Jakarta, CNBC Indonesia - Kaburnya investor asing dari Tanah Air tentu tak luput dari peran Morgan Stanley Capital International (MSCI). Perusahaan penyedia indeks global ini terus mengurangi porsi saham Indonesia di dalam indeksnya. Hal ini yang menjadi salah satu pemberat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
Di sepanjang 2025, pergerakan IHSG masih dalam tren penurunan dengan merosot sebesar 4,03% dan mendarat di level 6.794,87 pada penutupan perdagangan Rabu (19/2/2025).
MSCI terus mengurangi bobot saham Indonesia dari 2,2% menjadi 1,5% pada akhir 2024. Hal ini menunjukkan dana asing yang mengacu pada indeks MSCI mengurangi alokasinya ke saham-saham Indonesia, menyebabkan outflow modal dari pasar saham nasional.
Hal ini juga tercermin dari total perusahaan yang masuk MSCI Global Standards turun hampir setengahnya dari puncaknya pada 2019 silam yang mencapai 28 menjadi 17 konstituen untuk periode efektif Maret 2025.
Dalam rebalancing pertama tahun ini, MSCI tidak menambahkan saham baru ke dalam konstituennya, tetapi mengeluarkan tiga saham dari kategori large cap yaitu PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk (INKP), PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA), dan PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR).
Dari tiga yang dikeluarkan itu, MDKA dan INKP turun tahta masuk ke kategori small cap, sementara UNVR tak dimasukkan lagi jadi penghuni MSCI.
Jika melihat secara historis, berikut adalah saham-saham yang masuk dan keluar dari penghuni MSCI Indonesia Global Standards :
Berkurangnya porsi MSCI terhadap saham-saham Indonesia tentu bukan tanpa alasan. Terdapat beberapa penyebab berkurangnya kepercayaan MSCI terhadap pasar saham Indonesia.
1. Ketidakpastian Regulasi & Free Float
Seperti yang investor tahu, bahwa perubahan regulasi yang sering terjadi mendorong ketidakpastian pasar saham Tanah Air. Selain itu masalah free float yang kecil pada beberapa saham juga menjadi alasan berkurangnya kepercayaan investor terhadap pasar saham RI.
Saham dengan free float yang lebih kecil cenderung lebih fluktuatif, menunjukkan likuiditas yang terbatas dan bid-ask yang lebih luas, karena terbatasnya jumlah lembar saham yang tersedia untuk diperdagangkan. Saham seperti BREN dan beberapa emiten lain mengalami masalah free float yang sangat kecil, yang berarti mayoritas saham dikuasai oleh pemegang saham besar. Ini menyulitkan investor asing untuk bertransaksi dalam jumlah besar, karena likuiditasnya sangat terbatas.
2. Krisis Likuiditas
Beberapa saham yang awalnya memiliki likuiditas besar kini mulai menyusut. Hal itu disebabkan oleh ditinggalnya saham tersebut oleh investor besar sehingga volume perdagangannya pun turun. Hal ini pun sangat berpengaruh terhadap beberapa saham di indeks MSCI. Banyak saham yang masuk MSCI awalnya memiliki likuiditas tinggi, tetapi setelah beberapa bulan, volume perdagangannya turun drastis sehingga likuiditasnya turun. Akibatnya, MSCI semakin ragu terhadap stabilitas likuiditas saham-saham Indonesia.
3. Manipulasi MSCI
Terdapat beberapa emiten di Indonesia yang dengan sengaja menaikkan harga dan volume perdagangan sahamnya menjelang review MSCI agar dapat masuk ke indeks. Namun, setelah berhasil masuk, pemegang saham besar atau big money langsung melepas kepemilikannya untuk sekedar mencari cuan sesaat, akhirnya hal ini menyebabkan likuiditas menurun drastis. MSCI semakin sadar akan pola ini, sehingga mereka lebih berhati-hati dalam memasukkan saham baru.
4. Saham RI Didominasi Sektor Komoditas
Diketahui, kini pola investasi telah berubah. Investor asing kini lebih menyukai sektor dan saham teknologi seperti AI. Sementara di Indonesia, saham didominasi oleh sektor komoditas seperti batubara, timah, sawit, dan nikel. Sehingga saat harga komoditas tidak booming, maka sektor tersebut pun menjadi kurang menarik di mata investor.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(saw/saw)