Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Dalam diskursus ilmu pemerintahan di Indonesia, kekuasaan seringkali direduksi menjadi sekadar instrumen distribusi materi dan konsesi lahan. Namun, jika kita membedah kepemimpinan Megawati Soekarnoputri melalui kacamata Miriam Budiardjo (2008), hakikat politik adalah usaha mencapai masyarakat yang lebih baik melalui kebijakan publik yang beretika dan berdaulat.
Di tengah kepungan pragmatisme yang menempatkan investasi di atas kelestarian, keteguhan Megawati dalam menjaga "rahim bumi pertiwi" menunjukkan sebuah anomali kepemimpinan yang berani melawan arus besar industrialisasi ekstraktif dengan bersandar pada fundamen ideologis Trisakti Bung Karno serta kesadaran mendalam akan watak kekuasaan yang korosif.
Trisakti sebagai Kompas Ekologi
Ajaran Trisakti, sebagaimana digaungkan oleh Bung Karno (Berdaulat dalam politik, Berdikari dalam ekonomi dan Berkepribadian dalam kebudayaan), bukan sekadar jargon usang, melainkan manifesto perlindungan sumber daya alam. Megawati memahami bahwa "Berdikari secara ekonomi" tidak mungkin tercapai jika faktor produksi utama, yakni tanah, digadaikan secara masif kepada korporasi.
Berdasarkan jurnal ilmiah berjudul "Indonesia Tanah Air Siapa: Kuasa Korporasi di Bumi Pertiwi" yang dirilis oleh Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) dan Auriga Nusantara pada September 2022, terungkap data komparatif yang sangat tajam mengenai distribusi aset negara:
Pada Era Orde Baru (32 tahun), Presiden Soeharto memberikan 79 juta hektare lahan kepada korporasi melalui UU Penanaman Modal Asing 1967 dan UU Penanaman Modal Dalam Negeri 1968. Di Era Susilo Bambang Yudhoyono (10 tahun), mencetak rekor kecepatan dengan menyerahkan 55 juta hektare lahan kepada korporasi (2004-2014).
Sementara, Era Megawati Soekarnoputri (2001-2004), menjadi periode paling minim memberikan penguasaan lahan. Megawati tercatat sebagai satu-satunya presiden yang tidak mengeluarkan satu pun konsesi baru untuk perkebunan sawit.
Keteguhan Megawati untuk mengunci izin sawit yang ia sebut sebagai "tanaman arogan dan manja" dalam wawancara di Kompas TV (2025) adalah tindakan diskresi politik yang sangat berani. Secara teoretis, menurut Inu Kencana Syafiie (2011), pemerintahan yang baik harus memiliki dimensi moral yang kuat. Megawati menolak melakukan regulatory capture, sebuah kondisi di mana kebijakan negara disandera oleh kepentingan industri.
Landasan filosofis ini semakin diperkuat dalam dokumenter Merawat Pertiwi episode "Bung Karno Ajarkan Cinta Lingkungan" (19/8/2025), di mana Megawati menegaskan bahwa kecintaannya pada alam adalah warisan spiritual. Ia mengecam keras eksploitasi alam demi keuntungan ekonomi semata.
Baginya, menebang pohon tua tanpa menyiapkan nurseri adalah bentuk pengabaian nilai kehidupan. Di sini, kedaulatan politik bukan hanya soal melawan asing, tapi melawan nafsu eksploitasi dalam negeri yang menghamba pada akumulasi modal. Ia memilih untuk tetap berdaulat, memastikan bahwa hutan tersisa tidak berubah menjadi monokultur yang merusak keanekaragaman hayati.
Etika Politik Tat Twam Asi
Etika politik Megawati tidak berhenti pada regulasi di atas kertas, melainkan meresap menjadi kultur organisasi yang bersifat instruksional dan filosofis. Dalam wawancara eksklusif di program ROSI Kompas TV (8/2/2024), Megawati mengungkapkan tesisnya mengenai "Sisi Gelap Istana".
Ia mengingatkan bahwa kekuasaan memiliki sifat yang sangat "membius". Di balik gemerlap lampu istana, terdapat lorong-lorong gelap suram yang mencerminkan niat tidak baik dari orang-orang yang ingin mendekat demi keuntungan pribadi.
Kesadaran akan sisi gelap kekuasaan inilah yang membuat Megawati menggunakan alam sebagai jangkar moral. Pada Sabtu, 6 Desember 2025, Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto menekankan bahwa politik lingkungan partai adalah bentuk konkret dari filosofi Tat Twam Asi (aku adalah engkau, engkau adalah aku). Filosofi ini menjadi benteng agar kader partai tidak terbius oleh gelapnya kekuasaan yang cenderung destruktif.
Dalam kacamata Tjahjo Kumolo (2015), politik adalah "Jalan Lurus Pengabdian". Ketika Megawati menunjukkan kebiasaan mengumpulkan biji buah untuk ditanam kembali, ia sedang melakukan laku prihatin untuk melawan sifat rakus manusia. Dalam dokumenter 'Merawat Pertiwi', ia mengajak masyarakat belajar dari hewan yang hidup secukupnya.
Internalisasi nilai ini terlihat nyata pada Kamis, 18 Desember 2025, saat peluncuran Gerakan Perempuan Menanam. Megawati memposisikan perempuan sebagai "penjaga cahaya" yang harus menerangi lorong-lorong gelap kekuasaan dengan nilai-nilai perawatan (ethics of care).
Dengan mewajibkan kader menanam pohon, Megawati sedang membangun "Kepribadian dalam Kebudayaan" yang mencintai lingkungan sebagai antitesis dari karakter kekuasaan yang eksploitatif dan arogan.
Mitigasi Bencana dan Akuntabilitas Publik
Substansi kepemimpinan juga diuji dalam bagaimana seorang pemimpin mengelola tanggung jawab publik di tengah ancaman krisis. Pada Jumat, 19 Desember 2025, dalam acara "Mitigasi Bencana dan Pertolongan Korban", Megawati memberikan instruksi tajam kepada BAGUNA PDI Perjuangan.
"Tidak ada perintah lagi, begitu BAGUNA turun, mereka harus segera buka dapur umum," tegasnya. Ketajaman instruksi ini lahir dari pemahaman bahwa kekuasaan harus hadir secara nyata di tengah penderitaan rakyat, bukan sekadar wacana yang terjebak di menara gading.
Dalam teori administrasi publik di Indonesia, kecepatan respons adalah indikator utama efektivitas tata kelola. Menurut Jimly Asshiddiqie (2009), penguasaan negara atas sumber daya alam dan lingkungan harus ditujukan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Megawati mengkritik keras budaya bantuan yang hanya mengandalkan mi instan, menuntut standar nutrisi yang layak. Kritik ini menunjukkan keadaban berpolitik yang tinggi; bahwa rakyat dalam kondisi bencana tidak boleh diberikan sisa-sisa, melainkan penghormatan melalui pelayanan yang manusiawi.
Megawati mengingatkan bahwa kerusakan lingkungan, seperti banjir yang melanda Aceh dan Sumatra, bukan sekadar isu teknis, tapi menyangkut masa depan generasi. Ia menempatkan negara sebagai wasit yang adil antara kebutuhan ekonomi dan kelestarian ekologis.
Kepemimpinan Megawati adalah model kepemimpinan yang tahan banting sebagaimana yang ia sampaikan dalam wawancara ROSI, karena ia memiliki pijakan spiritual yang kuat pada alam. Ia meyakini bahwa menjaga bumi yang hijau adalah amanah konstitusional dan ideologis yang harus diwujudkan untuk menghalau "sisi gelap" kekuasaan yang seringkali mengabaikan nasib rakyat demi kepentingan sesaat.
Menjaga Warisan untuk Esok Hari
Analisis ini menegaskan bahwa keteguhan Megawati Soekarnoputri adalah manifestasi dari ideologi Trisakti yang murni dan matang. Data WALHI (2022) dan rekam jejak kebijakannya menjadi bukti bahwa ia adalah pemimpin yang tidak terbius oleh gemerlap kekuasaan. Dengan memahami "sisi gelap istana", ia justru menarik garis pembatas yang tegas terhadap eksploitasi alam.
Melalui dokumenter Merawat Pertiwi dan gerakan nyata penanaman pohon pada Desember 2025, ia membuktikan bahwa politik di tangannya adalah alat untuk "Merawat Ibu Pertiwi".
Sejarah akan mencatat bahwa di tengah gempuran korporatokrasi global, pernah ada seorang pemimpin perempuan yang berdiri tegak menjaga bumi pertiwi. Ia dengan tegas berkata bahwa bumi yang hijau adalah titipan Tuhan yang tidak boleh dikhianati oleh syahwat kekuasaan yang gelap. Inilah esensi dari kedaulatan yang sesungguhnya: berani menjaga tanah air dari ketamakan, demi keutuhan pertiwi yang abadi dan keadaban politik yang bermartabat.
(miq/miq)

4 hours ago
4

















































