Jakarta, CNBC Indonesia - Serangan udara yang dilancarkan militer Amerika Serikat ke wilayah Suriah pada Jumat (19/12/2025) kembali mengguncang tensi geopolitik di Timur Tengah. Aksi ini berawal dari insiden berdarah yang menewaskan personel AS di kota Palmyra, Suriah tengah, pada akhir pekan lalu.
Insiden tersebut menjadi titik balik yang mendorong Washington melancarkan operasi militer berskala besar terhadap kelompok Negara Islam atau ISIS.
Menurut keterangan pejabat Amerika Serikat, seorang penyerang yang diduga memiliki afiliasi dengan ISIS menyerang konvoi gabungan pasukan Amerika Serikat dan Suriah di Palmyra pada Sabtu lalu. Dalam serangan itu, dua tentara Angkatan Darat AS dan seorang penerjemah sipil tewas, sementara tiga tentara AS lainnya mengalami luka-luka. Pelaku serangan kemudian ditembak mati di lokasi kejadian.
Presiden Amerika Serikat Donald Trump merespons insiden tersebut dengan menyatakan akan melakukan pembalasan. Janji itu kemudian diwujudkan melalui serangan udara yang menyasar puluhan target ISIS di Suriah bagian tengah.
Menteri Pertahanan AS Pete Hegseth mengonfirmasi bahwa serangan tersebut menargetkan pejuang ISIS, infrastruktur, serta persenjataan milik kelompok tersebut. Operasi itu diberi nama sandi "OPERATION HAWKEYE STRIKE."
"Ini bukan awal dari sebuah perang, ini adalah deklarasi pembalasan," kata Hegseth, seperti dikutip Reuters. "Hari ini, kami memburu dan membunuh musuh-musuh kami. Banyak dari mereka. Dan kami akan terus melakukannya," tambahnya.
Dua pejabat AS yang mengetahui langsung jalannya operasi, dan berbicara dengan syarat anonim, mengatakan bahwa serangan udara dilakukan terhadap puluhan sasaran ISIS yang tersebar di sejumlah titik di Suriah tengah.
Serangan balasan ini juga menjadi bagian dari rangkaian operasi yang telah dilakukan koalisi internasional pimpinan AS dalam beberapa bulan terakhir. Koalisi tersebut secara rutin melakukan serangan udara dan operasi darat di Suriah untuk memburu jaringan ISIS, kerap dengan melibatkan aparat keamanan setempat.
Hingga saat ini, sekitar 1.000 personel militer Amerika Serikat masih ditempatkan di Suriah sebagai bagian dari misi melawan ISIS dan menjaga stabilitas keamanan di kawasan tersebut.
Pemerintah Suriah turut memberikan penjelasan terkait pelaku serangan di Palmyra. Kementerian Dalam Negeri Suriah menyebut penyerang merupakan anggota pasukan keamanan Suriah yang diduga memiliki simpati terhadap ISIS.
Suriah sendiri kini berada di bawah pemerintahan baru yang dibentuk oleh kelompok mantan pemberontak yang menggulingkan Presiden Bashar al-Assad pada tahun lalu, setelah konflik sipil yang berlangsung selama 13 tahun. Pemerintahan baru ini mencakup unsur-unsur dari bekas cabang Al Qaeda di Suriah yang telah memutus hubungan dengan jaringan tersebut dan sebelumnya juga terlibat bentrokan dengan ISIS.
Pemerintah Suriah saat ini diketahui menjalin kerja sama dengan koalisi internasional pimpinan Amerika Serikat dalam upaya memerangi ISIS. Kerja sama tersebut dipertegas melalui kesepakatan yang dicapai bulan lalu, bertepatan dengan kunjungan Presiden Suriah Ahmed al-Sharaa ke Gedung Putih.
(luc/luc)
[Gambas:Video CNBC]

3 hours ago
3















































