Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak mentah di pasar spot tampak melesat pada penutupan perdagangan kemarin di tengah sanksi terhadap Iran serta potensi pertumbuhan pasokan minyak tahun ini yang akan lebih lemah dari perkiraan sebelumnya.
Pada penutupan perdagangan hari kemarin, Kamis (17/04/2025), harga minyak brent naik 3,2% di posisi US$67,96 per barel. Begitu pula harga minyak WTI yang mengalami apresiasi 3,54% di posisi US$64,68 per barel dibandingkan perdagangan sebelumnya (16/04/2025).
Dilansir dari oilprice.com, harga minyak mentah diperkirakan mencatat kenaikan mingguan, setelah pemerintah federal AS menjatuhkan sanksi baru terhadap perusahaan-perusahaan China yang terlibat dalam perdagangan minyak dengan Iran.
Perdagangan komoditas minggu ini berakhir lebih awal karena menjelang Jumat Agung dan libur Paskah.
Berita seputar minyak minggu ini bervariasi, namun perkembangan positif tampaknya mendominasi. Sanksi terhadap Iran menjadi salah satu pendorong utama pemulihan harga minyak. Faktor lainnya adalah prediksi Badan Energi Internasional (IEA) yang memperkirakan pertumbuhan pasokan minyak tahun ini akan lebih lemah dari perkiraan sebelumnya.
IEA dalam laporan minyak bulanan terbarunya menyatakan bahwa pasokan minyak global diperkirakan naik sebesar 1,2 juta barel per hari tahun ini, atau 260.000 barel lebih rendah dibandingkan perkiraan bulan lalu. Penurunan ini disebabkan oleh produksi minyak yang lebih rendah di Amerika Serikat dan Venezuela.
Analis dari IG, Tony Sycamore, mengatakan kepada Reuters bahwa reli harga minyak saat ini didorong oleh beberapa faktor: aksi beli kembali dari posisi short, pelemahan dolar AS (yang membuat minyak mentah lebih murah), dan tekanan AS terhadap Iran. Namun, ia juga memperingatkan bahwa jika pertumbuhan ekonomi AS mendatar dalam dua kuartal ke depan, dan pertumbuhan ekonomi China melambat ke kisaran 3-4%, maka prospek permintaan minyak bisa melemah.
Sementara itu, analis komoditas dari ING mencatat bahwa ketegangan dagang antara AS dan China turut memengaruhi prospek permintaan minyak. Dalam catatannya, mereka menyebutkan bahwa "Belum jelas ke mana arah eskalasi ini akan berujung. Ketidakpastian ini menciptakan hambatan besar bagi pertumbuhan global dan, pada akhirnya, permintaan minyak."
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)