Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
"Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, Negara Kesatuan Republik Indonesia mengeluarkan Rupiah sebagai alat pembayaran yang sah."
Kalimat ini tercetak hening namun tegas pada setiap lembar uang Rupiah. Ia bukan sekadar pembuka formal, melainkan pernyataan kedaulatan: bahwa negara, atas nama rakyatnya, menetapkan apa yang sah untuk membayar, bertransaksi, dan menunaikan kewajiban ekonomi di wilayah Indonesia.
Belakangan, publik dikejutkan oleh sebuah peristiwa sederhana namun sarat makna: seorang warga lanjut usia ditolak membayar dengan uang tunai Rupiah di sebuah gerai ritel. Peristiwa ini menjadi perhatian luas bukan karena nilai transaksinya, melainkan karena ia menyentuh pertanyaan mendasar: apa yang secara hukum dan substansi disebut sebagai uang?
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang secara tegas menetapkan Rupiah sebagai satu-satunya alat pembayaran yang sah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kerangka hukum ini diperjelas kembali dalam Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK).
Di dalam beleid itu dinyatakan bahwa Mata Uang Rupiah terdiri atas uang kertas, uang logam, dan Rupiah digital yang kelak akan diterbitkan oleh bank sentral. Hingga hari ini, Rupiah digital tersebut belum diluncurkan.
Di sisi lain, QRIS adalah standar sistem pembayaran nasional. Ia merupakan infrastruktur pembayaran, bukan mata uang.
Ketika seseorang membayar menggunakan QRIS, yang berpindah bukan "uang QRIS", melainkan saldo rupiah yang tercatat pada rekening bank atau uang elektronik yang diterbitkan oleh lembaga keuangan, sebagian di antaranya adalah pihak swasta, di bawah pengawasan otoritas moneter. QRIS berfungsi sebagai jembatan teknis yang menghubungkan pembayar dan penerima, bukan sebagai entitas uang itu sendiri.
Perbedaan ini membawa implikasi risiko yang penting untuk dipahami publik. Uang tunai Rupiah adalah kewajiban langsung bank sentral (kontan). Ketika seseorang memegang uang kertas atau logam, tidak ada risiko pihak ketiga, tidak ada ketergantungan pada sistem teknologi, jaringan, atau institusi perantara. Pembayaran bersifat final, sah, dan berlaku di seluruh wilayah Indonesia. Dalam istilah keuangan, uang tunai adalah alat pembayaran tanpa counterparty risk.
Sebaliknya, transaksi berbasis QRIS selalu melibatkan perantara. Ada sistem perbankan, penyelenggara jasa pembayaran, teknologi, listrik, dan jaringan komunikasi.
Seluruh lapisan ini menghadirkan efisiensi yang besar, tetapi juga risiko inheren dari sistem berbasis akun: gangguan teknis, pembekuan akun, kesalahan operasional, atau kegagalan sistem dapat membuat saldo yang secara nominal ada menjadi tidak dapat digunakan. Ini bukan kelemahan QRIS, melainkan karakter alami dari sistem pembayaran modern.
Kesalahpahaman muncul ketika kemudahan disamakan dengan hakikat. Karena QRIS praktis dan cepat, ia kerap dipersepsikan setara dengan uang. Padahal secara hukum dan moneter, QRIS adalah klaim atas uang, bukan uang itu sendiri.
Oleh karena itu, menolak pembayaran tunai Rupiah dengan alasan hanya menerima QRIS bukan sekadar kebijakan bisnis, melainkan pelanggaran terhadap hak warga negara untuk menggunakan alat pembayaran yang sah sebagaimana ditetapkan undang-undang.
Penting untuk ditegaskan bahwa keberhasilan QRIS justru patut diapresiasi. Tingginya adopsi QRIS mencerminkan kepercayaan publik yang besar terhadap sistem keuangan nasional dan kredibilitas bank sentral. QRIS memperluas inklusi keuangan, menurunkan biaya transaksi, dan meningkatkan efisiensi ekonomi. Dalam banyak hal, ia adalah simbol modernisasi sistem pembayaran Indonesia yang patut dibanggakan.
Namun, keberhasilan teknologi tidak boleh mengaburkan hierarki hukum uang. Undang-undang secara jelas membedakan antara mata uang dan alat pembayaran lain. QRIS adalah pelengkap yang sangat berguna, bukan pengganti Rupiah. Mata uang adalah legal tender, kewajiban kontan Bank Indonesia dan ditetapkan oleh undang-undang. Selama Rupiah digital belum diterbitkan, bentuk Rupiah yang sah tetap uang kertas dan logam.
QRIS, kupon digital, token, dan instrumen serupa adalah alat bantu ekonomi, bukan pengganti uang. Negara boleh dan perlu mendorong inovasi, tetapi juga wajib menjaga agar batas konseptual dan hukum uang tidak kabur. Tanpa batas itu, kita berisiko memindahkan makna uang dari simbol kedaulatan menjadi sekadar antarmuka aplikasi.
Kesadaran ini penting agar digitalisasi pembayaran tidak bergeser menjadi privatisasi implisit alat pembayaran yang sah. Inovasi perlu didorong, tetapi batas konseptual dan hukum uang harus tetap dijaga.
Pada akhirnya, modernisasi moneter bukan soal memilih antara tunai atau digital. Ia adalah soal menjaga satu prinsip mendasar: uang yang sah ditentukan oleh negara demi kepastian hukum, keadilan transaksi, dan kepercayaan publik.
Selama Rupiah kertas dan logam masih menyandang kalimat sakral itu, Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa, dan dilindungi oleh undang-undang, menghormatinya berarti menghormati fondasi kontrak sosial itu sendiri.
(miq/miq)

3 hours ago
1
















































