Krisis Bayi! Status Raksasa Ekonomi Jepang Kini Terancam

2 weeks ago 10

Jakarta, CNBC Indonesia - Jepang semakin terbebani dengan persoalan demografi. Jumlah kelahiran di Negeri Sakura hanya mencapai 720.988 bayi pada 2024, turun 5% dari tahun sebelumnya. Angka ini menjadi yang terendah sejak pencatatan dimulai pada era Meiji tahun 1899.

Sementara itu, jumlah kematian mencapai lebih dari 1,61 juta, menyebabkan penurunan populasi hampir 900.000 orang. Tren ini mengancam stabilitas ekonomi Jepang yang sudah bergulat dengan penuaan penduduk dan stagnasi pertumbuhan ekonomi.

Penurunan angka kelahiran di Jepang telah berlangsung selama sembilan tahun berturut-turut, menunjukkan bahwa berbagai kebijakan pro-natalitas yang diterapkan pemerintah belum membuahkan hasil. 

Biaya hidup yang tinggi membuat banyak pasangan enggan memiliki anak lebih dari satu, bahkan memilih untuk tidak menikah. Tingginya harga properti dan biaya membesarkan anak menjadi hambatan utama dalam pertumbuhan populasi. Selain itu, budaya kerja Jepang yang menuntut jam kerja panjang membuat keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan sulit dijaga, mengurangi insentif untuk berkeluarga.

Di sisi lain, perubahan nilai sosial turut berkontribusi terhadap rendahnya angka kelahiran. Generasi muda Jepang semakin menunda pernikahan dan memiliki anak, dengan banyak yang memilih fokus pada karier atau gaya hidup independen. Kurangnya dukungan bagi keluarga juga menjadi faktor penting.

Meskipun pemerintah telah menawarkan insentif seperti subsidi anak dan fasilitas penitipan, kebijakan ini masih belum cukup untuk mengatasi beban ekonomi dan sosial yang dihadapi keluarga muda.

Pandemi Covid-19 juga memperburuk keadaan dengan menurunnya angka pernikahan secara signifikan sejak 2020.

People walk in a field of fireweed, or Kochia scoparia, at the Hitachi Seaside Park in Hitachinaka, Japan, October 22, 2018. Fireweed is a grass bush that takes on a bright red colour in autumn. REUTERS/Toru Hanai     TPX IMAGES OF THE DAYFoto: Rumput Kochia (REUTERS/Toru Hanai)
People walk in a field of fireweed, or Kochia scoparia, at the Hitachi Seaside Park in Hitachinaka, Japan, October 22, 2018. Fireweed is a grass bush that takes on a bright red colour in autumn. REUTERS/Toru Hanai TPX IMAGES OF THE DAY

Meskipun jumlah pernikahan meningkat tipis 2,2% menjadi 499.999 pada 2024, pemulihan ini belum cukup untuk mengimbangi penurunan besar di tahun-tahun sebelumnya. Berbeda dengan negara-negara Barat, di mana kelahiran di luar nikah umum terjadi, hanya sedikit bayi yang lahir dari pasangan yang belum menikah di Jepang. Ini memperkuat hubungan erat antara angka pernikahan dan kelahiran di negara tersebut.

Data dari Badan Statistik Jepang, populasi Jepang per Februari 2025 ada di angka 123,54 juta. Jumlah tersebut turun sebesar 2,3 juta dalam lima tahun terakhir. Demografi penduduk Jepang juga menunjukkan penduduk mereka didominasi usia 50-54 tahun atau menjelang masa pensiun.

Krisis populasi ini bukan hanya persoalan domestik Jepang. Sebagai negara dengan ekonomi terbesar ketiga di dunia, penurunan populasi akan berdampak luas. Dengan jumlah lansia yang terus meningkat, beban fiskal pemerintah semakin berat. Rasio pekerja terhadap pensiunan terus menyusut, yang menekan anggaran sosial serta sistem kesehatan dan pensiun nasional.

Dari sisi konsumsi domestik, semakin sedikitnya generasi muda menyebabkan belanja konsumen menurun, yang pada akhirnya menghambat pertumbuhan ekonomi. Dampak lebih lanjut juga terlihat pada sektor manufaktur dan rantai pasok global. Jepang merupakan pemain utama dalam industri otomotif, elektronik, dan teknologi. Dengan berkurangnya tenaga kerja produktif, kapasitas manufaktur dapat menurun, yang berimbas pada rantai pasok global dan mitra dagangnya.

Bagi Indonesia, dampaknya bisa cukup signifikan. Jepang adalah salah satu investor terbesar di Tanah Air, terutama dalam sektor manufaktur dan infrastruktur. Jika pertumbuhan ekonomi Jepang melambat, aliran investasi dan perdagangan dengan Indonesia juga berisiko mengalami penurunan.

Pemerintah Jepang telah menerapkan berbagai kebijakan untuk membalikkan tren ini. Beberapa di antaranya adalah insentif finansial berupa bantuan tunai bagi keluarga dengan anak, peningkatan cuti melahirkan, dan subsidi pendidikan. Selain itu, kebijakan kerja fleksibel mulai diuji coba di beberapa wilayah, seperti sistem kerja empat hari dalam seminggu, dengan harapan meningkatkan work-life balance.

Dukungan bagi perempuan bekerja juga terus didorong, misalnya dengan meningkatkan akses ke penitipan anak serta memperbaiki kondisi kerja bagi ibu yang bekerja. Sementara itu, meskipun Jepang dikenal ketat dalam kebijakan imigrasi, ada upaya untuk membuka jalur bagi pekerja asing di sektor-sektor yang kekurangan tenaga kerja.

Namun, banyak ahli menilai langkah-langkah ini masih belum cukup agresif untuk membalikkan tren penurunan populasi. Jepang perlu perubahan struktural yang lebih besar dalam kebijakan keluarga, budaya kerja, serta keterbukaan terhadap tenaga kerja asing jika ingin mengatasi krisis ini.

Jika tren ini terus berlanjut, Jepang bisa mengalami penurunan populasi drastis dalam beberapa dekade ke depan, dengan segala implikasi ekonominya. Ketidakpastian ini juga menjadi perhatian global, terutama bagi negara-negara yang menjadikan Jepang sebagai mitra dagang utama, termasuk Indonesia.

CNBC Indonesia Research

(emb/emb)

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |