Sumatera Karam, Krisis Kemanusiaan Mengancam

2 hours ago 2
Medan

18 Desember 202518 Desember 2025

Sumatera Karam, Krisis Kemanusiaan Mengancam Farid Wajdi. Waspada.id/ist

Ukuran Font

Kecil Besar

14px

MEDAN (Waspada.id): Farid Wajdi selaku Founder Ethics of Care/Anggota Komisi Yudisial 2015-2020, menyoroti masalah situasi banjir dan longsor di Sumut. Sumatera karam krisis kemanusiaan mengancam. Demikian Farid Wajdi pada Kamis (18/12/2025).

Dipaparkannya, banjir dan longsor yang melanda Sumatera telah melampaui batas peristiwa alam biasa. Ia menjelma menjadi krisis kemanusiaan yang nyata, terbuka, dan mengancam keselamatan ribuan warga.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Air bah bukan hanya merendam rumah dan jalan, tetapi juga menggenangi kehadiran negara yang semestinya sigap melindungi warganya. Pertanyaannya tak terelakkan: di mana negara ketika Sumatera karam?

Hampir tiga pekan sejak hujan ekstrem menggulung permukiman, menutup akses desa, dan memaksa warga mengungsi, banyak wilayah terdampak masih terjebak dalam situasi darurat.

Bantuan datang tersendat, distribusi logistik timpang, layanan kesehatan minim, dan pengungsi hidup dalam ketidakpastian yang melelahkan.

Di sejumlah tempat, warga bertahan berkat dapur umum swadaya dan solidaritas lokal, bukan karena sistem penanganan bencana yang terencana dan terkoordinasi. Waktu berlalu, penderitaan kian mengeras.
Alih-alih mempercepat penanganan, pemerintah justru memilih menolak tawaran bantuan internasional.

Dalih kedaulatan dan kemampuan nasional terdengar tegas di ruang konferensi pers, tetapi rapuh ketika diuji di lapangan. Dalam bencana berskala luas yang melampaui kapasitas daerah, penolakan tersebut bukan simbol kemandirian, melainkan keputusan politis yang mahal.

Biayanya dibayar oleh para korban: evakuasi yang terlambat, layanan medis yang terbatas, dan logistik yang tak kunjung merata.

Ketika nyawa menjadi taruhan, menjaga citra negara tidak seharusnya mengalahkan urgensi menyelamatkan manusia.

Absennya Kepemimpinan Darurat

Namun tragedi ini tidak lahir dari langit yang murka semata. Bencana Sumatera adalah hasil dari akumulasi panjang kerusakan ekologis yang dilegalkan kebijakan. Hutan ditebang, lahan basah dikeringkan, daerah resapan air dialihfungsikan, sungai dipersempit oleh pertambangan dan ekspansi perkebunan.

Alam diperlakukan sebagai objek eksploitasi, lalu disalahkan ketika tak lagi mampu menahan beban. Banjir dan longsor adalah bahasa peringatan yang diabaikan terlalu lama, hingga akhirnya berteriak.
Dalam pusaran krisis ini, korban tidak pernah netral.

Mereka yang paling menderita adalah kelompok paling rentan: petani kecil, masyarakat adat, perempuan, anak-anak, lansia, dan penyandang disabilitas. Rumah mereka berdiri di kawasan rawan bukan karena abai, melainkan karena pilihan hidup yang sempit.

Ketika bencana datang, mereka pula yang paling lambat menerima bantuan. Ketimpangan sosial menemukan panggungnya yang paling brutal.

Respons negara yang lamban memperdalam luka kemanusiaan. Penanganan terfragmentasi, data korban yang tak kunjung sinkron, serta absennya kepemimpinan darurat yang kuat menandai kegagalan tata kelola bencana. Negara terlihat aktif dalam narasi, tetapi pasif dalam praktik.

Di titik-titik pengungsian, empati warga sering kali bekerja lebih cepat daripada birokrasi.

Sumatera hari ini adalah cermin retak dari model pembangunan yang menomorduakan ekologi dan mengorbankan manusia. Selama bencana terus dipahami sebagai musibah alam semata, bukan sebagai akibat kebijakan dan pilihan ekonomi, tragedi akan berulang. Dengan pola yang sama. Dengan korban yang sama.

Banjir ini bukan hanya peristiwa alam. Ia adalah peringatan keras, pembangunan tanpa batas memiliki harga. Jika negara terus terlambat belajar, setiap hujan lebat berikutnya akan kembali membawa pesan yang sama: alam telah dirusak, dan manusia kembali dibiarkan menanggung akibatnya sendirian.(id18)

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |