Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Pemerintah Amerika Serikat akhirnya melanjutkan kebijakan trade war (perang dagang) pada periode kedua pemerintahan Presiden Donald J Trump. Trump beberapa waktu lalu telah mengumumkan kebijakan tarif kepada sejumlah negara yang mengekspor produknya ke AS.
Tarif bea masuk yang dipungut pun bervariasi dengan rentang terendah mulai 10% hingga mencapai 97%. Indonesia mendapatkan penetapan tarif bea masuk sebesar 32% yang berada pada posisi tengah untuk kawasan regional. Besaran tarif tertinggi dikenakan bagi Kamboja sebesar 97% serta Singapura mendapatkan tarif 10% atau terendah untuk negara di kawasan ASEAN.
Meskipun bukan merupakan tarif tertinggi, pengenaan bea masuk tersebut akan meningkatkan harga jual produk Indonesia di AS dan berpotensi mengurangi permintaan produk Indonesia di pasar AS. Dampaknya tentu saja akan melemahkan aliran devisa masuk ke dalam negeri.
Sektor manufaktur di Indonesia diperkirakan akan mengalami perlambatan yang tentu saja berkorelasi dengan penyediaan lapangan pekerjaan. Badai PHK yang sempat terjadi beberapa waktu lalu dimungkinkan akan bergulir kembali sebagai akibat dari pengenaan bea masuk oleh pemerintah AS.
Disadari atau tidak, AS merupakan pasar yang menggiurkan bagi sejumlah negara di dunia dan menjadi sumber utama untuk memperoleh devisa. Sebagai salah satu kekuatan ekonomi terbesar di dunia yang didukung dengan jumlah penduduk yang besar, menjadikan AS sebagai pasar yang menguntungkan sebagai mitra dagang banyak negara.
Faktor lain yang mendorong pasar AS sangat menarik adalah mata uang yang digunakan sebagai transaksi. Sebagai mata uang global, dolar menjadi incaran bagi banyak negara sebagai katalis dalam penyelesaian transaksi perdagangan internasional.
Konsekuensi logis sebagai mata uang global adalah transaksi perdagangan akan selalu menyebabkan defisit bagi pihak AS. Hal tersebut yang menjadikan salah satu faktor mengapa pengenaan tarif bea masuk ditetapkan oleh AS.
Tujuan akhir dari kebijakan penetapan bea masuk bukan untuk membuat neraca perdagangan AS menjadi surplus, namun lebih ditujukan agar defisit yang dialami AS bisa berkurang dengan adanya tambahan pembelian produk AS oleh negara mitra dagang AS.
Penetapan tarif bea masuk dalam jangka pendek dipastikan akan memukul perekonomian AS karena berkurangnya produk murah yang selama ini dinikmati warga AS. Namun kondisi tersebut akan membaik dengan bertumbuhnya lapangan pekerjaan sebagai implikasi atas peningkatan pembelian produk-produk AS.
Negara-negara eksportir akan mulai menghitung ulang berbagai alternatif termasuk apakah meningkatkan pembelian produk AS sebanding dengan surplus perdagangan yang selama ini dinikmati.
Menyikapi kebijakan yang diambil oleh pemerintah AS, pemerintah Indonesia hanya memiliki tiga alternatif yang bisa dipilih. Hal pertama yang bisa ditempuh adalah melakukan negosiasi dengan pemerintah AS terkait pengenaan tarif tersebut.
Bagai berpacu dengan waktu, sejumlah negara lain pun juga berpikiran serupa. Negosiasi tentu saja adalah sebuah proses take and give atau saling memberi dan menerima antara pihak yang melakukan negosiasi.
Jika suatu negara menginginkan untuk memperoleh fasilitas bea masuk yang lebih rendah, dipastikan ada konsekuensi yang harus ditawarkan. Satu hal yang diinginkan oleh pemerintah AS adalah pengurangan surplus perdagangan yang selama ini dinikmati.
Indonesia pada trade war jilid pertama sebenarnya sudah mendapatkan tawaran untuk mengurangi surplus perdagangan yang terjadi. Namun sepertinya tawaran dari pemerintah AS tersebut diabaikan hingga saat ini.
Kala itu pemerintah AS mendorong Indonesia untuk mengurangi surplus dengan menawarkan sejumlah paket alutsista berupa pesawat tempur F15EX. Alih-alih tawaran tersebut diambil, Indonesia lebih memilih untuk membeli pesawat serupa yang diproduksi negara Eropa. Pengabaian atas tawaran yang pernah diajukan oleh AS nampaknya akan memperumit proses negosiasi yang akan dilakukan oleh Indonesia kali ini.
Pilihan kedua yang bisa diambil adalah melakukan ekspor produk Indonesia melalui negara perantara. Negara perantara yang bisa dijadikan pilihan adalah negara-negara dengan tarif bea masuk sebesar 10%.
Di kawasan regional hanya Singapura dan Australia yang mendapatkan tarif terendah. Ekspor melalui negara perantara bukan merupakan hal yang mudah dilakukan khususnya ketika dihadapkan pada fakta dari mana asal produk tersebut.
Certificate of Origin atau Customs-Trade Partnership Against Terrorism adalah dokumen yang digunakan oleh pemerintah AS dalam menelusuri asal dari sebuah produk. Tantangan lain dari penggunaan negara perantara tentu saja kapasitas produk dari negara tersebut.
Singapura memiliki kapasitas produksi manufaktur yang terbatas karena wilayahnya yang sempit, sehingga mustahil jika kemudian terjadi pelonjakan ekspor ke AS melalui Singapura. Begitu juga dengan Australia, dengan tingkat upah butuh yang tinggi tentu sangat tidak mungkin bagi Australia memasok produk padat karya ke AS dengan harga jual yang rendah. Kesimpulannya ekspor melalui negara perantara tidak semudah mengganti label produk dari Made in Indonesia menjadi negara lain.
Opsi selanjutnya ketika negosiasi dan perantara mengalami kebuntuan, maka langkah yang bisa dicoba adalah mencari negara substitusi yang bisa menyerap produk ekspor Indonesia. Alternatif ini mungkin terdengar realistis namun disadari atau tidak, langkah serupa juga akan dipilih oleh negara-negara lain.
Bagi Indonesia memilih alternatif ini adalah hal yang sangat memusingkan. Alasan pertama berkaitan dengan pasar yang tersedia. Tidak banyak negara yang memiliki pasar yang cukup besar untuk menyerap produk manufaktur Indonesia. Hanya China, India, dan AS yang memiliki penduduk terbesar di dunia.
Alasan kedua berkaitan dengan produk ekspor Indonesia serta produk sejenis yang berasal dari negara lain. Indonesia akan berhadapan dengan produk produk pesaing yang dihasilkan oleh negara China. Dan kesimpulannya jelas, amat sulit untuk bisa mengungguli produk China dari sisi efisiensi serta produktivitas.
Bagai simalakama akhirnya ketika Indonesia memaksakan diri bersaing dengan China memperebutkan pasar pengganti AS di seluruh dunia. Alih-alih mendapatkan pasar di negara baru, bisa jadi malah produk asal China semakin membanjiri Indonesia. Jika pada tahun 2024 saja Indonesia mengalami defisit US$10,3 miliar dari China, defisit diperkirakan semakin membengkak.
Alternatif keempat tentu saja pasrah dengan tarif yang dikenakan. Do nothing atas kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah AS adalah cara paling mudah, namun hal ini dipastikan membuat perekonomian di dalam negeri bergolak.
Pengurangan ekspor, penurunan nilai tukar ditambah peningkatan jumlah pengangguran bukan merupakan hal yang diinginkan oleh seluruh pihak di dalam negeri. Mengeliminasi AS dari tujuan ekspor Indonesia jelas akan membuat surplus perdagangan Indonesia menyusut.
Fakta menunjukkan bahwa AS merupakan salah satu negara yang selama ini rutin memberikan surplus perdagangan bagi Indonesia. Dengan besaran surplus mencapai US$ 14,3 miliar pada tahun 2024 membuat posisi AS sangat berharga bagi perekonomian negeri ini.
(miq/miq)