SEMARANG - Pernyataan kontroversial Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Yandri Susanto, S.Pt., M.Pd., yang menyebut istilah “wartawan Bodrex” dalam sebuah acara yang viral di media sosial, menuai kecaman luas dari insan pers. Pernyataan ini dianggap merendahkan profesi jurnalis dan menciptakan stigma negatif terhadap dunia kewartawanan.
Menanggapi hal tersebut, Pengurus Perkumpulan Jurnalis Nasional Indonesia (PJNI) Jawa Tengah, Agung, angkat bicara dan mengecam pernyataan Yandri. Menurutnya, penggunaan istilah tersebut sangat tidak pantas dan mencederai kemerdekaan pers di Indonesia.
"Seharusnya, jika ada oknum yang dianggap tidak profesional, cukup disebut oknum tanpa embel-embel yang merendahkan. Jangan sampai seluruh profesi wartawan terkena dampaknya, " tegas Agung.
Agung mendesak Menteri Yandri Susanto segera memberikan klarifikasi dan meminta maaf secara terbuka kepada insan pers. Tak hanya itu, ia juga menegaskan bahwa tidak cukup hanya dengan permintaan maaf, tetapi juga harus ada pembuktian terkait pernyataan tersebut.
"Jika beliau merasa ada pemberitaan yang tidak sesuai fakta, ada mekanisme klarifikasi dan hak jawab. Namun, merendahkan wartawan secara keseluruhan berarti telah mencoreng kebebasan pers dan melanggar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, " lanjutnya.
Dalam UU Pers Pasal 18 Ayat (1) disebutkan bahwa setiap orang yang menghalangi atau menghambat kerja jurnalis dapat dipidana dengan hukuman penjara hingga 2 tahun atau denda maksimal Rp500 juta.
Agung juga mengingatkan bahwa wartawan bukan musuh atau alat politik, melainkan mitra dalam membangun transparansi informasi yang akurat dan akuntabel bagi masyarakat.
"Pejabat publik harus lebih berhati-hati dalam berkomunikasi dan tidak menggunakan istilah yang merendahkan profesi wartawan. Jurnalis adalah garda terdepan dalam menyampaikan kebenaran, bukan musuh yang harus diserang, " ujarnya.
Sebagai langkah lanjut, sejumlah organisasi pers berencana menggelar diskusi terbuka untuk membahas isu ini bersama akademisi, pengamat media, serta pejabat pemerintah. Tujuannya adalah menciptakan hubungan yang lebih baik dan saling menghormati antara jurnalis dan pejabat publik.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa dalam era keterbukaan informasi, penting bagi semua pihak, termasuk pemerintah, untuk memahami peran vital pers dalam demokrasi dan membangun komunikasi yang lebih konstruktif. (Redaksi Jateng)