Rekonstruksi Pertanggungjawaban Hukum Ekologis Dan Transformasi Kepercayaan Hukum Digital Negara Dalam Perspektif Ius Integrum Nusantara

4 hours ago 3

                          
Oleh Dr. H. Ikhsan Lubis, S.H., Sp.N., M.Kn. dan Andi Hakim Lubis

Fokus utama tulisan ini terletak pada pengembangan gagasan transformasi peran negara melalui pemerintah sebagai custodian of digital legal trust, yakni penjaga integritas kepercayaan hukum digital dalam sistem perizinan, pengawasan, dan pembuktian lingkungan hidup.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN

Pengantar

Bencana ekologis yang berulang tidak pernah hadir sebagai peristiwa yang netral secara hukum. Di balik setiap banjir bandang, longsor, dan runtuhnya ruang hidup masyarakat, tersimpan jejak keputusan administratif, praktik ekonomi, serta relasi kekuasaan yang bekerja dalam kurun waktu panjang. Ketika hukum hanya membaca peristiwa tersebut sebagai force majeure, hukum sesungguhnya sedang menyederhanakan realitas dan mengaburkan dimensi tanggung jawab. Padahal, dalam negara hukum modern, terlebih dalam kerangka ius integrum nusantara, bencana harus dipahami sebagai peristiwa hukum ekologis—yakni titik kulminasi dari interaksi antara norma, kebijakan, pembiaran struktural, dan kerusakan lingkungan yang dapat diprediksi. Pada titik inilah hukum diuji: apakah ia hadir sebagai penjaga kehidupan (salus populi suprema lex esto), atau sekadar menjadi pencatat peristiwa setelah kerusakan terjadi.

Berangkat dari kesadaran tersebut, pembahasan ini membuka ruang rekonstruksi yang lebih utuh terhadap pertanggungjawaban hukum ekologis dan transformasi peran negara dalam era digital. Dengan menggunakan pendekatan deterministik dan kerangka four point determination, analisis diarahkan untuk menautkan subjek hukum, perbuatan melawan hukum—baik berupa tindakan maupun omission—hubungan kausal berbasis sains ekologis, serta akibat yuridis yang melampaui kerugian sesaat menuju dimensi antargenerasi. Pada saat yang sama, pembahasan ini menempatkan negara tidak lagi semata sebagai licensing authority, melainkan sebagai custodian of digital legal trust yang bertanggung jawab menjaga integritas data, proses, dan kepercayaan publik. Dengan demikian, keseluruhan argumentasi tidak dimaksudkan untuk mencari kambing hitam, melainkan untuk membangun fondasi negara hukum ekologis yang responsif, berkeadilan substantif, dan mampu belajar dari krisis demi mencegah bencana menjadi warisan permanen bagi masa depan.

Bencana hidrometeorologis yang berulang di berbagai wilayah Indonesia menyingkap persoalan yang lebih mendasar dari sekadar fenomena alam, yakni kegagalan sistemik dalam tata kelola lingkungan, perizinan, dan penegakan hukum. Artikel ini berangkat dari premis bahwa bencana ekologis merupakan peristiwa hukum yang dibentuk oleh perbuatan manusia, kebijakan negara, dan aktivitas korporasi yang berlangsung secara kumulatif dan terstruktur. Dengan menggunakan perspektif ius integrum nusantara, tulisan ini memandang hukum sebagai kesatuan nilai, norma, dan praktik yang harus menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan kekuasaan, melampaui sekat-sekat sektoral hukum administrasi, perdata, pidana, dan HAM.

Analisis disusun melalui pendekatan konseptual, normatif, historis, dan komparatif, serta menggunakan kerangka deterministik dan four point determination untuk mengonstruksi fakta hukum ekologis secara utuh, meliputi subjek hukum, perbuatan hukum, hubungan kausal, dan akibat yuridis. Artikel ini menegaskan bahwa tanggung jawab ekologis tidak dapat direduksi pada respons pascabencana, melainkan harus diletakkan pada kewajiban negara dan korporasi dalam pencegahan, mitigasi, dan pemulihan lingkungan hidup sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Lingkungan Hidup, Kehutanan, Penanggulangan Bencana, dan HAM.

Fokus utama tulisan ini terletak pada pengembangan gagasan transformasi peran negara melalui pemerintah sebagai custodian of digital legal trust, yakni penjaga integritas kepercayaan hukum digital dalam sistem perizinan, pengawasan, dan pembuktian lingkungan hidup. Integrasi hukum digital diposisikan bukan sekadar instrumen efisiensi, melainkan mekanisme akuntabilitas dan pencegahan korupsi ekologis. Pada akhirnya, artikel ini menawarkan kerangka hukum futuristik dan responsif yang menempatkan keadilan ekologis, due process of law, dan kepercayaan publik sebagai fondasi negara hukum Indonesia yang berkelanjutan.

Dari Fragmen Peristiwa Menuju Kesatuan Makna Hukum

Hukum tidak pernah lahir dari ruang hampa. Ia tumbuh dari pengalaman sosial, dari penderitaan yang berulang, dan dari konflik kepentingan yang tidak terselesaikan secara adil. Dalam konteks bencana hidrometeorologis yang melanda berbagai wilayah Indonesia, hukum kerap direduksi menjadi sekadar bahasa administratif untuk menetapkan status bencana dan menyalurkan bantuan. Padahal, di balik banjir bandang, tanah longsor, dan runtuhnya ruang hidup masyarakat, tersimpan rangkaian peristiwa hukum yang kompleks dan saling terkait. Peristiwa-peristiwa tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan akumulasi dari keputusan politik, kebijakan perizinan, pembiaran struktural, serta praktik eksploitasi sumber daya alam yang berlangsung dalam jangka panjang.

Pendekatan yang memisahkan bencana sebagai fenomena alam murni telah lama mendominasi wacana publik dan kebijakan. Paradigma ini secara tidak sadar menyingkirkan dimensi tanggung jawab hukum, sekaligus mengaburkan relasi kausal antara kerusakan lingkungan dan kerugian sosial yang ditimbulkannya. Ketika hulu daerah aliran sungai kehilangan tutupan hutan, ketika fungsi ekologis kawasan lindung terdegradasi, dan ketika peringatan dini tidak direspons secara memadai, maka bencana yang terjadi tidak lagi dapat dipahami sebagai takdir. Ia adalah hasil dari serangkaian perbuatan hukum dan kelalaian yang memiliki subjek, norma, serta akibat yang dapat ditelusuri secara yuridis.

Dalam perspektif ius integrum nusantara, hukum dipahami sebagai satu kesatuan sistem yang hidup, yang mengintegrasikan nilai keadilan, kepastian, dan kemanfaatan dalam relasi manusia dengan alam. Perspektif ini menolak fragmentasi hukum yang memisahkan secara kaku antara hukum publik dan privat, pidana dan perdata, administratif dan etik. Kerusakan ekologis, oleh karena itu, tidak cukup ditangani melalui satu rezim hukum semata, melainkan membutuhkan pendekatan integratif yang memandang negara, korporasi, dan masyarakat sebagai subjek hukum yang saling terkait dalam satu ekosistem normatif.

Adagium salus populi suprema lex esto menemukan relevansinya dalam konteks ini, bukan sebagai legitimasi kebijakan darurat yang mengabaikan hak, melainkan sebagai ukuran sejauh mana hukum benar-benar melindungi keselamatan rakyat dalam arti yang substantif. Keselamatan tidak hanya dimaknai sebagai terbebas dari bahaya sesaat, tetapi juga sebagai terjaminnya hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi generasi kini dan mendatang.

Kerangka Konseptual: Hukum Ekologis, Determinisme, dan Four Point Determination

Tulisan ini dibangun di atas kerangka hukum ekologis yang memandang lingkungan hidup sebagai subjek kepentingan hukum yang harus dilindungi secara aktif oleh negara. Hukum ekologis tidak berhenti pada larangan dan sanksi, tetapi menekankan kewajiban pencegahan dan kehati-hatian sebagai inti dari negara hukum modern. Dalam kerangka ini, kerusakan lingkungan bukan sekadar akibat sampingan pembangunan, melainkan indikator kegagalan hukum dalam menjalankan fungsi preventifnya.

Pendekatan deterministik digunakan untuk membaca bencana ekologis sebagai peristiwa yang dapat diprediksi secara ilmiah dan hukum. Data lingkungan, pola deforestasi, perubahan tata guna lahan, serta intensitas eksploitasi sumber daya alam membentuk rangkaian sebab-akibat yang rasional. Ketika risiko telah diketahui atau seharusnya diketahui, maka kelalaian untuk bertindak tidak lagi dapat dibenarkan. Di sinilah hukum berfungsi untuk mengikat pengetahuan dengan tanggung jawab.

Untuk memastikan analisis yang utuh dan tidak terjebak pada simplifikasi narasi, tulisan ini menggunakan kerangka four point determination. Pertama, penentuan subjek hukum, baik negara melalui pemerintah maupun korporasi sebagai pelaku usaha. Kedua, identifikasi perbuatan hukum, termasuk tindakan aktif dan pembiaran yang bertentangan dengan kewajiban normatif. Ketiga, analisis hubungan kausal antara perbuatan tersebut dengan kerusakan lingkungan dan kerugian sosial. Keempat, penilaian akibat yuridis yang timbul, baik dalam bentuk tanggung jawab administratif, perdata, pidana, maupun kewajiban pemulihan.

Kerangka ini penting untuk menjaga keseimbangan antara keadilan substantif dan due process of law. Hukum tidak boleh terjebak pada penegakan yang reaktif dan simbolik, tetapi juga tidak boleh mengorbankan kepastian hukum melalui kriminalisasi yang serampangan. Prinsip in dubio pro reo dan ultimum remedium tetap dijaga, namun ditempatkan dalam konteks perlindungan kepentingan publik yang lebih luas, termasuk hak atas lingkungan hidup.

Menegaskan Kebaruan dan Arah Analisis

Kebaruan utama tulisan ini terletak pada upaya merekonstruksi pertanggungjawaban hukum ekologis dengan menempatkan negara sebagai aktor sentral dalam menjaga kepercayaan hukum, khususnya di era digital. Integrasi hukum digital dalam tata kelola lingkungan dipahami bukan sekadar sebagai modernisasi administratif, melainkan sebagai sarana membangun trust publik melalui transparansi, keterlacakan, dan akuntabilitas. Negara, melalui pemerintah, diposisikan sebagai custodian of digital legal trust yang bertanggung jawab memastikan bahwa setiap izin, data, dan keputusan memiliki integritas hukum dan dapat diuji secara adil.

Dengan fondasi konseptual ini, pembahasan selanjutnya akan mengalir pada narasi peristiwa hukum dan konstruksi fakta hukum ekologis, analisis perbuatan hukum negara dan korporasi, serta pengujian normatif berdasarkan peraturan perundang-undangan yang relevan. Keseluruhan analisis diarahkan untuk menunjukkan bahwa keadilan ekologis bukanlah konsep abstrak, melainkan mandat konstitusional yang menuntut keberanian hukum untuk melihat bencana sebagai cermin tanggung jawab, bukan sekadar musibah.

Peristiwa Hukum dan Konstruksi Fakta Hukum Ekologis

Sering kali kita mendengar istilah “bencana alam” ketika hujan deras memicu banjir atau tanah longsor, seolah-olah alamlah yang sepenuhnya bertanggung jawab. Padahal, realitasnya jauh lebih kompleks.
Peristiwa semacam itu tidak terjadi dalam ruang hampa; mereka lahir dari interaksi antara kebijakan perizinan, praktik ekonomi ekstraktif, degradasi lingkungan, dan pengawasan yang lemah. Hujan hanyalah pemicu—bukan penyebab utama. Ketika kita melihat bencana dari perspektif hukum ekologis, apa yang tampak sebagai fenomena alam ternyata merupakan produk kebijakan dan relasi kekuasaan. Negara dan korporasi, melalui tindakan maupun pembiaran, ikut membentuk risiko ini. Paradigma ini menggeser pemahaman kita: bencana bukan sekadar tragedi alam, melainkan panggilan bagi hukum untuk menegakkan keadilan, melindungi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, dan memastikan akuntabilitas antargenerasi.

Untuk memahami bencana ekologis secara utuh, kita harus menelusuri jejaknya sejak jauh sebelum air meluap atau tanah longsor terjadi. Hilangnya tutupan hutan, kerusakan DAS, izin yang diberikan tanpa pengawasan, hingga lemahnya pelaksanaan analisis dampak lingkungan—semua ini membentuk rangkaian peristiwa hukum. Hukum lingkungan modern menekankan pentingnya data ilmiah sebagai bagian dari pembuktian, dan prinsip due process of law menuntut agar setiap evaluasi dilakukan secara objektif dan adil. Pendekatan four point determination, yang menyoroti subjek hukum, perbuatan hukum, kausalitas, dan akibat yuridis, memberikan kerangka yang jelas: siapa yang bertanggung jawab, perbuatan apa yang melanggar hukum, bagaimana hubungan sebab-akibatnya, dan kerugian apa yang harus diperhitungkan—baik ekologis, sosial, maupun hak asasi manusia. Dengan cara ini, hukum tidak sekadar menjadi pencatat peristiwa, tetapi menjadi alat untuk pencegahan, akuntabilitas, dan pemulihan. Negara dan korporasi tidak bisa lagi bersembunyi di balik istilah “alam”, karena hukum menuntut mereka hadir sebagai subjek tanggung jawab yang aktif dan responsif terhadap kerusakan ekologis.

Pergeseran Paradigma: Dari Bencana Alam ke Peristiwa Hukum Ekologis

Dalam praktik ketatanegaraan dan kebijakan publik, istilah “bencana alam” sering kali digunakan sebagai penanda administratif untuk memobilisasi sumber daya dan bantuan. Namun, penggunaan istilah tersebut kerap menutup ruang refleksi hukum yang lebih dalam. Ketika suatu peristiwa dikonstruksikan semata sebagai fenomena alam, dimensi tanggung jawab manusia—baik negara maupun korporasi—secara implisit dikeluarkan dari perhitungan yuridis. Padahal, hukum lingkungan modern telah lama menggeser paradigma bencana dari sekadar kejadian naturalistik menuju peristiwa hukum ekologis yang sarat dengan relasi sebab-akibat akibat perbuatan manusia.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menegaskan bahwa lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup yang memengaruhi kelangsungan kehidupan manusia dan makhluk hidup lain. Definisi ini tidak hanya bersifat deskriptif, tetapi normatif, karena mengandung kewajiban negara untuk menjaga daya dukung dan daya tampung lingkungan. Ketika kerusakan ekologis terjadi secara masif dan berulang, maka hukum tidak lagi berhadapan dengan peristiwa alam, melainkan dengan kegagalan normatif dalam memenuhi kewajiban konstitusional tersebut.
Pergeseran paradigma ini menemukan pijakannya dalam Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjamin hak setiap orang atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hak ini bersifat justiciable, sehingga pelanggarannya membuka ruang pertanggungjawaban hukum. Dalam kerangka ius integrum nusantara, hak lingkungan hidup tidak berdiri sendiri, melainkan terhubung dengan hak atas kehidupan, rasa aman, dan kesejahteraan sosial. Dengan demikian, setiap bencana ekologis harus dibaca sebagai indikasi terganggunya keseluruhan sistem hukum yang seharusnya melindungi hak-hak tersebut.

Akumulasi Kerusakan dan Kegagalan Pencegahan

Rangkaian peristiwa hukum ekologis tidak dimulai pada saat air meluap atau tanah runtuh. Ia bermula jauh sebelumnya, ketika kawasan hutan kehilangan tutupan vegetasi, ketika daerah aliran sungai mengalami degradasi fungsi, dan ketika perizinan pemanfaatan ruang diberikan tanpa pengawasan yang memadai. Proses ini berlangsung perlahan, sering kali tak kasatmata, namun memiliki dampak deterministik yang dapat diprediksi. Ilmu lingkungan menyediakan indikator yang jelas mengenai hubungan antara deforestasi, perubahan tata guna lahan, dan meningkatnya risiko bencana hidrometeorologis.

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menempatkan hutan sebagai sistem penyangga kehidupan yang harus dikelola secara lestari. Pasal 3 menegaskan fungsi hutan sebagai pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi, serta pemelihara kesuburan tanah. Ketika fungsi-fungsi tersebut hilang akibat penebangan ilegal, konversi lahan, atau aktivitas ekstraktif lainnya, maka kerusakan yang terjadi bukanlah kejadian kebetulan. Ia adalah konsekuensi logis dari pelanggaran terhadap norma pengelolaan hutan yang telah ditetapkan oleh hukum.

Kegagalan pencegahan juga tampak dalam lemahnya penerapan instrumen lingkungan. Pasal 22 Undang-Undang Lingkungan Hidup mewajibkan setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup untuk memiliki analisis mengenai dampak lingkungan. Analisis ini tidak dimaksudkan sebagai formalitas administratif, melainkan sebagai alat prediksi risiko dan dasar pengambilan keputusan. Ketika dokumen lingkungan disusun secara manipulatif atau tidak ditindaklanjuti dengan pengawasan yang efektif, maka negara telah kehilangan salah satu instrumen utamanya untuk mencegah kerusakan.

Lebih jauh, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana menegaskan bahwa penanggulangan bencana tidak hanya mencakup tanggap darurat, tetapi juga pencegahan dan mitigasi. Pasal 40 ayat (3) secara eksplisit mewajibkan setiap kegiatan pembangunan yang berisiko tinggi dilengkapi dengan analisis risiko bencana. Kewajiban ini menunjukkan bahwa hukum telah mengantisipasi kemungkinan bencana sebagai akibat dari aktivitas manusia. Oleh karena itu, ketika analisis risiko diabaikan atau tidak dijadikan dasar kebijakan, kegagalan tersebut memiliki implikasi hukum yang serius.

Konstruksi Fakta Hukum Ekologis: Dari Data ke Pertanggungjawaban

Fakta hukum ekologis tidak lahir secara spontan, melainkan dikonstruksi melalui akumulasi data, peristiwa, dan norma yang saling berkaitan. Dalam kerangka deterministik, fakta-fakta seperti hilangnya tutupan hutan, perubahan alur sungai, dan meningkatnya intensitas banjir bukan sekadar temuan empiris, tetapi indikator hubungan kausal antara perbuatan manusia dan kerusakan lingkungan. Hukum lingkungan modern menempatkan data ilmiah sebagai bagian integral dari pembuktian, tanpa mengesampingkan prinsip kehati-hatian.

Pasal 19 Undang-Undang Lingkungan Hidup mewajibkan pemerintah dan pemerintah daerah untuk menyusun dan melaksanakan rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Kewajiban ini mencakup inventarisasi lingkungan, penetapan ekoregion, serta pengendalian pemanfaatan ruang. Ketika rencana tersebut tidak disusun atau tidak dijalankan secara konsisten, maka kelalaian tersebut menjadi bagian dari fakta hukum yang dapat dinilai secara yuridis.

Selain itu, Pasal 36 undang-undang yang sama mensyaratkan adanya izin lingkungan sebagai prasyarat izin usaha. Izin lingkungan berfungsi sebagai filter hukum yang menghubungkan aspek teknis dengan tanggung jawab hukum. Dalam banyak kasus, izin diberikan tanpa verifikasi lapangan yang memadai atau tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan. Praktik ini menciptakan celah struktural yang memungkinkan terjadinya kerusakan ekologis sistemik.

Fakta hukum ekologis juga mencakup dampak sosial yang ditimbulkan. Hilangnya tempat tinggal, rusaknya mata pencaharian, serta terganggunya akses terhadap layanan dasar merupakan akibat langsung dari kerusakan lingkungan. Dalam perspektif hak asasi manusia, dampak-dampak tersebut tidak dapat dipisahkan dari kewajiban negara untuk melindungi, menghormati, dan memenuhi hak warga negara. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan bahwa hak atas kehidupan dan kesejahteraan merupakan tanggung jawab negara yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.

Peristiwa Hukum sebagai Rangkaian Perbuatan dan Pembiaran

Konstruksi peristiwa hukum ekologis menuntut pembacaan yang tidak parsial. Perbuatan hukum tidak selalu berupa tindakan aktif yang melanggar larangan, tetapi juga dapat berupa pembiaran terhadap pelanggaran yang diketahui atau seharusnya diketahui. Dalam hukum administrasi, pembiaran tersebut dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum oleh penguasa, karena bertentangan dengan kewajiban normatif yang melekat pada jabatan publik.

Dalam konteks ini, negara melalui pemerintah memiliki kewajiban ex officio untuk melakukan pengawasan dan penegakan hukum lingkungan. Pasal 69 Undang-Undang Lingkungan Hidup secara tegas melarang perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Ketika larangan ini dilanggar secara berulang tanpa sanksi yang efektif, maka kegagalan penegakan tersebut menjadi bagian dari rangkaian peristiwa hukum yang tidak dapat diabaikan.

Peristiwa hukum ekologis, dengan demikian, merupakan hasil dari interaksi kompleks antara norma yang dilanggar, kewenangan yang tidak dijalankan, dan akibat yang ditanggung masyarakat. Pembacaan yang menyederhanakan bencana sebagai kejadian alamiah justru berpotensi mengaburkan relasi tersebut dan melemahkan fungsi hukum sebagai alat keadilan.

Menuju Pembuktian yang Utuh dan Berkeadilan

Tinjauan peristiwa hukum dan konstruksi fakta hukum ekologis pada akhirnya bermuara pada kebutuhan akan pembuktian yang utuh dan berkeadilan. Hukum tidak boleh terjebak pada pembuktian yang semata-mata mencari pelaku individu, tetapi harus mampu mengungkap struktur yang memungkinkan terjadinya kerusakan. Prinsip due process of law menuntut agar setiap penilaian dilakukan secara objektif, berbasis data, dan menghormati hak-hak semua pihak, tanpa mengorbankan kepentingan publik.

Kerangka four point determination memberikan jalan tengah antara kebutuhan akan akuntabilitas dan perlindungan terhadap kepastian hukum. Dengan menentukan secara jelas subjek, perbuatan, kausalitas, dan akibat, hukum dapat bergerak dari narasi ke putusan yang berkeadilan. Dalam konteks ekologis, pendekatan ini juga membuka ruang bagi pemulihan lingkungan sebagai bagian integral dari keadilan, bukan sekadar tambahan setelah sanksi dijatuhkan.

Dengan fondasi ini, analisis selanjutnya akan diarahkan pada perbuatan hukum negara dan korporasi, serta bentuk pertanggungjawaban yang dapat dimintakan berdasarkan hukum administrasi, perdata, pidana, dan HAM. Hukum, pada akhirnya, diuji bukan oleh ketebalan regulasinya, tetapi oleh kemampuannya membaca kenyataan dan menghadirkan keadilan yang dirasakan.

Analisis Perbuatan Hukum Negara dan Korporasi serta Pertanggungjawaban Normatif

Dalam tata kelola lingkungan hidup, negara dan korporasi bukan sekadar aktor administratif atau ekonomis; mereka adalah subjek hukum yang memikul tanggung jawab normatif untuk mencegah kerusakan dan menjamin keberlanjutan. Negara, melalui pemerintah, memiliki kewajiban aktif yang konstitusional untuk melindungi hak warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 33 ayat (4) UUD 1945. Namun, perbuatan hukum tidak selalu hadir sebagai tindakan aktif yang salah; sering kali pelanggaran justru muncul dari pembiaran sistemik terhadap aktivitas yang berisiko tinggi terhadap lingkungan. Kegagalan ini—mulai dari pemberian izin tanpa verifikasi, lemahnya pengawasan, hingga penegakan hukum yang tidak konsisten—merupakan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige overheidsdaad) yang menimbulkan konsekuensi ekologis, sosial, dan hak asasi manusia. Di sisi lain, korporasi yang melakukan kegiatan berisiko tinggi tidak dapat lepas dari pertanggungjawaban; prinsip strict liability memastikan bahwa risiko ekologis menjadi dasar pertanggungjawaban, bukan semata niat atau kelalaian, sehingga kerusakan yang ditimbulkan harus dapat dipulihkan, sementara biaya dan tanggung jawab ditempatkan pada pihak yang memperoleh manfaat ekonomi.

Kerangka pertanggungjawaban ini menegaskan bahwa hukum lingkungan modern tidak dapat dibaca secara terfragmentasi: tanggung jawab negara dan korporasi adalah satu kesatuan normatif yang saling terkait. Hukum pidana lingkungan hadir sebagai ultimum remedium, digunakan hanya ketika instrumen administratif dan perdata tidak mampu menghentikan pelanggaran, sehingga menjaga keseimbangan antara efek jera, keadilan prosedural, dan pemulihan ekologis. Dalam perspektif hak asasi manusia, kerusakan ekologis yang menghilangkan tempat tinggal, mata pencaharian, atau akses terhadap kebutuhan dasar bukan sekadar masalah lingkungan, tetapi pelanggaran struktural terhadap hak atas kehidupan, rasa aman, dan kesejahteraan. Pemulihan lingkungan, rehabilitasi sosial, dan pencegahan berulang menjadi bagian integral dari keadilan ekologis. Dengan fondasi normatif ini, analisis selanjutnya mengarahkan pembahasan pada transformasi peran negara sebagai custodian of digital legal trust, di mana integrasi hukum digital diharapkan menutup celah pembiaran, memperkuat akuntabilitas, dan menghadirkan hukum yang tidak hanya menghukum, tetapi juga mencegah kerusakan dan melindungi kehidupan secara berkelanjutan.

Negara sebagai Subjek Hukum: Kewajiban Aktif dan Larangan Pembiaran

Dalam negara hukum, pemerintah tidak sekadar bertindak sebagai regulator dan pemberi izin, melainkan sebagai subjek hukum yang memikul kewajiban aktif untuk melindungi kepentingan umum. Dalam konteks lingkungan hidup, kewajiban ini bersifat konstitusional dan tidak dapat dialihkan. Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan hak setiap orang atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, sementara Pasal 33 ayat (4) mengamanatkan pembangunan berkelanjutan sebagai dasar pengelolaan sumber daya alam. Ketentuan ini membentuk dasar normatif bagi tanggung jawab negara atas setiap kerusakan ekologis yang terjadi dalam wilayah yurisdiksinya.

Perbuatan hukum negara tidak selalu hadir dalam bentuk tindakan aktif yang keliru. Dalam banyak kasus ekologis, pelanggaran justru terletak pada pembiaran struktural terhadap aktivitas yang diketahui berisiko tinggi terhadap lingkungan. Pembiaran ini memiliki konsekuensi hukum karena bertentangan dengan kewajiban due diligence yang melekat pada fungsi pemerintahan. Dalam hukum administrasi, pembiaran terhadap pelanggaran yang berlangsung terus-menerus dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad).

Konsep onrechtmatige overheidsdaad berakar pada prinsip bahwa setiap tindakan atau kelalaian pemerintah yang melanggar hukum, merugikan warga negara, dan tidak dapat dibenarkan oleh alasan kepentingan umum, membuka ruang pertanggungjawaban. Dalam konteks lingkungan, kelalaian dalam melakukan pengawasan, penegakan sanksi administratif, atau pencabutan izin yang bermasalah merupakan bentuk pelanggaran kewajiban hukum. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup secara eksplisit menempatkan pemerintah sebagai penanggung jawab utama dalam pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan, sebagaimana tercermin dalam Pasal 2 dan Pasal 3 yang menekankan prinsip tanggung jawab negara dan keberlanjutan.

Perizinan sebagai Instrumen Hukum dan Sumber Tanggung Jawab

Perizinan lingkungan sering kali dipahami sebagai aspek teknis administratif, padahal ia merupakan instrumen hukum yang sarat dengan tanggung jawab normatif. Pasal 36 Undang-Undang Lingkungan Hidup mensyaratkan izin lingkungan sebagai prasyarat izin usaha dan/atau kegiatan. Norma ini menegaskan bahwa negara tidak boleh melepaskan tanggung jawabnya setelah izin diberikan. Sebaliknya, izin menciptakan hubungan hukum yang berkelanjutan antara negara dan pemegang izin, yang di dalamnya melekat kewajiban pengawasan dan penegakan.

Ketika izin diberikan tanpa verifikasi yang memadai, atau ketika pelanggaran terhadap izin dibiarkan tanpa sanksi yang efektif, maka negara turut berkontribusi terhadap terjadinya kerusakan lingkungan. Dalam perspektif ius integrum nusantara, hubungan ini tidak dapat dipisahkan secara kaku antara kesalahan administrasi dan akibat ekologis. Kegagalan administratif yang berulang dan sistemik membentuk fakta hukum yang dapat ditautkan secara kausal dengan kerugian sosial dan ekologis.

Pasal 19 Undang-Undang Lingkungan Hidup menegaskan kewajiban pemerintah untuk menyusun dan melaksanakan rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Rencana ini bukan dokumen formalitas, melainkan dasar bagi seluruh kebijakan perizinan dan pemanfaatan ruang. Ketika rencana tersebut tidak dijadikan rujukan utama, atau disimpangi demi kepentingan jangka pendek, maka perbuatan tersebut kehilangan legitimasi hukum dan moral.

Tanggung Jawab Korporasi: Dari Kesalahan ke Strict Liability

Di sisi lain, korporasi sebagai pelaku usaha merupakan subjek hukum yang memiliki kewajiban untuk menjalankan usahanya dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian dan keberlanjutan. Hukum lingkungan Indonesia mengakui bahwa tidak semua kerusakan dapat dibuktikan melalui skema kesalahan konvensional. Oleh karena itu, Undang-Undang Lingkungan Hidup memperkenalkan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) sebagai mekanisme perlindungan yang lebih efektif.

Pasal 88 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 menyatakan bahwa setiap orang yang usahanya dan/atau kegiatannya menggunakan bahan berbahaya dan beracun, menghasilkan limbah berbahaya dan beracun, dan/atau menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi, tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan. Norma ini mencerminkan pergeseran paradigma hukum dari fault-based liability menuju risk-based liability. Dalam konteks ekologis, risiko yang melekat pada aktivitas usaha menjadi dasar pertanggungjawaban, bukan semata niat atau kelalaian.

Penerapan strict liability memiliki implikasi penting dalam pembuktian. Beban pembuktian tidak lagi sepenuhnya berada pada korban, melainkan beralih kepada pelaku usaha untuk menunjukkan bahwa kerusakan tidak berasal dari aktivitasnya. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip kehati-hatian dan polluter pays principle, yang menempatkan biaya pemulihan pada pihak yang memperoleh manfaat ekonomi dari eksploitasi sumber daya alam.

Namun demikian, penerapan strict liability tidak boleh dilepaskan dari prinsip keadilan prosedural. Hukum tetap harus memastikan bahwa proses penegakan berjalan transparan dan proporsional. Dalam kerangka four point determination, strict liability berfungsi untuk memperkuat hubungan kausal antara aktivitas berisiko dan akibat ekologis, tanpa mengorbankan hak pembelaan yang sah.

Dimensi Pidana Lingkungan dan Prinsip Ultimum Remedium

Hukum pidana lingkungan menempati posisi yang unik dan sensitif. Di satu sisi, ia diperlukan untuk memberikan efek jera terhadap pelanggaran serius yang mengancam keselamatan publik. Di sisi lain, penggunaan sanksi pidana secara berlebihan berisiko mengubah hukum lingkungan menjadi alat represif yang tidak efektif. Oleh karena itu, prinsip ultimum remedium menjadi panduan penting dalam menentukan kapan hukum pidana harus digunakan.
Undang-Undang Lingkungan Hidup mengatur sanksi pidana dalam Pasal 98 hingga Pasal 103, yang mencakup perbuatan pencemaran dan perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian serius. Norma ini menunjukkan bahwa pidana dimaksudkan sebagai sarana terakhir, setelah instrumen administratif dan perdata tidak mampu menghentikan pelanggaran. Prinsip ini sejalan dengan asas proporsionalitas dan due process of law, yang menuntut keseimbangan antara kepentingan publik dan hak individu.

Dalam praktiknya, kegagalan menerapkan ultimum remedium sering kali terlihat dalam dua ekstrem. Di satu sisi, pelanggaran lingkungan dibiarkan tanpa sanksi pidana meskipun telah menimbulkan korban dan kerusakan luas. Di sisi lain, hukum pidana digunakan secara selektif dan simbolik, tanpa menyentuh akar struktural permasalahan. Kedua pendekatan ini sama-sama merusak kepercayaan publik terhadap hukum.

Pendekatan yang lebih tepat adalah menempatkan hukum pidana sebagai bagian dari sistem pertanggungjawaban yang terintegrasi. Sanksi pidana harus diarahkan untuk menghentikan perbuatan berbahaya, memulihkan lingkungan, dan mencegah pengulangan, bukan sekadar menghukum pelaku secara formal. Dalam konteks ini, pidana korporasi dan pidana terhadap pejabat yang menyalahgunakan kewenangannya perlu dipahami sebagai instrumen perlindungan kepentingan publik, bukan sebagai kriminalisasi kebijakan.

Pertanggungjawaban Terintegrasi dalam Perspektif HAM dan Keadilan Ekologis

Kerusakan lingkungan yang menimbulkan bencana memiliki implikasi langsung terhadap pemenuhan hak asasi manusia. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menegaskan bahwa negara bertanggung jawab melindungi hak atas kehidupan, rasa aman, dan kesejahteraan. Ketika kerusakan lingkungan menghilangkan tempat tinggal, mata pencaharian, dan akses terhadap kebutuhan dasar, maka pelanggaran yang terjadi tidak hanya bersifat ekologis, tetapi juga struktural.

Dalam perspektif keadilan ekologis, pertanggungjawaban tidak dapat dibatasi pada kompensasi material. Pemulihan lingkungan, rehabilitasi sosial, dan jaminan ketidakberulangan merupakan bagian integral dari keadilan. Prinsip restorative justice menemukan relevansinya dalam konteks ini, bukan sebagai pengganti penegakan hukum, tetapi sebagai pelengkap yang menempatkan pemulihan sebagai tujuan utama.

Dengan demikian, perbuatan hukum negara dan korporasi harus dibaca dalam satu kesatuan normatif. Negara tidak dapat melepaskan tanggung jawabnya dengan alasan telah memberikan izin, sementara korporasi tidak dapat berlindung di balik formalitas administratif. Keduanya terikat oleh kewajiban untuk menjaga keberlanjutan lingkungan hidup sebagai prasyarat kehidupan bersama.
Menyiapkan Fondasi Transformasi Hukum
Analisis pertanggungjawaban normatif ini menunjukkan bahwa persoalan utama bukanlah ketiadaan aturan, melainkan lemahnya integrasi dan penegakan. Hukum telah menyediakan instrumen yang memadai, mulai dari kewajiban pencegahan, tanggung jawab mutlak, hingga sanksi pidana sebagai jalan terakhir. Tantangannya terletak pada bagaimana instrumen tersebut dioperasionalkan secara konsisten dan berkeadilan.

Fondasi inilah yang menjadi titik tolak bagi pembahasan selanjutnya mengenai transformasi peran negara melalui pemerintah sebagai custodian of digital legal trust. Integrasi hukum digital dalam tata kelola lingkungan diharapkan mampu menutup celah pembiaran, memperkuat akuntabilitas, dan memulihkan kepercayaan publik terhadap hukum. Hukum, pada akhirnya, tidak hanya diukur dari kemampuannya menghukum, tetapi dari kemampuannya mencegah kerusakan dan melindungi kehidupan.

Transformasi Peran Negara sebagai Custodian of Digital Legal Trust dan Integrasi Hukum Digital dalam Tata Kelola Lingkungan

Di era digital, kepercayaan terhadap hukum tidak lagi hanya bergantung pada tumpukan dokumen fisik atau catatan lapangan tradisional. Dalam tata kelola lingkungan, setiap izin, laporan pemantauan, atau dokumen AMDAL kini bisa direkam secara digital, diverifikasi secara real-time, dan dilacak jejaknya hingga ke subjek yang bertanggung jawab. Di sinilah negara mengambil peran baru: bukan hanya sebagai regulator, tetapi sebagai custodian of digital legal trust—penjaga keotentikan, keterlacakan, dan integritas seluruh data hukum yang menjadi dasar keputusan strategis dan pertanggungjawaban ekologis. Digitalisasi memungkinkan pemerintah mendeteksi potensi kelalaian, mencegah pembiaran aktivitas berisiko tinggi, dan menegakkan akuntabilitas dengan lebih cepat dan transparan. Singkatnya, hukum digital menjadi alat yang bukan sekadar formalitas, tetapi fondasi nyata bagi perlindungan lingkungan dan keadilan sosial.

Lebih jauh lagi, integrasi teknologi dengan hukum membuka peluang bagi tata kelola lingkungan yang proaktif dan prediktif. Sistem informasi geografis, sensor lingkungan, dan pemodelan risiko dapat terhubung dengan data izin dan dokumen hukum, sehingga negara bisa memprediksi potensi bencana atau kerusakan ekologis sebelum terjadi. Prinsip kehati-hatian (precautionary principle) dan polluter pays principle pun dapat diterapkan lebih efektif, karena setiap aktivitas usaha tercatat dalam sistem digital yang dapat diakses publik maupun aparat penegak hukum. Dengan fondasi normatif dari berbagai undang-undang—mulai dari UU Lingkungan Hidup, UU ITE, UU Keterbukaan Informasi Publik, hingga UU HAM dan UU Penanggulangan Bencana—dokumen digital tidak hanya menjadi arsip, tetapi bukti hukum yang sah. Transformasi ini menjadikan negara sebagai penjamin integritas ekosistem hukum ekologis, memastikan bahwa regulasi, kepentingan publik, dan tanggung jawab sosial-lingkungan berjalan seiring, membangun sistem hukum yang responsif, transparan, dan adaptif terhadap tantangan ekologis masa depan, yaitu:

1. Negara sebagai Penjaga Kepercayaan Hukum Digital


Perkembangan teknologi digital telah mengubah paradigma kepercayaan hukum. Dalam tata kelola lingkungan, akuntabilitas tidak lagi cukup hanya berbasis dokumen fisik atau verifikasi lapangan tradisional. Dokumen digital, peta risiko ekologis, catatan perizinan elektronik, dan laporan pemantauan menjadi bagian dari rantai integritas hukum yang kompleks. Di sinilah negara melalui pemerintah mengambil peran sebagai custodian of digital legal trust—penjaga keotentikan, keakuratan, dan keterlacakan data hukum elektronik yang menjadi dasar keputusan strategis, perizinan, dan pertanggungjawaban ekologis.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) menegaskan bahwa dokumen elektronik memiliki kekuatan hukum setara dengan dokumen fisik, selama dapat diverifikasi keabsahannya (Pasal 5 dan Pasal 6). Sedangkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik menekankan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan aksesibilitas data sebagai pilar tata kelola modern. Dengan demikian, negara tidak hanya bertindak sebagai regulator, tetapi juga sebagai penjaga integritas ekosistem informasi hukum yang memengaruhi seluruh rantai pengelolaan sumber daya alam.

Peran negara dalam konteks ini bersifat preventif dan korektif sekaligus. Preventif, karena setiap izin, laporan pemantauan, dan keputusan lingkungan dapat dicatat dan diverifikasi secara digital untuk mengurangi risiko manipulasi, pembiaran, atau korupsi administratif. Korektif, karena ketika terjadi pelanggaran, data digital memungkinkan penelusuran kausalitas perbuatan hukum hingga tingkat unit organisasi atau individu yang bertanggung jawab. Pendekatan ini menjembatani prinsip due process of law, accountability, dan transparency dalam kerangka hukum digital ekologis.

2. Integrasi Hukum Digital dalam Tata Kelola Lingkungan


Tata kelola lingkungan modern menuntut integrasi hukum digital dalam berbagai instrumen, mulai dari perizinan, pengawasan, pelaporan dampak ekologis, hingga sanksi administratif dan pidana. Contohnya, dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) atau dokumen izin lingkungan tidak lagi disimpan hanya dalam bentuk fisik; setiap revisi, persetujuan, atau evaluasi harus terekam dalam sistem digital yang terintegrasi dengan basis data nasional. Pasal 37 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mensyaratkan bahwa dokumen AMDAL harus menjadi dasar pengambilan keputusan dan diawasi secara berkelanjutan. Dengan digitalisasi, pengawasan dapat dilakukan secara real-time, mengurangi potensi kelalaian struktural yang selama ini menjadi sumber bencana ekologis.

Selain itu, integrasi digital memungkinkan penerapan predictive governance. Sistem informasi geografis (GIS), pemodelan hidrologi, dan sensor lingkungan terhubung dalam jaringan hukum digital yang dikelola negara, sehingga prediksi risiko bencana dan kerusakan ekologis dapat dikaitkan dengan dasar hukum izin, pengawasan, dan pertanggungjawaban. Prinsip kehati-hatian (precautionary principle) dan polluter pays principle dapat diimplementasikan secara lebih efektif karena setiap kegiatan usaha dan proyek pembangunan memiliki audit trail yang dapat diverifikasi oleh publik maupun aparat penegak hukum.

3. Rangka Kerja Normatif Digital Hukum Ekologis


Integrasi hukum digital dalam tata kelola lingkungan harus berdasar pada fondasi normatif yang jelas. Beberapa pasal kunci yang menjadi rujukan antara lain:
UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup: Pasal 2–3 (tanggung jawab negara), Pasal 36–37 (izin dan pengawasan), Pasal 88 (tanggung jawab mutlak).
UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah: Pasal 11 dan Pasal 18 (wewenang pemerintah daerah dalam pengelolaan lingkungan hidup dan pemanfaatan teknologi informasi).
UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE: Pasal 5–6 (keabsahan dokumen elektronik).
UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik: Pasal 9–10 (akses publik terhadap informasi digital).
UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana: Pasal 13–14 (pengelolaan data dan koordinasi digital dalam mitigasi risiko).
UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM: Pasal 9–11 (hak atas lingkungan hidup sehat, kesejahteraan, dan keselamatan).
Dengan rujukan ini, dokumen hukum digital bukan sekadar arsip administratif, tetapi menjadi legal evidence yang sah secara normatif, mendukung penegakan hukum ekologis, dan memastikan keterlacakan tanggung jawab negara dan korporasi.

4. Efektivitas dan Akuntabilitas melalui Digitalisasi


Transformasi ini menjadikan negara sebagai pusat integritas hukum ekologis. Setiap izin, laporan, dan keputusan dapat ditelusuri hingga subjek hukum, jenis perbuatan hukum, relasi kausal, dan akibat yang timbul (four point determination). Hal ini memungkinkan akuntabilitas yang lebih tinggi, termasuk:
Pencegahan pembiaran struktural: Kelalaian pengawasan dapat segera terdeteksi melalui sistem digital.

Penguatan strict liability korporasi: Bukti digital memperkuat dasar pertanggungjawaban mutlak.
Efektivitas ultimum remedium: Pidana lingkungan dapat diterapkan secara selektif dan proporsional, didukung rekaman digital yang tidak terbantahkan.
Transparansi publik: Informasi izin dan dampak ekologis dapat diakses publik sesuai UU Keterbukaan Informasi, meningkatkan kepercayaan masyarakat.

Dengan demikian, negara tidak lagi sekadar mengatur atau memantau, tetapi menjadi penjamin integritas ekosistem hukum digital ekologis, menjembatani antara peraturan, kepentingan publik, dan tanggung jawab sosial serta lingkungan.

5. Sinergi Hukum Tradisional dan Digital: Menuju Sistem Responsif dan Futuristik


Transformasi ini menegaskan bahwa hukum digital bukan pengganti hukum konvensional, melainkan penguat. Sistem hukum responsif mengintegrasikan prinsip-prinsip klasik (due process of law, in dubio pro reo, salus populi suprema lex esto) dengan teknologi modern. Dengan custodian of digital legal trust, negara mampu:
Menyusun prediksi risiko ekologis yang valid secara hukum.
Memastikan konsistensi implementasi izin dan pengawasan.
Memberikan bukti hukum digital yang dapat dipertanggungjawabkan di pengadilan.
Menghubungkan semua pemangku kepentingan dalam ekosistem hukum yang transparan, akuntabel, dan adil.

Transformasi ini adalah temuan hasil kajian yang tidak hanya menyasar efisiensi administrasi, tetapi juga memperkuat keadilan ekologis, menegakkan hak asasi manusia, dan membangun sistem hukum yang adaptif, deterministik, dan responsif terhadap krisis ekologis yang kompleks.

Analisis Komparatif dan Futuristik Sistem Hukum

Responsif serta Penutup Reflektif-Preskriptif
Di era digital, kepercayaan terhadap hukum tidak lagi hanya dibangun dari dokumen fisik atau catatan manual di kantor pemerintah. Setiap izin lingkungan, laporan pemantauan, atau dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) kini bisa direkam secara elektronik, diverifikasi, dan dilacak secara transparan. Di sinilah negara mengambil peran penting sebagai custodian of digital legal trust—penjaga integritas dan keandalan data hukum digital yang menjadi dasar keputusan, pengawasan, dan pertanggungjawaban atas kerusakan lingkungan. Dengan sistem digital yang baik, negara tidak hanya bisa menindak pelanggaran setelah terjadi kerusakan, tetapi juga mencegahnya sejak awal dengan memantau risiko ekologis secara real-time dan memastikan setiap aktivitas usaha tetap berada dalam batas aman bagi lingkungan.

Pendekatan ini menegaskan bahwa hukum harus responsif, adaptif, dan berbasis data. Digitalisasi memungkinkan pemerintah memprediksi potensi bencana, menilai dampak ekologis secara akurat, dan menegakkan prinsip strict liability atau tanggung jawab mutlak, di mana pelaku usaha bertanggung jawab atas kerusakan yang terjadi, tanpa harus menunggu terbukti ada kesalahan. Selain itu, transparansi digital memberi masyarakat hak untuk mengetahui dan ikut mengawasi, sehingga akuntabilitas hukum meningkat. Dengan memadukan teknologi dan prinsip hukum klasik—seperti keadilan prosedural, pencegahan risiko, dan pertanggungjawaban ekologis—sistem hukum menjadi lebih modern dan efektif. Hukum bukan sekadar alat menghukum, tapi juga penjaga lingkungan, penjamin keadilan, dan jembatan antara pembangunan, alam, dan kesejahteraan masyarakat:

1. Analisis Komparatif Sistem Hukum Responsif


Pengalaman berbagai yurisdiksi menunjukkan bahwa sistem hukum responsif yang efektif selalu memadukan pencegahan dan penegakan hukum. Negara yang berhasil mengelola risiko ekologis menempatkan hukum tidak hanya sebagai instrumen reaktif, tetapi juga sebagai sistem peringatan dini (early warning system). Misalnya, di Skandinavia dan beberapa negara Uni Eropa, pengawasan lingkungan terintegrasi dengan sistem digital yang memantau kualitas udara, tanah, dan air secara real-time, sehingga pelanggaran dapat dicegah sebelum menimbulkan kerusakan luas.
Dalam konteks Indonesia, integrasi hukum digital seperti yang dikembangkan dalam temuan  hasil kajian ini dapat disandingkan dengan praktik global tersebut. Sistem digital nasional yang memadukan izin, pemantauan, dan pelaporan berbasis teknologi informasi, disertai audit trail yang dapat diakses publik, menjadikan negara sebagai custodian of digital legal trust. Dengan demikian, hukum tidak hanya menuntut pertanggungjawaban retrospektif, tetapi juga mencegah praktik perburuan rente, pembiaran struktural, dan perusakan ekosistem yang sering terjadi akibat kelemahan pengawasan tradisional.

Prinsip-prinsip yang diterapkan di yurisdiksi lain—misalnya strict liability, polluter pays principle, dan precautionary principle—dapat diadaptasi ke konteks Indonesia. Strict liability memastikan korporasi bertanggung jawab atas kerusakan ekologis yang ditimbulkan, tanpa harus membuktikan niat atau kesalahan (mens rea). Precautionary principle menegaskan perlunya tindakan preventif meskipun risiko belum sepenuhnya terukur secara ilmiah. Sementara polluter pays principle menekankan tanggung jawab finansial terhadap pemulihan ekosistem. Ketiga prinsip ini selaras dengan konsep ius integrum nusantara, yang memandang alam sebagai bagian dari kesatuan hukum dan keseimbangan hidup.

2. Futuristik: Hukum Adaptif, Deterministik, dan Responsif

Pendekatan futuristik menempatkan hukum sebagai sistem adaptif yang mampu belajar dari krisis ekologis. Digitalisasi hukum memungkinkan negara untuk melakukan pemodelan risiko, prediksi bencana, dan evaluasi dampak ekologis secara kuantitatif dan berkala. Four point determination—subjek hukum, perbuatan melawan hukum, relasi kausal, dan akibat yang ditimbulkan—menjadi kerangka yang memastikan setiap keputusan hukum berbasis data dan fakta digital yang dapat diverifikasi.

Dengan pendekatan ini, negara tidak hanya reaktif terhadap bencana, tetapi juga proaktif dalam mitigasi. Contohnya, izin pembangunan atau penebangan hutan dapat diberikan hanya jika sistem digital memverifikasi bahwa kegiatan tersebut tidak melebihi ambang batas risiko ekologis yang diizinkan. Jika pelanggaran terjadi, bukti digital memperkuat dasar penerapan ultimum remedium dan strict liability, sehingga hukum bertindak adil namun selektif.

Sistem hukum adaptif juga mengintegrasikan prinsip due process of law, in dubio pro reo, dan salus populi suprema lex esto. Hukum digital tidak menggantikan peradilan tradisional, tetapi memperkuat transparansi, akuntabilitas, dan keterlacakan keputusan. Misalnya, dokumen digital AMDAL yang diverifikasi oleh pemerintah sebagai custodian dapat menjadi bukti kuat dalam pengadilan lingkungan, sekaligus memastikan hak masyarakat atas informasi (right to know) tetap terpenuhi.

3. Temuan Kajian Hasil  dan Implikasi Kebijakan

Bencana ekologis yang terjadi di Indonesia sejatinya merupakan refleksi kegagalan kolektif dalam menjaga keseimbangan antara pembangunan, lingkungan, dan keadilan. Pendekatan konvensional yang hanya menekankan penegakan hukum pascabencana terbukti tidak memadai. Temuan kajian hasil dari pembahasan ini terletak pada integrasi tiga dimensi hukum:

Rekonstruksi pertanggungjawaban ekologis: Negara dan korporasi ditempatkan sebagai subjek hukum aktif, bertanggung jawab secara preventif dan korektif atas kerusakan lingkungan, sesuai Pasal 88 UU Nomor 32 Tahun 2009 dan Pasal 13–14 UU Nomor 24 Tahun 2007.

Transformasi peran negara sebagai custodian of digital legal trust: Digitalisasi perizinan, pemantauan, dan pembuktian hukum memperkuat akuntabilitas, transparansi, dan integritas relasi hukum, sesuai Pasal 5–6 UU ITE dan Pasal 37 UU Lingkungan Hidup.

Penerapan keadilan substantif dalam seluruh tahapan hukum: Due process of law, in dubio pro reo, ultimum remedium, dan strict liability menjadi pilar penguatan sistem hukum yang adaptif, deterministik, dan responsif terhadap risiko ekologis.

Secara preskriptif, arah kebijakan hukum nasional harus bergerak dari paradigma sektoral menuju paradigma integratif. Evaluasi izin, penegakan hukum lingkungan, mitigasi bencana, dan pemulihan ekosistem harus berada dalam satu kerangka kebijakan nasional yang mengutamakan keberlanjutan, hak asasi manusia, dan kesejahteraan publik. Negara tidak dapat terus menanggung biaya eksternalitas akibat eksploitasi yang menguntungkan segelintir pihak. Keadilan ekologis menuntut keberanian untuk menagih tanggung jawab, sekaligus membangun sistem hukum yang mencegah kerusakan sejak awal.

Hukum, pada akhirnya, hanya akan dipercaya jika hadir sebagai penjaga kehidupan, bukan sekadar pencatat peristiwa. Dalam semangat ius integrum nusantara, keadilan dipahami sebagai proses berkelanjutan yang memulihkan hubungan manusia, alam, dan negara. Dengan integrasi hukum digital, prinsip keadilan substantif, dan tanggung jawab ekologis yang deterministik, Indonesia dapat membangun sistem hukum responsif dan futuristik yang menghadirkan keseimbangan antara pembangunan, ekologi, dan hak asasi manusia, sehingga generasi mendatang mewarisi lingkungan yang berkelanjutan dan sistem hukum yang dapat dipercaya.

Bencana Hidrometeorologis dan Hukum

Bencana hidrometeorologis yang berulang di wilayah barat Sumatra tidak lagi sekadar menjadi fenomena alam yang netral; ia menghadirkan pertanyaan mendasar tentang hubungan antara kebijakan, kekuasaan, praktik ekonomi, dan hukum. Kerusakan hutan di hulu, degradasi daerah aliran sungai, dan lemahnya sistem mitigasi telah mengubah hujan dari penyebab utama menjadi pemicu (trigger) bagi suatu causa juridica yang lebih mendalam. Dalam konteks ini, bencana tidak hanya menimbulkan kerugian ekologis, tetapi bertransformasi menjadi peristiwa hukum ekologis yang menuntut pembacaan ulang terhadap tanggung jawab negara, korporasi, dan pengendali manfaat. Pergeseran paradigma ini menekankan perlunya keadilan preventif, di mana hukum tidak hanya menilai kegagalan teknis atau administratif, tetapi menelusuri akar penyebab berupa kebijakan perizinan, pembiaran struktural, dan praktik ekstraktif yang dilegitimasi hukum formal namun gagal memenuhi keadilan substantif. Dengan kata lain, deforestasi, kelalaian pengawasan, dan kegagalan mitigasi menjadi perbuatan hukum dengan implikasi yuridis nyata terhadap lingkungan, keselamatan publik, dan hak asasi manusia.

Dalam menghadapi tantangan ini, hukum harus bergerak dari sekadar reaksi pascabencana menuju mekanisme preventif berbasis risiko, yang memadukan akuntabilitas ekologis dengan teknologi digital. Kerangka four point determination memperluas penentuan subjek hukum hingga negara, korporasi, dan beneficial owner, menganalisis perbuatan hukum baik tindakan aktif maupun omission, serta menetapkan hubungan kausal melalui pendekatan scientific–ecological causation. Transformasi peran negara sebagai custodian of digital legal trust menjadi kunci, karena digitalisasi perizinan, audit trail, dan transparansi dokumen bukan sekadar inovasi administratif, tetapi fondasi legitimasi hukum dan kepercayaan publik. Integrasi hukum digital memperkuat keadilan substantif, menyeimbangkan prinsip due process of law dan in dubio pro reo dengan in dubio pro natura, serta menempatkan pidana lingkungan sebagai ultimum remedium yang proporsional. Kerangka konseptual ius integrum nusantara yang diusulkan menyatukan keadilan substantif, akuntabilitas ekologis, dan kepercayaan hukum digital dalam satu sistem hukum utuh, di mana negara hadir bukan di atas hukum, melainkan di dalam hukum sebagai penjaga kehidupan, pencegah kerusakan, dan penjamin keberlanjutan bagi generasi mendatang.

Menuju Paradigma Keadilan Preventif dan Digital Legal Trust

Bencana hidrometeorologis yang berulang di wilayah barat Sumatra menghadirkan sebuah pertanyaan mendasar bagi hukum: apakah ia masih akan dipahami sebagai kejadian alamiah yang netral dan tak terelakkan, atau sebagai peristiwa hukum yang lahir dari pilihan-pilihan kebijakan, relasi kekuasaan, dan praktik ekonomi yang dibiarkan berlangsung secara sistemik. Ketika kerusakan hutan di wilayah hulu, degradasi daerah aliran sungai, dan lemahnya mitigasi telah lama teridentifikasi, maka hujan tidak lagi dapat ditempatkan sebagai penyebab utama, melainkan hanya sebagai trigger dari sebuah causa juridica yang lebih dalam. Pada titik ini, bencana bertransformasi dari sekadar peristiwa alam menjadi peristiwa hukum ekologis, yang menuntut pembacaan ulang atas tanggung jawab negara dan korporasi dalam kerangka negara hukum modern.

Pembacaan ulang tersebut mengandaikan pergeseran paradigma yang tegas: dari pendekatan reaktif menuju keadilan preventif. Bencana tidak lagi dipahami sebagai anomali, melainkan sebagai socially constructed disaster—produk kebijakan perizinan, pembiaran struktural, dan praktik ekstraktif yang dilegitimasi oleh hukum formal, tetapi gagal memenuhi keadilan substantif. Dalam kerangka ini, deforestasi, kelalaian pengawasan, dan kegagalan mitigasi bukan sekadar kegagalan teknis, melainkan perbuatan hukum yang memiliki implikasi yuridis. Hukum dituntut untuk menembus batas formalitas izin dan menilai dampak nyata terhadap lingkungan, keselamatan publik, dan hak asasi manusia.

Untuk memastikan bahwa penegakan hukum tidak jatuh pada simplifikasi maupun selective enforcement, naskah ini menggunakan pendekatan deterministik melalui kerangka four point determination. Penentuan subjek hukum diperluas melampaui pelaku lapangan menuju negara, korporasi, dan pengendali manfaat (beneficial owner). Perbuatan hukum dianalisis secara komprehensif, mencakup tindakan aktif maupun omission struktural. Hubungan kausal ditetapkan melalui pendekatan scientific–ecological causation, yang mengakui kompleksitas sistem ekologis dan menolak logika linear yang reduksionistik. Akibat yuridis dinilai tidak hanya dari kerugian ekonomi, tetapi juga dari kerusakan ekologis, pelanggaran HAM, dan beban antargenerasi. Dengan kerangka ini, hukum bergerak dari sekadar reaksi pascabencana menuju mekanisme pencegahan berbasis risiko.
Dalam konstruksi tersebut, negara tidak dapat lagi diposisikan semata sebagai licensing authority yang netral. Mandat konstitusional dan prinsip public trust doctrine menempatkan negara sebagai subjek hukum aktif yang bertanggung jawab atas perlindungan lingkungan dan keselamatan rakyat. Kelalaian dalam pengawasan dan mitigasi memperoleh makna sebagai onrechtmatige overheidsdaad, sementara kegagalan sistemik dalam pencegahan bencana mencerminkan pelanggaran kewajiban konstitusional. Di sisi lain, korporasi tidak dapat berlindung di balik legalitas formal izin. Prinsip strict liability menegaskan bahwa kepatuhan diukur dari dampak, bukan sekadar dokumen, terutama ketika aktivitas yang dilakukan memiliki risiko tinggi terhadap lingkungan dan kehidupan manusia.

Dimensi baru yang memperkuat keseluruhan bangunan ini adalah transformasi peran negara dalam era digital. Digitalisasi perizinan dan pengawasan tidak boleh direduksi menjadi inovasi administratif, melainkan harus dipahami sebagai reposisi negara menjadi custodian of digital legal trust. Transparansi data lingkungan, audit trail perizinan, dan pembuktian berbasis sistem bukan hanya instrumen teknis, tetapi fondasi kepercayaan publik. Tanpa integritas digital, hukum kehilangan daya legitimasi dan justru membuka ruang baru bagi rente dan manipulasi. Sebaliknya, dengan sistem digital yang akuntabel, penegakan hukum administratif dan perdata dapat diperkuat, sementara hukum pidana ditempatkan secara proporsional sebagai ultimum remedium.

Integrasi hukum digital ini sekaligus memperdalam keadilan substantif. Due process of law tidak hanya melindungi hak subjek hukum dari tindakan sewenang-wenang, tetapi juga menjamin hak masyarakat atas informasi, partisipasi, dan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Prinsip in dubio pro reo tidak dihapuskan, melainkan diseimbangkan secara dinamis dengan in dubio pro natura, sehingga perlindungan lingkungan dan perlindungan hak asasi manusia berjalan beriringan, bukan saling menegasikan. Di sinilah hukum menemukan kembali fungsinya sebagai instrumen rasionalitas publik, bukan sekadar alat legitimasi kekuasaan.

Seluruh alur analisis ini berpuncak pada satu temuan kebaruan: ius integrum nusantara ditawarkan sebagai kerangka konseptual yang menyatukan keadilan substantif, akuntabilitas ekologis, dan kepercayaan hukum digital dalam satu sistem hukum yang utuh. Kerangka ini menolak fragmentasi hukum sektoral dan memandang hukum sebagai organisme hidup yang menghubungkan manusia, alam, dan kekuasaan dalam satu kesatuan nilai. Negara ditempatkan bukan di atas hukum, melainkan di dalam hukum sebagai penjaga kehidupan dan penjamin keberlanjutan. Dengan demikian, hukum tidak lagi sekadar mencatat bencana setelah terjadi, tetapi hadir sebagai mekanisme kolektif untuk mencegah kerusakan, menagih tanggung jawab, dan memastikan bahwa pembangunan hari ini tidak menjelma menjadi bencana bagi generasi yang akan datang.

Variabel Hukum dan Parameter Hukumnya
Subjek Hukum

Negara: bertindak sebagai subjek hukum aktif yang memiliki kewajiban konstitusional melindungi lingkungan dan keselamatan publik.

Korporasi: bertanggung jawab atas aktivitas yang menimbulkan kerusakan, diukur dari dampak, bukan sekadar izin formal.

Pengendali manfaat (Beneficial Owner): pihak yang memperoleh keuntungan dari kegiatan berisiko tinggi, juga dapat dimintai pertanggungjawaban.

Perbuatan Hukum
Tindakan aktif maupun kelalaian struktural (omission).
Pembiaran terhadap pelanggaran izin atau praktik ekstraktif.
Pelanggaran izin formal yang menimbulkan dampak ekologis.

Hubungan Kausal

Scientific–Ecological Causation: menetapkan keterkaitan antara keputusan kebijakan, tindakan manusia, dan kerusakan lingkungan.
Hujan atau bencana alam sebagai trigger, bukan penyebab utama.
Analisis risiko ekologis yang memperhitungkan kompleksitas sistem alam.
Akibat Yuridis
Kerusakan ekologis yang nyata.
Pelanggaran hak asasi manusia terkait lingkungan dan keselamatan publik.
Beban antargenerasi akibat degradasi sumber daya alam.
Kerugian ekonomi yang timbul dari bencana ekologis.
Tanggung Jawab Negara
Onrechtmatige overheidsdaad: kelalaian dan pembiaran struktural sebagai perbuatan melawan hukum.
Mandat konstitusional dan Public Trust Doctrine sebagai basis tanggung jawab.
Pengawasan, mitigasi, dan penegakan hukum yang preventif dan korektif.
Tanggung Jawab Korporasi
Prinsip Strict Liability: pertanggungjawaban mutlak atas kerusakan ekologis.
Kepatuhan berbasis dampak nyata terhadap lingkungan dan manusia, bukan sekadar dokumen izin.
Hukum Digital/Legal Trust
Peran negara sebagai Custodian of Digital Legal Trust.
Audit trail, verifikasi dokumen elektronik, dan transparansi perizinan.
Memperkuat akuntabilitas, integritas hukum, dan legitimasi pengambilan keputusan.

Keadilan Substantif

Prinsip Due Process of Law: melindungi hak subjek hukum dari tindakan sewenang-wenang.
In Dubio Pro Reo seimbang dengan In Dubio Pro Natura: hak manusia dan perlindungan lingkungan dijalankan bersamaan.
Ultimum Remedium: pidana lingkungan diterapkan secara proporsional sebagai langkah terakhir.
Pendekatan Sistem Hukum
Four Point Determination: subjek hukum, perbuatan, hubungan kausal, dan akibat yuridis sebagai kerangka deterministik.
Hukum responsif dan preventif, bergerak dari reaktif pascabencana menuju mitigasi risiko.
Integrasi antara hukum konvensional dan hukum digital untuk memastikan pencegahan, pertanggungjawaban, dan keberlanjutan.

Hukum sebagai Penjaga Kehidupan dalam Kerangka Ius Integrum Nusantara

Dari pengamatan atas bencana hidrometeorologis yang berulang di wilayah barat Sumatra, terlihat dengan jelas bahwa fenomena alam tidak dapat dipisahkan dari keputusan manusia, relasi kekuasaan, dan praktik ekonomi yang berlangsung secara sistemik. Transformasi bencana dari sekadar kejadian alam menjadi peristiwa hukum ekologis menegaskan bahwa hukum tidak hanya berperan reaktif, tetapi juga harus preventif, adaptif, dan responsif terhadap risiko. Dalam konteks ini, digitalisasi hukum menjadi instrumen vital: negara berperan sebagai custodian of digital legal trust, menjaga integritas, keterlacakan, dan keandalan dokumen hukum digital yang menjadi dasar pengambilan keputusan, pengawasan, dan pertanggungjawaban ekologis.

Analisis deterministik melalui four point determination menunjukkan bahwa subjek hukum meliputi negara, korporasi, dan pengendali manfaat; perbuatan hukum mencakup tindakan aktif maupun kelalaian struktural; hubungan kausal ditetapkan melalui scientific–ecological causation; dan akibat yuridis diukur dari kerusakan ekologis, pelanggaran HAM, beban antargenerasi, serta kerugian ekonomi. Prinsip strict liability, ultimum remedium, due process of law, dan keseimbangan in dubio pro reo dengan in dubio pro natura menegaskan bahwa tanggung jawab tidak lagi terbatas pada dokumen izin, tetapi pada dampak nyata terhadap lingkungan dan masyarakat. Semua elemen ini berpuncak pada kerangka ius integrum nusantara, yang memandang hukum sebagai organisme hidup yang menghubungkan manusia, alam, dan negara dalam satu kesatuan nilai. Hukum, dengan demikian, bukan sekadar mencatat bencana, tetapi menjadi mekanisme kolektif untuk mencegah kerusakan, menagih tanggung jawab, dan menjamin bahwa pembangunan hari ini tidak menjadi bencana bagi generasi mendatang.

Penulis 1 adalah Ketua Pengwil Ikatan Notaris Indonesia Sumatera Utara

Penulis 2 adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |