Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara nyaris tidak bergerak. Ramalan terbaru juga menunjukkan harga batu bara akan kesulitan bangkit.
Merujuk data Refinitiv, harga batu bara ditutup di posisi US$ 106,1 per ton pada perdagangan Rabu (17/12/2025) atau menguat 0,09%.
Penguatan ini menjadi kabar baik setelah harga batu bara tak juga menguat dalam empat hari sebelumnya.
Batu bara masih dalam tekanan karena belum ada kabar baik yang bisa mendongrak harga.
Energy Information Administration atau EIA (Badan Administrasi Informasi Energi Amerika Serikat) memperkirakan permintaan global 2025 naik tipis 0,5% menjadi 8,85 miliar ton, tertinggi sepanjang sejarah.
Namun, secara struktural telah mencapai titik jenuh (plateau). Rekor ini justru menandai awal dari melandainya permintaan ke depan yang berimbas pada harga.
Hingga 2030, konsumsi global diproyeksikan turun sekitar 3% dibanding 2025 dan pembangkit listrik berbasis batu bara akan berada di bawah level 2021.
China Masih Jadi Penentu
Konsumsi batu bara global pada 2025 sangat dipengaruhi oleh faktor cuaca, harga energi, dan kebijakan pemerintah. Permintaan bergerak berlawanan dengan tren historis di sejumlah negara utama
China sebagai konsumen terbesar dunia diperkirakan mencatatkan permintaan relatif stagnan hingga 2030, turun sangat lambat (
India sebagai konsumen terbesar kedua diperkirakan akan menjadi sumber pertumbuhan terbesar hingga 2030, dengan kenaikan permintaan rata-rata 3% per tahun.
Asia Tenggara juga diproyeksi akan mencatatkan pertumbuhan tercepat, lebih dari 4% per tahun hingga 2030. Begitu pula Amerika Serikat. Permintaan dari AS diproyeksi naik 8% pada 2025 berkat dukungan kebijakan dan mahalnya gas, tetapi tren jangka panjang tetap turun.
Sebaliknya, permintaan dari Uni Eropa melambat pada 2025 (-2%) akibat rendahnya output PLTA dan angin.
EIA juga menjelaskan produksi global batu bara sudah mencapai puncak pada 2024 dan diperkirakan turun perlahan hingga 2030. Impor global turun sekitar 5% pada 2025, dipimpin penurunan China dan India.
Perdagangan internasional batu bara berada di bawah tekanan, sementara prospek batu bara metalurgi relatif lebih kuat dibanding batu bara termal.
Dalam hitungan EIA, Indonesia mencatat penurunan produksi pada 2025, pertama sejak pandemi, seiring melemahnya perdagangan global.
Data EIA senada dengan kondisi terkini. Laporan dari SXCoal menunjukkan bahwa harga batu bara termal di pelabuhan-pelabuhan utama China terus anjlok secara tajam. Harga cenderung menembus level psikologis yang semestinya menjadi dukungan harga.
Penurunan ini terjadi meskipun ada upaya dari pelaku pasar untuk menahan harga dengan menahan penjualan, pasokan yang menumpuk di pelabuhan membuat tekanan penurunan harga semakin kuat.
Inventaris batu bara termal di pelabuhan-pelabuhan China meningkat, sehingga pedagang terpaksa menurunkan harga untuk mengurangi kelebihan stok. Tren penurunan ini dipicu oleh permintaan domestik yang lesu, sehingga utilitas dan pembeli besar enggan membeli pada harga saat ini meskipun stok banyak tersedia.
Harga batu bara termal mine-mouth (harga di lokasi tambang sebelum biaya logistik) di China terus melemah seiring permintaan domestik yang sangat lemah dan pasokan yang relatif melimpah di pasar lokal. Tekanan pasar ini menunjukkan bahwa walaupun biasanya harga terbantu oleh musim dingin, pertumbuhan permintaan masih tidak cukup kuat untuk menghentikan penurunan harga di tingkat tambang dan pelabuhan besar.
CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]
(mae/mae)

8 hours ago
2

















































