Konsesi Boleh, Tapi Keadilan dan Kemanusiaan Harus Ditegakkan

12 hours ago 5

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

"Kemerdekaan hanyalah syarat untuk bisa berdiri di atas kaki sendiri," ujar Mohammad Hatta, proklamator kemerdekaan Republik Indonesia.

Kata-kata di atas mengingatkan kita bahwa sebuah bangsa belum selesai hanya dengan merdeka secara politik. Kedaulatan sejati baru terwujud ketika rakyat dapat mengelola, mengembangkan, dan mengambil manfaat dari kekayaan alam dan pengetahuan di tanahnya sendiri.

Dalam dunia energi dan sumber daya hari ini, pertanyaan besarnya bukan sekadar siapa yang menambang atau membangun, tapi: apakah rakyat menjadi bagian dari proses itu? Apakah ilmu ditransfer, teknologi dibuka, dan anak bangsa dididik?

Ketika publik mendengar kabar bahwa sebuah negara menyerahkan pengelolaan aset seperti tambang, pelabuhan, atau jaringan listrik kepada entitas asing, reaksi emosional kerap muncul. Banyak yang menyebutnya sebagai tanda kehilangan kedaulatan atau bahkan kebangkrutan negara.

Namun, sesungguhnya konsesi bukanlah bentuk kekalahan. Dalam dunia kebijakan publik modern, konsesi dapat menjadi bagian dari strategi pembangunan nasional, asalkan didesain dengan prinsip keadilan dan nilai kemanusiaan.

Prinsip-prinsip ini telah lama tertanam dalam Pancasila, terutama sila kelima tentang keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan sila kedua yang menjunjung tinggi kemanusiaan yang adil dan beradab.

Kedaulatan energi yang ideal tidak lagi hanya diukur dari kepemilikan fisik aset, melainkan dari seberapa besar rakyat mampu mengakses manfaatnya.

Sebuah tambang tidak perlu sepenuhnya dikuasai negara untuk dapat menjadi alat pembangun bangsa, jika kontraknya mencakup transfer teknologi, peningkatan kapasitas sumber daya manusia, keterlibatan akademisi dan pelaku industri lokal, serta jaminan keterbukaan informasi yang bisa diaudit publik. Di sinilah pentingnya keadilan pengetahuan: hak rakyat untuk tahu, untuk terlibat, dan untuk maju bersama.

Negara-negara seperti Jepang dan China tidak menunggu sempurna untuk membangun infrastruktur besar. Mereka membangunnya sambil belajar. Justru di tengah keterbatasan, keberanian untuk menuntut ilmu dan menguasai teknologi menjadi kekuatan utama mereka.

Sudah saatnya Indonesia mengambil pelajaran serupa: bahwa kunci dari kedaulatan bukan sekadar menjaga aset tetap dalam negeri, melainkan memastikan bahwa setiap proyek yang dibangun melibatkan peningkatan kecerdasan nasional.

Bangkrut bukan hanya berarti gagal membayar utang. Bangkrut adalah ketika kita berhenti belajar, berhenti menuntut alih ilmu, dan hanya puas menjadi operator di tanah sendiri.

Kita baru benar-benar merdeka jika kita mampu berdiri di atas kekayaan alam kita, dengan kendali atas pengetahuan yang menopang pengelolaannya. Dalam dunia yang semakin terbuka dan kompetitif, investasi asing memang tak terelakkan.

Namun, nilai yang harus ditegakkan tetap sama: keadilan bagi seluruh rakyat. Konsesi boleh terjadi, tetapi masa depan bangsa tidak boleh dijual. Sebuah kontrak energi atau tambang bukan sekadar dokumen ekonomi, melainkan perjanjian moral antara negara, rakyat, dan masa depan.

Pancasila tidak cukup dijaga dalam pidato atau seremoni. Ia harus hadir dalam setiap keputusan strategis yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Dalam kebijakan energi, Pancasila harus menjadi kompas, agar keadilan dan kemanusiaan tidak tergelincir di bawah ambisi jangka pendek.

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |