Mardi Sijabat dan keluarga korban ketika diterima Humas PN Lubuk Pakam.
Ukuran Font
Kecil Besar
14px
“Ini perkara pembunuhan bukan delik aduan: ada atau tidaknya laporan, penegak hukum tetap berkewajiban menindaklanjuti.” Mardi Sijabat, Pengacara Ripin.
LUBUKPAKAM (Waspada.id): Di Pengadilan Negeri Lubuk Pakam, kisah kematian Ripin alias Achien, 23, kembali tersandung di meja prosedur. Bukan pada pertanyaan paling penting—siapa membunuh dan bagaimana nyawa itu dirampas—melainkan pada urusan administrasi penyidikan.
Scroll Untuk Lanjut Membaca

IKLAN
Inilah yang membuat pengacara keluarga korban, Mardi Sijabat, SH, meledak: ia menyebut hakim tunggal praperadilan Adil Martogu Franky Simarmata sebagai “raja tega”, setelah mengabulkan permohonan Juwita, 58, dan anaknya Kevin, 24, yang sempat ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Mapolresta Deli Serdang di Lubuk Pakam.
Kecaman itu mencuat saat Mardi mendampingi keluarga korban mendatangi PN Lubuk Pakam pada Kamis, 18 Desember 2025, untuk meminta salinan putusan praperadilan. Rudi, abang kandung korban, ikut hadir. Mereka tak sekadar mengejar dokumen, tapi juga menyampaikan keberatan: putusan itu, kata mereka, membuat perkara kian kabur—seolah kematian Ripin cukup “diselesaikan” dengan stempel cacat prosedur.
Di ruang tunggu layanan pengadilan, Mardi dan Rudi dipertemukan dengan Humas PN Lubuk Pakam, Erwin Nababan. Di situlah tensi Mardi Sijabat naik. Mardi mengaku terpaksa menunggu sekitar dua jam karena salinan putusan disebut masih berada di bagian hukum. Ia menilai pengadilan tak semestinya mempersulit, apalagi permohonan salinan, menurutnya, sudah diajukan beberapa hari sebelumnya.
“Saya sudah muak dengan cara pengadilan yang suka mempermainkan pencari keadilan,” kata Mardi, dengan suara meninggi, disaksikan sejumlah pegawai PN dan wartawan.
Bagi Mardi, perkara ini bukan delik yang bisa gugur hanya karena prosedur bergeser satu langkah. “Ini perkara pembunuhan bukan delik aduan: ada atau tidaknya laporan, penegak hukum tetap berkewajiban menindaklanjuti,” ujarnya. Ia menyatakan akan melaporkan hakim tunggal praperadilan ke Komisi Yudisial.
Yang paling ia soroti adalah alasan hakim mengabulkan permohonan praperadilan Juwita, yang ia ringkas sebagai “urusan administrasi penyidikan”. Mardi menuding sprindik Nomor 149 tertanggal 27 Oktober 2025 tidak pernah ditunjukkan sebagai bukti di persidangan, namun justru dijadikan pijakan untuk menyatakan proses penetapan tersangka cacat prosedur. “Ini pembunuhan, bisa merusak ketertiban umum kalau diperlakukan begini,” kata Mardi. Ia bahkan menduga ada unsur kesengajaan—dokumen tertentu “tidak dihadirkan”—agar perkara tampak cacat dan tersangka terbebas.
Mardi Sijabat (kiri) dan Rudi Irawan, abang kandung Alm Ripin sedang di sentra pelayanan PN Lubuk Pakam untuk meminta salinan putusan Praperadilan kasus Ripin.
Mardi menyebut tengah menyiapkan pengaduan terhadap penyidik lewat jalur pengawasan internal kepolisian, selain menempuh Komisi Yudisial dan pengawasan di Mahkamah Agung. “Tersangka itu suaminya di Malaysia. Kalau dia melarikan diri setelah dilepaskan dari Rutan Polresta Deliserdang, apa Ketua PN Lubuk Pakam mau bertanggung jawa?” tegas Mardi Sijabat dengan nada keras sehingga menjadi perhatian penginjung PN dan petugas yang tengah memasuki jam istirahat.
Masih dengan nada tinggi, Mardi Sijabat mengarahkan wajahnya ke Erwin Nababan, Humas PN Lubuk Pakam, yang duduk di sebelah kirinya. “Kami sudah berjuang enam bulan agar Juwita dan anaknya Kelvin ditetapkan tersangka, tapi kalian (hakim) seenaknya memenangkan praperadilan dan membebaskan tersangka hanya karena alasan yang tak masuk akal sehat,” kata Mardi Sijabat.
Humas PN Lubuk Pakam Erwin Nababan mengatakan permohonan keluarga Ripin sudah diteruskan untuk diproses di bagian hukum. Menurut dia, ada mekanisme telaah untuk menilai apakah pemohon termasuk pihak berkepentingan yang dapat diberikan salinan putusan. Ia juga menegaskan tak dalam posisi mengomentari putusan karena pembahasan sudah mengarah ke pokok perkara. Soal rencana pelaporan ke Komisi Yudisial, Erwin menyebut itu jalur yang tersedia dan tidak terkait dengan layanan administrasi yang diterima pemohon.
Putusan praperadilan itu sendiri dibacakan pada Kamis, 11 Desember 2025. Dalam amar putusan, hakim menyatakan penetapan tersangka berdasarkan Surat Ketetapan No. S.Tap.Tsk/278/X/RES.1.7/2025/Satreskrim tertanggal 27 Oktober 2025 cacat hukum dan tidak mengikat terhadap pemohon. Hakim juga menyatakan tindakan penyidikan, penangkapan, dan penahanan tidak sah, serta memerintahkan polisi membebaskan pemohon dari rutan Polresta Deliserdang.
Polresta Deli Serdang menyebut telah membebaskan keduanya dan menyatakan penyidikan akan diulang.
Kasus Ripin sejak awal menyedot perhatian karena versinya berubah: mula-mula keluarga menerima informasi Ripin meninggal akibat kecelakaan. Namun keluarga melihat banyak kejanggalan dan meminta penyelidikan mendalam. Pada Juli 2025, Propam Polda Sumut juga sempat memeriksa penyidik Polres Deliserdang terkait lambannya pengungkapan kasus kematian Ripin.(id28)
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.






















































