Jakarta, CNBC Indonesia — Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengingatkan bahwa fase puncak awal musim hujan mulai terjadi.
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati menjelaskan bahwa hujan sudah lebih dulu hadir di sejumlah lokasi sejak September-Oktober, sementara wilayah lain baru memulai masa hujannya pada November ini.
Ia mengungkapkan bahwa dalam beberapa hari terakhir, hujan dengan intensitas sedang hingga lebat tampak mendominasi sebagian besar wilayah Jawa bagian Barat hingga Tengah, mencakup Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, hingga sebagian DIY. Menurutnya, fenomena yang sering terlihat adalah langit masih terik dan panas di siang hari, namun berubah mendung lalu turun hujan menjelang sore hingga malam.
Ia menyampaikan bahwa pola ini merupakan ciri khas fase transisi menuju awal musim hujan.
Berdasarkan pembaruan data zona musim, pada dasarian ketiga Oktober, sekitar 43,8% wilayah Indonesia setara 306 zona musim, telah resmi memasuki musim hujan.
Wilayah-wilayah itu antara lain sebagian Aceh, sebagian Sumatra Utara, sebagian Sumatra Selatan, sebagian Lampung, Kepulauan Bangka Belitung, sebagian Banten, sebagian Jawa Barat, DKI Jakarta, sebagian Jawa Tengah, DIY, kawasan timur Jawa Timur, sebagian Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, wilayah utara Sulawesi Selatan, sebagian Sulawesi Barat, sebagian Sulawesi Tengah, sebagian Sulawesi Utara, sebagian Maluku, serta sebagian Papua.
BMKG memperkirakan puncak musim hujan kali ini berlangsung sejak awal November 2025 hingga Februari 2026. Durasi ini dinilai berbeda dibandingkan umumnya, yang biasanya puncaknya hanya berada dalam rentang Desember-Januari atau Januari-Februari.
Menurut Dwikorita, alurnya tidak terjadi secara serempak, melainkan bergerak bertahap dari wilayah barat menuju timur Indonesia. Puncak hujan di area barat diprediksi berada pada rentang November-Desember, kemudian berlanjut ke kawasan bagian tengah hingga timur Indonesia pada Januari-Februari.
Memasuki musim hujan, biasanya aktivitas petir juga meningkat. Awal musim hujan umumnya diiringi peningkatan intensitas pembentukan awan cumulonimbus, sehingga frekuensi petir cenderung naik.
Diketahui, kota Depok, Jawa barat disebut sebagai kota petir. Wilayah ini berada di pertengahan antara Bogor dan Jakarta, serta dekat dengan gunung, karena itu wilayahnya menjadi daerah transisi dan sering terjadi petir besar.
Meski demikian, Depok belum berstatus menjadi ibu kota petir dunia. Titel tersebut dimiliki oleh Danau Maracaibo di Venezuela, tepatnya di mulut sungai Catatumbo. Area ini memukau ilmuwan, peneliti, dan wisatawan.
Petir Catatumbo bukan sekadar badai biasa. Fenomena ini berlangsung 140 hingga 160 malam per tahun, selama sekitar 10 jam setiap malam, dengan intensitas hingga 280 kilatan per jam. Petir ini berasal dari awan badai yang terbentuk di atas pegunungan di sekitar danau dan sungai.
Mekanismenya melibatkan angin lembab dari Karibia yang bertemu dengan angin dingin pegunungan, menciptakan konveksi intens yang memicu badai petir berulang.
Fenomena ini amatlah unik, karena bahkan bila dibandingkan dengan Afrika Tengah, frekuensi petir Catatumbo Venezuela masih lebih tinggi. Afrika tengah sendiiri terkenal dengan frekuensi petir yang tinggi. Khususnya di sekitar Danau Victoria dan daerah tropis lainnya.
Menurut SKYbrary, fenomena ini dipicu oleh nocturnal low-level jet (NLLJ) yang bergerak saat matahari terbenam, membawa udara lembab yang bertabrakan dengan pegunungan Andes, Perijá, dan Cordillera Mérida. Inilah yang memicu badai petir yang berulang sepanjang malam, hampir setiap malam dalam setahun.
Pada tahun 2010, fenomena ini pernah menghilang selama beberapa bulan karena kekeringan ekstrem, mengkhawatirkan bahwa fenomena ini bisa lenyap secara permanen. Namun, petir kembali muncul begitu kondisi normal, menunjukkan kepekaan terhadap perubahan iklim.
Selain itu, Petir Catatumbo terkenal karena memproduksi kilatan dalam awan yang terang. Area Danau Maracaibo mencatat sambaran petir tertinggi di dunia, dengan dampak signifikan terhadap lingkungan, termasuk gangguan pada bandara seperti Bandara Miguel Urdaneta Fernández. Cahaya petir yang dihasilkan juga membantu produksi alami ozon di atmosfer.
Dilansir dari BBC Global, "Relámpago del Catatumbo" terjadi karena pertemuan sempurna antara udara hangat dari Karibia dan udara dingin pegunungan. Kombinasi ini menciptakan kondisi ideal untuk pembentukan petir dalam skala besar, menjadikannya pemandangan luar biasa yang dapat dilihat hingga ratusan kilometer.
Dengan semua keunikannya, Petir Catatumbo menjadi contoh fenomena cuaca langka yang tidak hanya indah, tetapi juga penting untuk dipahami dalam konteks meteorologi dan dampak lingkungan.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(saw/saw)

13 hours ago
5

















































