Statistik 10 Tahun Bicara: IHSG Tak Ramah, tapi Seram Jelang Natal!

2 hours ago 1

Gelson Kurniawan,  CNBC Indonesia

22 December 2025 12:05

Jakarta, CNBC Indonesia - Menjelang penutupan tahun, lantai bursa selalu dipenuhi dengan narasi manis yang membuai investor. Istilah Window Dressing dan Santa Claus Rally seolah menjadi mantra sakti yang menjanjikan bahwa membeli saham di bulan Desember adalah jalan pasti menuju keuntungan.

Banyak investor ritel yang kemudian terjebak euforia, membeli saham secara agresif di pertengahan bulan dengan harapan portofolio mereka akan menghijau tepat saat Natal tiba.

Namun, realita di lapangan seringkali tidak seindah dongeng pengantar tidur. Tim Riset CNBC Indonesia menelusuri data perdagangan selama satu dekade terakhir, dari tahun 2015 hingga 2024, khusus pada periode satu minggu sebelum libur Natal (kisaran tanggal 17 hingga 24 Desember).

Hasilnya cukup mengejutkan dan mematahkan mitos bahwa minggu ini adalah ladang cuan yang pasti.

Probabilitas Hanya Sebatas Lempar Koin

Data historis menunjukkan bahwa pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di minggu sebelum Natal benar-benar terbelah sama rata. Dari 10 tahun terakhir, pasar mencatatkan skor imbang yaitu lima kali mengalami penguatan (profit) dan lima kali mengalami pelemahan (loss).

Fakta ini menegaskan bahwa peluang investor untuk meraup untung di minggu ini hanyalah 50:50, tak ubahnya seperti melempar koin ke udara. Narasi pesta pora kenaikan harga, rata-rata imbal hasil (return) IHSG di periode ini justru tercatat sedikit negatif di angka -0,09%.

Statistik ini menjadi "lampu kuning" bagi para pemburu cuan instan, menandakan bahwa minggu sebelum Natal bukanlah fase akumulasi yang aman, melainkan periode transisi yang penuh dengan ketidakpastian dan jebakan volatilitas.

Medan Pertempuran Sepi Penghuni

Mengapa performa pasar menjadi begitu galau di minggu ini? Jawabannya terletak pada siklus likuiditas tahunan. Memasuki tanggal belasan Desember, mayoritas investor institusi besar atau Big Money biasanya sudah mulai mengurangi aktivitas trading mereka untuk menikmati liburan akhir tahun.

Absennya para penjaga pasar ini membuat bursa menjadi lebih tipis dan sangat sensitif terhadap sentimen eksternal.

Dalam kondisi pasar yang sepi, pergerakan indeks sangat mudah didikte oleh isu global. Contoh paling nyata terjadi pada tahun 2016, di mana IHSG ambruk hampir 4% hanya dalam seminggu akibat kenaikan suku bunga The Fed yang memicu kepanikan.

Sementara tidak ada institusi lokal yang menahan kejatuhan tersebut. Sebaliknya, ketika sentimen global tenang seperti tahun 2017 atau 2023, pasar bisa naik dengan mulus karena minimnya tekanan jual.

Antara Kebutuhan Liburan dan Ketakutan Krisis

Faktor psikologis investor ritel juga memegang peranan penting dalam tren mixed ini. Berbeda dengan institusi yang memikirkan performa tahunan, investor ritel seringkali melakukan aksi ambil untung (profit taking) di minggu sebelum Natal demi mencairkan dana untuk kebutuhan belanja liburan.

Tekanan jual dari ritel ini semakin terasa di tahun-tahun krisis. Pada tahun 2020 dan 2021 misalnya, ketakutan akan lonjakan kasus Covid-19 pasca liburan membuat investor lebih memilih memegang uang tunai (Cash is King) daripada menahan saham.

Akibatnya, bukannya terjadi reli, pasar justru terkoreksi di saat investor berharap adanya kado sebelum hari raya natal pada tanggal 25 Desember setiap tahunnya.

Performa IHSG 1 Minggu Sebelum Natal (2015-2024)

Berikut adalah rekam jejak IHSG jika membeli saham di sekitar tanggal 18 Desember dan menjualnya pada hari bursa terakhir sebelum libur Natal:

Ubah Spekulasi Jadi Akumulasi

Pelajaran utama dari data satu dekade ini adalah pentingnya mengatur waktu masuk (timing) yang lebih presisi. Minggu sebelum Natal terbukti bukanlah puncak dari Santa Claus Rally, melainkan fase wait and see.

Pesta kenaikan harga yang sesungguhnya secara statistik biasanya baru terjadi di celah waktu yang sempit antara Natal dan Tahun Baru, saat tekanan jual mereda dan institusi melakukan dorongan terakhir untuk menutup buku tahunan dengan manis.

Oleh karena itu, strategi terbaik di minggu yang penuh jebakan ini adalah mengubah pola pikir dari spekulasi jangka pendek menjadi akumulasi strategis.

Daripada mengejar keuntungan instan dalam 5 hari, manfaatkan potensi koreksi atau penurunan harga di minggu ini untuk melakukan Buy on Weakness pada saham-saham berfundamental kuat.

Dengan demikian, investor tidak sedang bertaruh pada mitos kalender, melainkan sedang mempersiapkan posisi terbaik untuk menyambut potensi kenaikan di awal tahun atau January Effect.

-

Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(gls/gls)

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |