Jakarta, CNBC Indonesia - Kelompok Rapid Support Forces (RSF) kembali mengguncang dunia. Ini menyusul kekerasan bersenjata di sejumlah wilayah Sudan.
Terbaru, kelompok paramiliter itu dituduh melakukan berbagai kekejaman di Kota el-Fasher, ibu kota Negara Bagian Darfur Utara. RSF, yang menjadi pasukan pemberontak melawan militer Sudan dituduh melakukan pembunuhan massal, pemerkosaan, dan kekerasan brutal setelah el-Fasher jatuh ke tangan RSF.
Menteri Negara untuk Kesejahteraan Sosial Sudan, Salma Ishaq, mengungkapkan bahwa sedikitnya 300 perempuan dibunuh oleh RSF. Ini hanya dalam dua hari pertama setelah kelompok itu memasuki el-Fasher.
"RSF membunuh 300 perempuan selama dua hari pertama mereka memasuki El-Fasher," ujar Ishaq kepada Anadolu Agency, dikutip Senin (3/11/2025).
Ia menambahkan bahwa para korban juga mengalami kekerasan seksual, penyiksaan, dan perlakuan keji lainnya. Menurutnya, situasi di wilayah itu masih sangat berbahaya.
"Siapapun yang meninggalkan El-Fasher menuju Tawila berada dalam risiko, karena jalan El-Fasher-Tawila telah menjadi jalan kematian," tegasnya menyebut kekerasan yang terjadi merupakan bagian dari pembersihan etnis yang sistematis.
"Masih ada keluarga di El-Fasher yang menjadi korban penyeretan, penyiksaan, penghinaan, dan kekerasan seksual," ujarnya lagi.
Sebelumnya, sebuah laporan WHO mengungkap lebih dari 460 orang ditembak mati di sebuah rumah sakit bersalin oleh RSF di kota yang sama. Menurut WHO, sebagaimana dilansir AFP, rumah sakit tersebut telah menjadi sasaran serangan berulang kali sejak awal Oktober.
Pada Minggu lalu, fasilitas itu diserang untuk keempat kalinya dalam sebulan, menewaskan satu perawat dan melukai tiga tenaga kesehatan lain. Dua hari kemudian, enam petugas medis yang terdiri dari empat dokter, satu perawat, dan satu apoteker diculik.
"Lebih dari 460 pasien dan pendamping mereka dilaporkan ditembak dan dibunuh di rumah sakit," ungkap WHO dalam laporannya.
Laboratorium Penelitian Kemanusiaan Universitas Yale melaporkan bahwa citra satelit memperlihatkan "peristiwa pembunuhan massal" di sekitar Rumah Sakit Saudi serta dugaan pembantaian besar lain di bekas Rumah Sakit Anak di timur el-Fasher, pada pekan lalu. Laporan itu juga menyebut adanya "pembunuhan sistematis" di lokasi lain di luar kota.
Lembaga tersebut sebelumnya telah memperingatkan adanya "proses pembersihan etnis yang disengaja dan sistematis". Terutama terhadap komunitas non-Arab di wilayah itu.
Siapa RSF?
RSF merupakan pasukan paramiliter Sudan yang sebelumnya dioperasikan oleh pemerintah, sebelum kemudian berbalik melawan militer reguler dalam konflik yang pecah pada 2023. RSF menguasai el-Fasher pada 26 Oktober lalu.
Sejumlah organisasi lokal dan internasional menyebut serangan itu sebagai "pembantaian" terhadap warga sipil dan memperingatkan bahwa aksi tersebut dapat memperkuat pemisahan geografis Sudan. Pemimpin RSF, Mohamed Hamdan Dagalo (Hemedti), mengakui adanya "pelanggaran" oleh pasukannya di El-Fasher, namun ia mengklaim bahwa komite investigasi telah dibentuk untuk menyelidiki kasus tersebut.
Menurut laporan PBB dan sumber lokal, sejak konflik antara tentara Sudan dan RSF pecah pada 15 April 2023, perang saudara itu telah menewaskan sekitar 20.000 orang dan memaksa lebih dari 15 juta warga mengungsi.
Sementara itu, pemerintah Sudan juga menuduh Uni Emirat Arab (UEA) mendanai RSF. Tuduhan itu muncul bersamaan dengan kesaksian mengerikan dari para penyintas yang berhasil melarikan diri dari el-Fasher.
Duta Besar Sudan untuk Mesir, Imadeldin Mustafa Adawi, dalam konferensi pers di Kairo pada Minggu, menuduh RSF melakukan kejahatan kemanusiaan dan menuding UEA sebagai pihak yang membantu kelompok tersebut dalam perang saudara yang telah melanda Sudan sejak April 2023.
"Pemerintah Sudan menyerukan kepada komunitas internasional untuk bertindak segera dan efektif, bukan sekadar mengeluarkan pernyataan kecaman," kata Adawi.
Ia mendesak agar RSF ditetapkan sebagai organisasi teroris dan menuntut dunia mengutuk "pembantaian yang setara dengan genosida" serta "pendana regional resminya, Uni Emirat Arab".
Adapun UEA membantah tuduhan bahwa mereka memasok senjata kepada RSF. Dalam forum di ibu kota Bahrain, Manama, penasihat kepresidenan UEA, Anwar Gargash, mengatakan negaranya ingin membantu mengakhiri perang di Sudan, bukan memperburuknya.
"Kami semua membuat kesalahan ketika dua jenderal yang kini berperang menggulingkan pemerintahan sipil. Melihat ke belakang, itu adalah kesalahan besar," kata Gargash.
(luc/luc)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ngeri! Perang Saudara Picu Pembantaian Massal di Sini, 300 Orang Tewas

7 hours ago
6

















































