Susi Setiawati, CNBC Indonesia
05 December 2025 11:03
Jakarta, CNBC Indonesia - Akhirnya kebijakan ketat Bank Sentral Amerika Serikat (AS), The Federal Reserve (The Fed) berakhir pada awal Desember ini, setelah pidato Jerome Powell mengatakan cadangan perbankan sudah cukup longgar.
Berakhirnya program Quantitative Tightening (QT) yang diumumkan Jerome Powell menjadi salah satu titik balik besar di pasar global. Sinyal ini menandai berakhirnya era kebijakan moneter superketat dan membuka peluang bahwa The Fed akan segera memasuki fase pelonggaran.
Pelaku pasar langsung merespons positif, menurut CME FedWatch probabilitas pemangkasan suku bunga acuan pada Desember 2025 kini nyaris menembus 80%, mencerminkan ekspektasi kuat bahwa inflasi berhasil dijinakkan dan kebijakan moneter akan lebih ramah bagi pertumbuhan.

Dari sisi politik, dinamika yang terjadi juga semakin memperkuat sentimen pasar. Menurut data Polymarket, sekitar 85% pemilih memberi suara kepada Kevin Hassett sebagai kandidat utama Ketua The Fed berikutnya, dan Donald Trump sendiri sudah memberikan kode keras bahwa Hassett sangat mungkin menggantikan Powell.
Sebenarnya ini bukan kejutan besar, Hassett memang bukan orang baru di lingkaran Trump. Ia pernah menjabat sebagai Chairman of the Council of Economic Advisers (CEA) pada 2017-2019, dan kini merupakan Director of the National Economic Council (NEC) di pemerintahan Trump 2.0.
Yang membuat pasar semakin optimistis adalah karakter kebijakan Hassett yang dikenal sangat dovish. Ia selama ini mendukung pemangkasan suku bunga agresif dan lebih fokus pada pertumbuhan ekonomi serta penciptaan lapangan kerja ketimbang menekan inflasi secara ekstrem.
Bila Hassett benar-benar memimpin The Fed, pasar memperkirakan kebijakan moneter akan jauh lebih akomodatif, membuka peluang terjadinya aliran likuiditas besar-besaran ke aset berisiko.
Dalam skenario itu, dolar AS berpotensi melemah, yield treasury bisa turun, dan likuiditas global mengalir ke pasar negara berkembang, termasuk Indonesia.
Saham-saham domestik pun berpeluang menikmati tailwind kuat, mulai dari perbankan, konsumer, komoditas, hingga saham-saham undervalued yang biasanya memimpin reli saat fase risk-on dimulai.
Harapan Sektor Konsumer Bangkit
Sektor konsumer adalah salah satu kelompok saham yang paling sensitif terhadap perubahan likuiditas global dan ekspektasi penurunan suku bunga.
Penurunan suku bunga biasanya meringankan biaya pendanaan perusahaan, meningkatkan kepercayaan konsumen, dan mendongkrak daya beli rumah tangga. Ruang konsumsi juga ikut menguat karena tekanan inflasi global bisa cenderung mereda bersamaan dengan pelonggaran moneter.
Di Indonesia, sektor konsumer memiliki pondasi yang kuat berkat besarnya populasi dan stabilnya permintaan domestik. Ketika likuiditas masuk, investor asing biasanya menjadikan sektor ini sebagai target utama karena earnings-nya cenderung stabil, defensif, dan cepat merespons pemulihan makro.
Saham-saham FMCG, ritel modern, makanan-minuman, hingga penghasil barang kebutuhan pokok seperti PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF), Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP), Mayora Indah Tbk (MYOR), Kalbe Farma Tbk (KLBF), Industri Jamu dan Farmasi Sido Muncul Tbk (SIDO), hingga Sumber Alfaria Trijaya Tbk (AMRT) berpotensi menikmati kenaikan permintaan sekaligus perbaikan margin karena biaya pendanaan yang lebih rendah.
Sektor Perbankan Juga Dapat Berkah
Sektor perbankan juga menjadi salah satu yang paling berpotensi mendapat berkah dari siklus penurunan suku bunga. Apalagi Indonesia sudah lebih dulu memasuki fase pelonggaran moneter dibandingkan AS.
Sepanjang Januari hingga September 2025, Bank Indonesia (BI) telah menurunkan suku bunga acuan sebanyak lima kali, dengan total penurunan 125 basis poin dari 6,00% menjadi 4,75%.
Penurunan suku bunga yang lebih awal ini memberikan efek yang langsung terasa pada industri perbankan, terutama dari sisi cost of fund dan permintaan kredit. Data loan growth menunjukkan perbaikan signifikan antara Juli hingga September.
Meskipun pada September sempat terlihat sedikit perlambatan, posisinya tetap jauh lebih baik dibandingkan titik terendah tahun ini, menandakan bahwa permintaan kredit mulai pulih dan aktivitas pembiayaan kembali bergerak.
Loan Growth Perbankan Indonesia (%yoy)
Dengan kondisi seperti ini, bank-bank besar maupun bank menengah berpotensi mendapatkan manfaat paling besar. Penurunan suku bunga membuat biaya dana (cost of fund) menurun, NIM bisa lebih terjaga, sementara permintaan kredit konsumsi, produktif, maupun investasi mulai naik.

Emiten-emiten seperti PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI), PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN), PT Bank OCBC NISP Tbk (NISP), hingga PT Bank CIMB Niaga Tbk (BNGA) berada dalam posisi strategis untuk menangkap peluang tersebut.
Bank-bank besar BUKU IV seperti BMRI, BBRI, dan BBNI biasanya menjadi pilihan utama investor asing karena skala ekonomi, kualitas aset yang kuat, serta likuiditas tinggi. Sementara bank seperti BBTN, NISP, dan BNGA bisa mendapatkan dorongan tambahan dari perbaikan permintaan kredit perumahan, segmen UMKM, serta kredit komersial yang mulai pulih.
Sektor Komoditas
Berbeda dengan konsumer dan perbankan yang sensitif terhadap pergerakan suku bunga domestik, sektor komoditas lebih banyak dipengaruhi oleh likuiditas global, arah dolar AS, dan tren harga komoditas dunia. Dalam skenario global risk-on, ketika dolar AS melemah dan yield US Treasury turun, investor institusi biasanya mulai menambah bobot di aset berisiko, termasuk komoditas.
Dolar AS yang lebih lemah juga membuat harga komoditas cenderung naik karena mayoritas dihitung dalam USD. Bagi Indonesia, kondisi seperti ini menjadi katalis kuat untuk emiten komoditas, terutama yang bergerak di batu bara, nikel (EV metals), serta minyak dan gas.
Ada emiten batu bara seperti PT Bayan Resources Tbk (BYAN), PT Adaro Andalan Indonesia Tbk (AADI), dan PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG) berpotensi mendapatkan manfaat dari kenaikan ASP dan stabilnya permintaan regional.
Selain itu, ada emiten nikel seperti PT Vale Indonesia Tbk (INCO) dan PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) berpotensi masuk radar investor global, terutama karena posisinya di rantai pasok EV metals.
Terakhir, ada emiten di sektor energi terkait migas seperti PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) dan PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) yang bisa dapat perhatian, apalagi akhir-akhir harga gas alam cair naik tinggi.
Sanggahan : Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investor terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(saw/saw)

1 hour ago
1

















































