Jakarta, CNBC Indonesia - Memasuki tahun baru 2026, delapan ekonom tanah air memperkirakan kondisi perekonomian Indonesia akan mengalami perbaikan, dengan laju pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat dari 2025.
Mereka menganggap konsumsi rumah tangga yang menjadi pendorong utama pertumbuhan, dengan porsi sekitar 53% terhadap produk domestik bruto (PDB) akan mengalami perbaikan. Ditopang oleh kebijakan pemerintah yang tengah fokus memperbaiki daya beli masyarakat melalui berbagai kebijakan insentif, baik dari sisi fiskal maupun moneter.
Di sisi lain, komponen kedua terbesar, yakni pembentukan modal tetap bruto (PMTB) juga akan mengalami penguatan, didukung sinyal makin gencarnya investasi yang porsinya 29,15% terhadap PDB. Lalu, kinerja ekspor yang memiliki porsi 22,18% PDB juga masih berpotensi terjaga dengan prospek iklim perdagangan dunia yang makin kondusif.
Percepatan Pertumbuhan
Delapan ekonom yang berasal dari institusi lembaga jasa keuangan hingga think tank kompak memperkirakan ekonomi Indonesia mampu mengalami percepatan pertumbuhan pada 2026, bila dibandingkan 2025.
Namun, mereka menganggap, laju pertumbuhannya tak akan secepat target pemerintah dalam UU APBN 2026 sebesar 5,4%. Bahkan, di antaranya mematok proyeksi pertumbuhan di kisaran bawah target pertumbuhan ekonomi pemerintah untuk 2025 yang sebesar 5,2%.
Tim ekonom BCA misalnya, di bawah kepemimpinan Kepala Ekonom BCA David Sumual memperkirakan, laju pertumbuhan PDB riil pada 2026 hanya akan tumbuh di kisaran 5,1%, sedikit lebih tinggi dari prospek pertumbuhan keseluruhan tahun ini sebesar 5%.
Daya dorongnya terletak pada stimulus fiskal dan moneter yang gencar didorong pemerintah dan Bank Indonesia pada tahun itu, sehingga akan mendongkrak investasi dan konsumsi masyarakat. Namun, ada faktor penghambat pertumbuhan yang masih tak kunjung membaik dan menjadi masalah struktur, yakni lambatnya pertumbuhan pendapatan masyarakat.
"Prospek makroekonomi Indonesia diperkirakan akan mengalami perbaikan moderat pada 2026, didukung oleh kebijakan fiskal ekspansif untuk meningkatkan konsumsi dan suku bunga pinjaman yang lebih rendah untuk merangsang investasi, meskipun masalah struktural di sektor rumah tangga akan terus membatasi momentum tersebut," dikutip dari BCA 2026 Indonesia Economic Outlook, Selasa (30/12/2025).
Prospek pertumbuhan 5,1% juga dikeluarkan oleh Ekonom CGS International Sekuritas Indonesia Wisnu Trihatmojo. Terutama karena tekanan PHK telah mereda hingga mampu mendorong daya beli masyarakat meski tingkat pendapatan masih rendah. Selain itu, laju investasi juga akan mampu terdorong oleh BPI Danantara.
Sementara itu Kepala Ekonom Permata Bank Josua Pardede, memproyeksikan pertumbuhan ekonomi 2026 akan mampu ke level kisaran 5,1%-5,2% setelah laju pertumbuhan pada 2025 akan berada di kisaran 5%-5,1%.
Sedikit lebih cepatnya proyeksi laju pertumbuhan itu, kata Josua, disebabkan makin besarnya ruang penurunan suku bunga acuan BI yang berpotensi mendorong lebih cepat konsumsi dan investasi, terutama karena terus terjaganya tekanan inflasi di kisaran bawah 3% sepanjang tahun ini.
"Konsumsi membaik seiring dukungan kebijakan pemerintah dan biaya pinjaman yang lebih ringan, sementara investasi didorong proyek bangunan serta ekspansi dunia usaha yang mulai pulih ketika suku bunga menurun," tegas Josua.
Sama halnya dengan Ekonom Maybank Myrdal Gunarto yang turut memperkirakan laju pertumbuhan ekonomi pada 2026 memang bisa mencapai ke titik 5,21% akibat faktor kondusifnya situasi ekonomi domestik. Ekonom UOB Kay Hian Surya Wijaksana bahkan lebih percaya diri lagi, laju pertumbuhan bisa menembus ke level 5,3% pada 2026 karena adanya indikator perbaikan daya beli kelas menengah dan kelas atas.
Proyeksi 5,3% juga disampaikan oleh Chief Economist Trimegah Sekuritas Indonesia Fakhrul Fulvian dari prospek pertumbuhan pada 2025 yang ia sebut hanya akan di kisaran 5,06%. Terutama karena arah kebijakan pemerintah dan bank sentral yang sangat tegas pro pertumbuhan.
Sementara itu, dari lembaga think tank, seperti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia memperkirakan, laju pertumbuhan pada 2026 hanya akan berada pada kisaran 4,9%-5,1%. Strategic Research Manager CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet menitikberatkan pada tekanan upah riil masyarakat yang berpotensi menahan laju pertumbuhan.
"Konsumsi diperkirakan belum pulih secara signifikan, tercermin dari tekanan pada upah riil di sejumlah sektor utama dan lambatnya transmisi stimulus ke daya beli masyarakat," ucap Rendy.
Sedangkan Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution (ISEAI) Ronny P Sasmita memperkirakan, pertumbuhan ekonomi tanah air pada tahun depan hanya akan berada pada kisaran 5%-5,4%. "Konsumsi rumah tangga, saya meyakini akan tetap tumbuh, tetapi agak melambat secara struktural, seiring tekanan biaya hidup dan perubahan pola belanja kelas menengah," katanya.
Iklim Perdagangan
Meredanya ketegangan perang dagang, dan berkurangnya tensi Presiden AS Donald Trump untuk mengenakan tarif resiprokal ke mitra dagang utamanya, termasuk Indonesia membuat sejumlah ekonom optimistis kinerja ekspor Indonesia terjaga.
Ekonom CGS International Wisnu Triahatmojo memperkirakan, pertumbuhan net ekspor sepanjang tahun depan masih akan bergerak di kisaran 4%, sedikit lebih rendah dari proyeksi laju pertumbuhannya pada 2025 sebesar 4,1%.
Menurutnya, laju pertumbuhan ekspor akan didorong oleh tak banyaknya pengaruh tarif resiprokal AS ke Indonesia yang dibuktikan dari surplus neraca perdagangan selama 10 bulan pada 2025 yang masih terus terjaga.
Selain itu, pada 2026 akan banyak kerja sama internasional antara Indonesia dengan sejumlah kawasan ekonomi, seperti IEU-CEPA, ICA-CEPA, and IEAEU-FTA. Menurut tim ekonom BCA, sejumlah kesepakatan perdagangan itu akan menjadi katalis pendorong kinerja ekspor ke depannya.
Namun, potensi tekanan ekspor menurut mereka akan terjadi akibat lemahnya kinerja ekonomi negara terbesar kedua dunia, yakni China. Permintaan yang rendah dari negeri tirai bambu itu akan menekan harga-harga komoditas andalan ekspor Indonesia.
"Harga komoditas yang lebih rendah-terutama batubara, minyak sawit, dan logam-mengurangi pendapatan ekspor dan menekan arus kas perusahaan. Setelah peningkatan ekspor di awal tahun 2025, normalisasi ekspor menjadi lebih sulit, mendorong Indonesia menuju defisit Neraca Transaksi Berjalan yang ringan (-0,2% hingga -0,4% dari PDB)," ucap Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas Fakhrul Fulvian.
Kepala Ekonom Permata Bank Josua Pardede juga menegaskan, saat kebijakan tarif resiprokal Trump pada April 2025 diumumkan, sebelum pemberlakuannya, sebetulnya telah membuat adanya percepatan pengiriman komoditas dari Indonesia. Maka, setelah adanya normalisasi pada 2026 akan membuat moderasi kinerja ekspor.
"Tantangannya, eksternal masih rentan karena perang dagang dan perlambatan ekonomi mitra dagang besar, ditambah tren pelemahan sebagian harga komoditas yang dapat menekan penerimaan ekspor," paparnya.
Prospek Investasi
Kalangan ekonom Indonesia memperkirakan, iklim investasi akan semakin membaik pada 2026, berpotensi mendorong percepatan pertumbuhan pembentukan modal tetap bruto alias PMTB.
Kepala Ekonom Trimegah Sekuritas Fakhrul Fulvian memperkirakan, laju pertumbuhan investasi pada 2026 akan mencapai 5,13% jauh lebih tinggi dari proyeksi sepanjang tahun ini dikisaran 4,81 %.
Kondisi ini kata dia didasari oleh sentimen positif yang dibangun pemerintah untuk mempercepat belanja negara baik di tingkat pusat maupun daerah untuk mendorong permintaan domestik yang lebih kuat.
"Dengan koordinasi ini, semester pertama tahun 2026 menghasilkan peningkatan konsumsi dan investasi yang luas," ucapnya Fakhrul.
Ekonom CGS International Wisnu Triahatmojo juga memperkirakan, laju pertumbuhan investasi atau PMTB pada 2026 akan mampu bergerak di kisaran 5%. Terutama digerakkan oleh Badan Pengelola Investasi Danantara.
"Operasi Danantara akan memperkuat investor domestik yang saat ini menyumbang 55% dari investasi langsung 9M25, mengalahkan dominasi FDI," ucapnya.
Meski begitu, dengan mengesampingkan ketidakpastian global yang tinggi, pemulihan FDI kata dia membutuhkan upaya meyakinkan kembali investor asing mengenai stabilitas politik, pelaksanaan kebijakan, dan integritas data.
Sementara itu, kamar dagang asing mengangkat isu sentralisasi, transparansi regulasi, proteksionisme, dan persaingan yang adil antara perusahaan milik negara dan perusahaan swasta.
Analis senior Indonesia Strategic and Economics Action Institution Ronny Sasmita menambahkan, investasi khususnya di sektor hilirisasi, energi, dan infrastruktur logistik, diperkirakan akan menjadi pembeda pada 2026, karena fokus pemerintah bukan lagi ekspor komoditas bahan mentah.
"Pertumbuhan diperkirakan juga akan semakin ditentukan oleh kemampuan Indonesia menarik FDI untuk jangka panjang, bukan modal portofolio jangka pendek," paparnya.
Strategic Research Manager CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet menganggap, dorongan investasi dari dalam negeri juga akan mendapatkan tambahan tenaga dari program prioritas pemerintah seperti seperti Makan Bergizi Gratis dan Koperasi Desa Merah Putih.
"Yang memang ditujukan untuk menstimulasi konsumsi masyarakat sekaligus mendorong aktivitas investasi di tingkat daerah. Namun, desain ekspansif ini berdiri di atas fondasi fiskal yang relatif rapuh, karena target penerimaan negara terbilang optimistis," paparnya.
Gejolak Rupiah
Dari sisi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, kalangan ekonomi di Indonesia memperkirakan, masih akan mengalami tekanan gejolak dari berbagai sisi. Tim ekonom BCA misalnya, memperkirakan, pergerakan kurs rupiah pada 2026 masih akan merangkak naik ke kisaran Rp 16.784/US% untuk rata-rata setahun. Naik dari estimasi pada 2025 di kisaran Rp 16.461/US$.
Kondisi itu tak terlepas dari belum rentannya ketahanan eksternal Indonesia. Mereka menegaskan, risiko kurs akan dipengaruhi ekspektasi kebijakan moneter global tetap bergejolak. Tim ekonom BCA mencontohkan, gejolak itu seperti dipicu oleh pernyataan tujuh anggota Bank Sentral AS, The Federal Reserve (the Fed) mengisyaratkan tidak akan ada pemotongan suku bunga acuan pada tahun 2026. Selain itu, perkembangan geopolitik seringkali memicu fluktuasi pada USD.
"Pada saat yang sama, fundamental yang mendukung Rupiah tetap lemah, sebagaimana tercermin dari posisi neraca pembayaran," kata tim ekonom BCA.
Kepala Ekonom Permata Bank Josua Pardede menilai, pergerakan kurs rupiah masih akan bergerak di kisaran asumsi pemerintah dalam APBN 2026 Rp 16.500 per dolar AS. Namun ada faktor penekan yang bisa membuat tekanan berlanjut hingga ke level Rp 16.700.
"Penguatan rupiah ditopang peluang aliran modal masuk saat kondisi suku bunga global lebih mendukung, tetapi ruang apresiasinya tidak besar karena beberapa penahan masih ada: normalisasi harga komoditas, defisit transaksi berjalan yang cenderung melebar dibanding 2025, serta kekhawatiran pasar bila bauran kebijakan dalam negeri terlalu longgar di tengah kebutuhan pembiayaan defisit yang meningkat," tegasnya.
Terkait efek dari kebijakan moneter yang longgar di tengah belum stabilnya pasar keuangan, Ekonom UOB Kay Hian Surya Wijaksana bahkan mewanti-wanti, di penghujung tahun depan, kurs rupiah bisa berpotensi tertekan hingga ke level Rp 17.234.
"Ada juga kekhawatiran pasar akan nilai tukar Rupiah yang semakin tertekan akibat kebijakan moneter BI yang cenderung longgar. Rupiah end of year Rp 17,234," paparnya.
Ekonom Maybank Indonesia Myrdal Gunarto juga menganggap, tekanan lanjutan rupiah pada akhirnya bisa membuat inflasi barang-barang impor ke depannya. Sehingga turut mendorong tekanan inflasi mendekati level 3%, yakni 2,75%.
"Ada risiko terkait dengan nilai tukar. Ini juga bisa mempengaruhi dari sisi imported inflation yang meningkat. Kalau itu terjadi ya bisa ada resiko juga tingkat konsumsi kita menjadi tertahan," ucapnya.
Mayoritas para ekonom itu memperkirakan, meski risiko kurs sangat besar tertekan pada tahun depan, suku bunga BI masih akan terus dipangkas ke depannya, dari level saat ini 4,75% menjadi kisaran level 4%. Sementara itu, transaksi berjalan berpotensi defisit ke level 0,4% dari PDB.
Defisit Fiskal
Langkah pemerintah untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi lebih cepat dari level 10 tahun terakhir di kisaran 5% membuat arah kebijakan fiskal makin ekspansif. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa bahkan telah mengerek rencana defisit APBN 2026 dari semula di sebesar Rp 638,8 triliun atau setara 2,48% dari produk domestik bruto (PDB) menjadi Rp 689,1 triliun atau setara 2,68% PDB.
Karena besarnya kebutuhan belanja untuk menjalankan program-program prioritas Presiden Prabowo Subianto, Kepala Ekonom Permata Bank Josua Pardede memperkirakan, defisit APBN 2026 diproyeksikan sekitar 2,72% dari PDB atau kurang lebih Rp700 triliun.
Proyeksi serupa disampaikan oleh Chief Economist Trimegah Sekuritas Indonesia Fakhrul Fulvian yang memperkirakan defisit fiskal di level 2,7%. Terutama karena kemampuan pemerintah dalam mengumpulkan penerimaan negara masih jauh lebih rendah ddibanding negara-negara lain, khususnya negara tetangga.
Pada 2024, dia menyebut rasio penerimaan negara terhadap PDB hanya di level 12,9%. Sedangkan Kamboja sudah di level 13,8% pada 2023, Myanmar 14,4% pada 2019, Thailand 19,9% pada 2023, dan Laos 19% pada 2022. Pada 2024, Vietnam bahkan di level 17,2%, Malaysia 16,8%, Brunei 16,8%, Filipina 16,7%, dan Singapura 15,9%.
"Namun, pengeluaran yang lebih besar berarti defisit fiskal yang lebih besar. Keberlanjutan fiskal menjadi perhatian utama. Fitch Ratings dan Moody's memperingatkan Indonesia akan kehilangan peringkat kredit saat ini, yang telah lama didukung oleh kehati-hatian fiskal. Perlu dicatat bahwa pendapatan pemerintah kita tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain di ASEAN," paparnya.
Ekonom CGS International Sekuritas Indonesia Wisnu Trihatmojo turut memperkirakan APBN pada 2026 akan defisit di kisaran 2,7% dari PDB. Mempertimbangkan program prioritas pemerintah yang sudah makin mapan realisasinya seperti program makan bergizi gratis (MBG) dan kecenderungan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa untuk mengalokasikan dana menganggur ke sektor produktif.
Meski ekspansi fiskal terjadi, Wisnu menekankan, defisit fiskal masih akan terus dijaga pemerintah di kisaran bawah batas aman UU Keuangan Negara sebesar 3% dari PDB. Sebab, ruang pemerintah untuk menerbitkan surat utang juga makin terbatas mengingat dukungan cadangan fiskal dari Saldo Anggaran Lebih (SAL) kian menipis di kisaran Rp 86 triliun pada 2025.
"Kami tidak memperkirakan penurunan peringkat kredit karena menjaga defisit fiskal di bawah 3% dari PDB akan menahan pengambilan utang serta rasio bunga terhadap pendapatan (yang kami catat menarik bagi S&P).
(arj/haa)
[Gambas:Video CNBC]

2 hours ago
4

















































