Mesin Ekonomi RI Mulai Ngadat, Ini Buktinya!

1 day ago 9

Jakarta, CNBC Indonesia - Hari pertama perdagangan bulan Juni 2025, kita mendapat kabar buruk yang semakin menunjukkan kondisi ekonomi tidak baik-baik saja. Ini kemudian menjalar pada mesin ekonomi yang mulai ngadat, yaitu penyaluran kredit perbankan.

Kabar buruk pertama datang dari kondisi manufaktur Indonesia yang lagi-lagi mengalami kontraksi. Ini tercermin dari Data Purchasing Managers' Index (PMI) yang dirilis S&P Global hari ini, Senin (2/6/2025) menunjukkan PMI manufaktur Indonesia ada di 47,4 atau mengalami kontraksi pada Mei 2025. Ini adalah kedua kali dalam dua bulan beruntun PMI mencatat kontraksi.

PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Jika di atas 50, maka artinya dunia usaha sedang dalam fase ekspansi. Sementara di bawah itu artinya kontraksi.

S&P Global menjelaskan aktivitas produksi dan pesanan baru kembali melemah, dengan penurunan pesanan baru yang bahkan lebih tajam dibanding April. Penurunan pesanan bahkan menjadi yang terdalam sejak Agustus 2021.

Kabar buruk kedua, datang dari Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan deflasi 0,37% pada Mei 2025. Secara tahunan artinya inflasi sebesar 1,60% year on year (yoy).

"Terjadi deflasi sebesar 0,37% ," kata Deputi Statistik Bidang Distribusi dan Jasa Pudji Ismartini dalam konferensi pers, Senin (2/6/2025)

Perlambatan inflasi ini hasilnya lebih buruk dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 10 institusi memperkirakan IHK secara bulanan (month to month/mtm) diproyeksi turun atau mengalami deflasi sebesar 0,1%. Sementara secara tahunan (year on year/yoy), IHSK masih diproyeksi naik atau mengalami inflasi sebesar 1,89%.

Berikutnya ada kabar buruk ketiga yang datang dari penurunan signifikan surplus neraca perdagangan periode April 2025.

Per April 2025, neraca perdagangan Indonesia masih surplus US$ 150 juta, seiring dengan kinerja ekspor yang tercatat sebesar US$ 20,74 miliar, dan impor US$ 20,59 miliar.

Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Pudji Ismartini mengatakan, nilai neraca perdagangan per April 2025 ini juga menjadi yang terendah dalam kondisi surplus 60 bulan terakhir, atau sejak Mei 2020.

"Secara bulanan, surplus April 2025 ini terendah sejak Mei 2020," kata Pudji di Kantor Pusat BPS, Jakarta, Senin (2/6/2025).

Pudji menjelaskan, terus melemahnya angka surplus ini disebabkan kinerja ekspor yang turunnya makin cepat ketimbang impor yang kini mulai naik dibanding bulan sebelumnya.

"Rendahnya neraca perdagangan Indonesia pada April 2025 disebabkan penurunan nilai ekspor 10,77% dibanding Maret 2025. Sedangkan nilai impornya meningkat 8,80% secara month to month," ucap Pudji.

Tiga kondisi buruk mulai dari kontraksi manufaktur, deflasi bulanan, lalu surplus neraca dagang menyusut signifikan menunjukkan kondisi ekonomi sedang tidak baik-baik saja. Risiko perlambatan ekonomi bisa berlanjut pada kuartal kedua tahun ini, daya beli masyarakat belum pulih, dan pengusaha belum bisa ekspansif.

Hal tersebut kemudian berdampak pada penyaluran kredit perbankan yang melandai. Menurut data Bank Indonesia (BI) sampai April 2025, kredit hanya tumbuh 8,88%. Ini merupakan rekor terendah sejak Juli 2023.

Penyaluran kredit turun ada dua faktor yang mempengaruhi. Dari sisi permintaan, risiko daya beli masyarakat masih mendominasi, terutama di era suku bunga tinggi membuat demand kredit tidak terlalu atraktif. Sementara itu dari sisi penawaran, likuiditas bank juga mengetat.

Ketua Komisi XI DPR RI Mukhamad Misbakhun mengungkapkan penyebab pertumbuhan kredit perbankan belum mencapai tingkat optimal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Hal ini dipaparkan Misbakhun dalam acara CNBC Investment Forum 2025 di Jakarta, Jumat (16/5/2025).

Misbakhun melihat kondisi di Tanah Air Inflasi cukup rendah, sementara suku bunga ditahan tinggi. Alhasil, efeknya likuiditas menjadi ketat.

"Ini memberikan dampak ke pertumbuhan likuiditas uang yang ada. Jangan kaget kalo pertumbuhan kredit hanya 9%," kata Misbakhun.

Adapun, menurutnya, aliran likuiditas saat ini dilarikan ke SBN dan SRBI. Ketika likuiditas terbatas, maka sektor riilnya megap-megap. Alhasil, DPR mendorong investasi di hilirisasi.

Bank besar BUMN juga merasakan imbas dari kondisi ekonomi yang bisa dibilang masih loyo ini.

PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) terbilang yang merasakan pukulan paling kencang dengan pertumbuhan kredit hanya 4,2% secara tahunan (yoy) sampai April 2025. Dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya turun drastris dari 12% yoy, tetapi sedikit membaik dari bulan sebelumnya yang tumbuh 3,8% yoy.

BBRI masih melakukan perombakan pada segmen mikro yang membuat-nya masih berhati-hati dalam menyalurkan kredit.

PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) juga mengalami perlambatan penyaluran kredit pada April 2025 menjadi sebesar 8% yoy, mendekati kisaran bawah guidance perusahaan di 8% - 10%.

Sementara itu PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) masih menjadi yang paling ekspansif, meskipun tren pertumbuhan turun. Tercatat loan growth BMRI sampai April 2025 tumbuh 15% yoy, lebih rendah dari awal 2025 sebesar 2025 dan bergerak menuju guidance perusahaan di kisaran 10% - 12%.

CNBC INDONESIA RESEARCH

Sanggahan : Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investor terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

(tsn/tsn)

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |