RUU Perampasan Aset: Antara Hukum, Politik, dan Harapan Publik

1 hour ago 1

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

RUU Perampasan Aset kembali menjadi sorotan publik di tengah harapan besar terhadap arah baru pemerintahan. Setelah sekian lama tertahan di meja politik, rancangan undang-undang ini kini menghadapi momentum penting: ujian nyata bagi komitmen pemerintah terhadap pemberantasan korupsi dan penguatan tata kelola negara. Perdebatan di ruang publik pun tak hanya soal hukum, tetapi juga tentang keberanian politik untuk menegakkan keadilan tanpa pandang bulu.

Kenapa RUU Perampasan Aset Menjadi Penting?
RUU Perampasan Aset bukan sekadar instrumen hukum, melainkan langkah awal untuk membuka tabir besar praktik korupsi yang selama ini sulit dijangkau mekanisme pidana konvensional. Tingginya tingkat korupsi di Indonesia bukan lagi sekadar statistik. Transparency International Indonesia bahkan menempatkan Indonesia di posisi sepertiga negara paling korup di dunia.

Data menunjukkan ketimpangan antara total kerugian negara dibandingkan dengan realisasi pengembalian ke kas negara. Berdasarkan pantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) tahun 2024, potensi kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp279,9 triliun dalam setahun, sementara realisasi pengembalian ke kas negara hanya Rp28,5 Miliar.

Kesenjangan triliunan rupiah ini membuktikan kegagalan sistem pemulihan aset yang ada, di mana kendala utama perampasan aset di Indonesia selama ini adalah ketergantungan pada vonis pidana (conviction based).

Kelemahan sistem yang masih bergantung pada vonis pidana terlihat jelas dalam kasus-kasus besar seperti Jiwasraya (2018-2020), Asabri (2012-2020), dan bahkan BLBI sejak 1998, di mana proses hukum yang panjang membuat banyak aset sudah berpindah, menurun nilainya, atau tersangkut sengketa sebelum negara dapat melakukan pemulihan.

Oleh karena itu, RUU Perampasan Aset secara mutlak dibutuhkan karena menyediakan instrumen hukum yang memiliki mekanisme perampasan aset tanpa vonis pidana (non-conviction based atau NCB). Mekanisme ini memungkinkan negara mengejar dan menyita harta hasil korupsi, meskipun pelaku melarikan diri atau meninggal dunia.

Berbagai negara telah menunjukkan model perampasan aset NCB dapat dioperasionalkan secara efektif. Misalnya, di Filipina, Presidential Commission on Good Government (PCGG) - komisi ad hoc yang fungsinya kurang-lebih setara dengan Satgas BLBI dalam konteks Indonesia - telah berhasil merebut kembali lebih dari US$ 3,4 miliar aset melalui mekanisme perdata seperti civil forfeiture dan compromise agreements, tanpa bergantung pada penjatuhan pidana terhadap keluarga Marcos.

Di Afrika Selatan, Asset Forfeiture Unit (AFU) - unit khusus yang fungsinya setara dengan Direktorat Pelacakan Aset Kejaksaan RI - telah merebut kembali lebih dari ZAR 10 miliar aset terkait skandal state capture melalui kombinasi mekanisme pidana berbasis putusan (conviction-based confiscation) dan mekanisme perdata tanpa putusan pidana (civil/non-conviction-based forfeiture) berdasarkan Prevention of Organised Crime Act (POCA).

Keberhasilan ini menegaskan bahwa RUU Perampasan Aset adalah kunci untuk membuka jalan bagi pemulihan aset triliunan rupiah dari kasus korupsi yang terhambat, baik karena pelakunya meninggal maupun rumitnya aktor politik.

Sejarah dan Konteks Politik RUU Perampasan Aset
RUU Perampasan Aset telah melewati perjalanan panjang lintas pemerintahan. Gagasannya muncul sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ketika PPATK mulai menyusun draf pada 2008 untuk memperkuat pemulihan aset. Namun, pembahasannya terhenti karena kekhawatiran tumpang tindih dengan KUHAP dan UU Tipikor, serta belum adanya dasar hukum perampasan aset tanpa vonis pidana.

Pada masa Presiden Joko Widodo, pemerintah kembali mengajukan RUU ini melalui Surat Presiden pada Mei 2023. Meski mendapat dukungan publik, pembahasannya kembali tidak tuntas hingga akhir periode DPR karena sejumlah fraksi menilai substansi rancangan tersebut "terlalu sensitif" dan dikhawatirkan dapat membuka ruang penyalahgunaan wewenang.

Namun, logika ini justru problematik. Jika potensi penyalahgunaan dijadikan alasan untuk menolak seluruh norma, maka hampir setiap instrumen hukum dapat dibatalkan dengan dalih yang sama. Justru, kewajiban pembentuk undang-undang bukan menghindari norma karena takut disalahgunakan, melainkan merumuskan desain pengamanan (safeguard) dan mekanisme akuntabilitas yang mencegah penyalahgunaan tersebut.

Kini, di bawah Presiden Prabowo Subianto, muncul komitmen baru untuk mempercepat pengesahan RUU tersebut. Arahan Presiden kepada Menteri Keuangan untuk mengalokasikan dana Rp 13 triliun hasil korupsi bagi program strategis seperti Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) juga kian menunjukkan bahwa pemulihan aset diarahkan untuk memberikan manfaat nyata bagi masyarakat, terutama untuk riset dan beasiswa bagi anak bangsa.

Sikap tegas Prabowo menandakan dorongan politik kuat dari eksekutif agar RUU ini tidak lagi tertunda. Tantangan berikutnya terletak pada bagaimana negara bisa tetap memiliki instrumen yang kuat untuk memulihkan aset hasil kejahatan, tetapi tetap dalam kontrol hukum yang ketat agar tidak berubah menjadi alat represi semata.

RUU Perampasan Aset dalam Sudut Pandang Hukum
Dari sudut pandang hukum, RUU Perampasan Aset layak didukung. Namun, regulasi ini perlu memenuhi sejumlah prasyarat, di antaranya (i) harmonisasi dengan KUHAP baru dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), (ii) kejelasan pengaturan mekanisme pembuktian dan perlindungan hak pihak ketiga, dan (iii) kelembagaan yang akuntabel.

Pertama, RUU Perampasan Aset perlu menyediakan standar prosedur yang seragam untuk pelacakan, pembekuan, dan perampasan aset, terutama ketika suatu perkara bersifat lintas sektor.

Dalam praktik penegakan hukum, aset korupsi hampir selalu dialihkan melalui layering dan integrasi ke skema pencucian uang; aset tindak pidana lingkungan sering dibungkus melalui perusahaan cangkang; dan aset hasil narcotics trafficking kerap terealisasi sebagai properti, saham, atau instrumen keuangan yang tidak tunduk pada satu peraturan perundang-undangan tertentu saja.

Pada titik inilah mekanisme sektoral menjadi tidak memadai. Dengan demikian RUU Perampasan Aset setidak-tidaknya perlu memastikan hal-hal seperti (i) kapan aparat dapat beralih dari yang sebelumnya berbentuk mekanisme sektoral ke mekanisme lintas-sektor; (ii) bagaimana standar pembuktian diterapkan secara konsisten; serta (iii) bagaimana menjamin perlindungan terhadap pihak ketiga yang beriktikad baik.

Kedua, RUU Perampasan Aset memperkenalkan mekanisme NCB, yakni perampasan aset tanpa menunggu vonis pidana. Mekanisme ini memang penting untuk menutup celah impunitas, tetapi penerapannya harus selaras dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocent) dan due process of law, sebagaimana dijamin Pasal 14 ICCPR.

Oleh karena itu, desain hukum acara NCB wajib memastikan pembuktian terbalik yang proporsional, mekanisme keberatan bagi pihak ketiga yang beriktikad baik, serta kontrol pengadilan pada setiap tahap.

Standar ini juga sejalan dengan Prinsip Siracusa, yang mensyaratkan setiap pembatasan hak memenuhi asas kebutuhan (necessity), proporsionalitas, dan tidak bersifat sewenang-wenang. Tak kalah pentingnya, RUU ini juga harus secara tegas mengatur mekanisme pemulihan penuh bagi mereka yang asetnya telah dirampas, tetapi kemudian terbukti tidak terkait tindak pidana, termasuk pengembalian atau kompensasi atas aset yang sudah kadung dilelang.

Tanpa pagar-pagar ini, NCB berisiko bergeser menjadi sanksi pidana terselubung dan membuka ruang "perampasan legal" yang bertentangan dengan larangan campur tangan sewenang-wenang dalam Pasal 17 ICCPR.

Ketiga, memperjelas tata kelola dan desain kelembagaan pengelola perampasan aset. Tanpa arsitektur pemberian kewenangan institusi yang tegas, reformasi ini berisiko berhenti pada level wacana. Pasalnya, kewenangan perampasan aset pada status quo tersebar di berbagai lembaga tanpa mekanisme koordinasi yang jelas, sehingga proses identifikasi, penyitaan, dan pengelolaan aset sering saling tumpang tindih, lambat, atau bahkan tidak dieksekusi sama sekali.

Setidaknya terdapat 3 (tiga) opsi yang perlu dipertimbangkan. Pertama, model di bawah Kejaksaan melalui Badan Pemulihan Aset, yang unggul karena struktur komandonya jelas, cepat operasional, dan terintegrasi dengan proses penuntutan, tetapi memiliki kelemahan berupa potensi konflik kepentingan.

Potensi konflik kepentingan muncul karena Kejaksaan memegang dua peran sekaligus, yakni menuntut pelaku dan mengelola aset, sehingga keputusan penuntutan dapat secara tidak langsung memengaruhi keputusan pengelolaan aset yang seharusnya berdiri sendiri.

Kedua, pembentukan lembaga mandiri di bawah Presiden, semacam "Lembaga Pemulihan Aset Independen" yang dapat dirancang dengan standar transparansi tinggi dan mandat yang fokus, tetapi tentu membutuhkan infrastruktur baru dan rawan tumpang tindih kewenangan.

Ketiga, model tim koordinasi atau satuan/gugus tugas yang menggabungkan beberapa kementerian/lembaga seperti PPATK, KPK, Kejaksaan, dan Polri, yang menawarkan konsolidasi keunggulan masing-masing lembaga, meski tetap rawan terhambat ego sektoral.

Dalam konteks Indonesia yang membutuhkan akselerasi implementasi tetapi tetap memerlukan pengawasan yang kuat, model tim koordinasi atau satuan/gugus tugas dengan mandat dan protokol koordinasi yang dipertegas tampak sebagai pilihan paling realistis. Model ini cukup adaptif karena memanfaatkan struktur yang sudah ada, sekaligus memberi ruang bagi pengawasan kolektif antar-lembaga sehingga potensi penyalahgunaan kekuasaan dapat ditekan tanpa harus membentuk birokrasi baru.

Dalam desain ini, Kejaksaan bertindak sebagai lead agency yang memimpin seluruh proses perampasan aset, sementara PPATK, Polri, KPK, dan DJKN Kemenkeu menjalankan fungsi spesifik sesuai mandat masing-masing-PPATK melakukan financial tracing, Polri/KPK menangani penegakan hukum, dan DJKN mengelola aset yang telah disita atau dirampas.

Untuk memastikan mekanisme ini berjalan efektif, diperlukan protokol koordinasi yang mewajibkan serah-terima data, menetapkan timeline kerja, mengatur alur eskalasi jika ada hambatan, serta memberikan ownership yang jelas pada setiap tahapan. Pemisahan fungsi yang ketat dengan satu pemegang komando seperti ini menciptakan check and balance antar-lembaga, tetapi tetap menjaga akuntabilitas.

Pertimbangan ini juga relevan dengan dinamika politik yang melingkupi RUU Perampasan Aset. RUU ini merupakan salah satu rancangan paling sensitif di parlemen karena substansinya menyentuh kepentingan banyak pihak, terutama terkait kewenangan negara untuk menyita kekayaan tanpa menunggu vonis pidana yang inkracht.

Sensitivitas tersebut sering memunculkan resistensi dari sebagian anggota DPR yang khawatir pada potensi overreach. Dengan demikian, model kelembagaan yang tidak menambah "superbody" baru, tetapi tetap menghadirkan akuntabilitas bersama akan lebih mudah diterima secara politik sekaligus lebih stabil dalam pelaksanaannya.

Lebih lanjut, risiko politisasi RUU ini tidak hanya muncul pada tahap penegakan hukum, tetapi juga dapat berawal dari kualitas perumusannya sendiri. Untuk mencegah ruang penyalahgunaan tersebut, pemerintah dan DPR perlu mengatur beberapa prinsip kunci secara tegas: (i) syarat dan indikator objektif kapan NCB dapat digunakan; (ii) batasan kewenangan aparat dan mekanisme kontrol pengadilannya; serta (iii) kewajiban pencatatan dan publikasi proses yang memungkinkan pengawasan publik.

Penyusunan yang jelas dan terukur seperti ini membuat ruang politisasi jauh lebih kecil, sekaligus memastikan bahwa instrumen perampasan aset berfungsi sebagai alat keadilan, bukan alat kekuasaan.

Peta Jalan Realistis RUU Perampasan Aset
Dengan memahami asal-usul NCB sebagai instrumen hukum pidana modern yang menekankan pengamanan aset publik, langkah selanjutnya adalah menyusun peta jalan yang realistis bagi RUU Perampasan Aset.

Dalam skenario terbaik, pemerintah dan DPR mencapai kesepahaman penuh sehingga desain NCB menjadi jelas dan dapat dioperasionalkan. Pembuktian terbalik dibatasi secara tegas, pengawasan hakim diperkuat, perlindungan bagi pihak ketiga dijamin, dan koordinasi antarlembaga diatur melalui satu mekanisme komando.

Pola ini juga sejalan dengan pendekatan kebijakan hukum pidana berbasis ekonomi yang menempatkan pemulihan aset sebagai cara negara mengembalikan hak publik secara cepat.

Skenario moderat muncul ketika kompromi tidak bisa dihindari. NCB tetap masuk, tetapi diterapkan hanya pada perkara dengan dampak ekonomi besar, dan integrasi kelembagaan dilakukan secara bertahap. Model ini masih bisa dibenarkan melalui pandangan keadilan transisional dalam penanganan korupsi yang pada intinya menekankan pentingnya mengembalikan kerugian masyarakat meski proses pidananya tidak selalu bergerak mulus.

Skenario terburuk terjadi bila kebuntuan politik dan teknis kembali berulang. Substansi NCB berisiko dipangkas atau kembali tertahan di Panja, mempertahankan model lama yang sepenuhnya bergantung pada putusan pidana yang selama ini terbukti lambat dan tidak cukup adaptif menghadapi kejahatan ekonomi yang bergerak cepat.

Pada intinya, nilai strategis RUU Perampasan Aset bergantung pada kemampuan legislasi keluar dari stagnasi tersebut. RUU ini baru akan berarti jika melahirkan desain yang efektif, akuntabel, dan tetap selaras dengan prinsip perlindungan hak warga negara, seraya diperkuat kerangka teoretis yang memandang pemulihan aset sebagai bagian penting dari kebijakan pidana modern, bukan sekadar alat represif negara.


(miq/miq)

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |