.

Sudah saatnya kita memandang lahan bukan hanya sebagai sumber ekonomi, tetapi juga sebagai aset lingkungan yang harus dijaga. Dengan tata kelola lahan yang berkelanjutan, kita dapat mengurangi risiko bencana, memulihkan lingkungan, dan menjamin ketahanan pangan untuk generasi mendatang. Ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga semua pihak, termasuk swasta dan masyarakat.


(dpu/dpu)

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |