Penyebab dan Analisa Rupiah Anjlok, Dolar Sudah Tembus Rp16.565

2 weeks ago 9

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar mata uang Asia terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terpuruk cukup dalam bahkan posisi saat ini lebih parah dibandingkan saat pandemi Covid-19.

Dilansir dari Refinitiv, rupiah anjlok 0,67% ke angka Rp16.555/US$ pada 28 Februari 2025 pukul 10:24 WIB. Sedangkan secara intraday, rupiah sempat tertekan lebih parah lagi yakni ke posisi Rp15.565/US$.

Posisi ini lebih parah dibandingkan dengan 23 Maret 2020 yang ditutup di level Rp16.550/US$, namun belum mampu menembus level terparah secara intraday di periode yang sama yakni di level Rp16.620/US$.

Salah satu sentimen yang sangat memengaruhi psikologi pelaku pasar saat ini adalah soal kebijakan Presiden AS, Donald Trump yang kembali mempertegas tabuhan genderang perang dagangnya dengan mengumumkan tarif baru terhadap Meksiko dan Kanada sebesar 25% akan mulai berlaku pada 4 Maret, sementara China akan dikenakan tambahan tarif 10% pada tanggal yang sama. Keputusan ini memperkuat kebijakan proteksionisme ekonomi yang menjadi ciri khas pemerintahannya, sekaligus menambah ketidakpastian di pasar global.

Kebijakan tarif ini sebelumnya sempat ditangguhkan pada 3 Februari untuk jangka waktu satu bulan, yang menyebabkan kebingungan tentang apakah tarif akan kembali diberlakukan atau tidak setelah periode penundaan berakhir.

Dalam sebuah unggahan di Truth Social pada Kamis (27/2/2025), Trump memastikan bahwa tarif tersebut akan berjalan sesuai jadwal.
Dalam pernyataannya, Trump mengklaim bahwa perdagangan narkotika ilegal dari Meksiko dan Kanada ke AS masih berada pada tingkat yang sangat tinggi dan tidak dapat diterima, meskipun kedua negara telah berjanji untuk meningkatkan pengawasan di perbatasan mereka.

"Kami tidak bisa membiarkan ancaman ini terus merusak AS. Oleh karena itu, hingga masalah ini berhenti atau setidaknya sangat dibatasi, tarif yang dijadwalkan untuk diberlakukan pada 4 Maret akan tetap berlaku, seperti yang telah dijadwalkan sebelumnya," tulis Trump, sebagaimana dikutip dari CNBC International.

Global Markets Economist Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto mengatakan bahwa pelemahan rupiah ini sejalan dengan lonjakan volatilitas yang disertai aksi ambil untung oleh investor, serta kebijakan Presiden AS Donald Trump yang mulai Maret 2025 menaikkan tarif impor barang dari Kanada, Meksiko, dan China.

Ia juga menambahkan jika pelemahan rupiah kali ini juga dipengaruhi oleh meningkatnya permintaan US$ dari pelaku ekonomi domestik untuk kebutuhan pembayaran akhir bulan, seperti pembayaran utang dan bunga, serta pembayaran barang impor, termasuk bahan baku produksi dan barang konsumsi, terutama menjelang bulan puasa dan Idul Fitri.

Senada dengan Myrdal, Ekonom Senior Bank Central Asia, Barra Kukuh Mamia juga mengatakan bahwa adanya sentimen risk-off terkait tarif Trump.

"Katanya tarif Trump mau dipercepat ke Kanada & Meksiko, plus mau ditambah lagi ke China," pungkas Barra.

Sentimen risk-off ini juga terlihat dengan indeks dolar AS (DXY) yang mengalami penguatan.

Tanggapan soal DXY yang mengalami apresiasi ini juga disampaikan oleh ASEAN Economist UOB Indonesia, Enrico Tanuwidjaja yang menyampaikan bahwa DXY terus mengalami penguatan.

DXY yang menanjak ini berdampak terhadap tertekannya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.

Pandangan sedikit berbeda dengan Head of Treasury & Financial Institution Bank Mega Ralph Birger Poetirayyang menjabarkan bahwa selain sentimen dari Trump, data dari AS soal GDP Price index yang membaik mendorong DXY mengalami kenaikan.

Sebagai catatan, Deflator PDB di Amerika Serikat meningkat 2,4% secara kuartalan ke rekor tertinggi sebesar 126,27 poin indeks pada kuartal keempat tahun 2024, dibandingkan dengan kenaikan 1,9% pada periode sebelumnya, dan kenaikan perkiraan awal sebesar 2,2%.

ASFoto: United States GDP Deflator
Sumber: U.S. Bureau of Economic Analysis

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(rev/rev)

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |