Mataram, NTB – Konflik investasi di kawasan Perairan Segui, Desa Sekaroh, Kabupaten Lombok Timur, kembali memanas. Komisaris PT. Eco Solutions Lombok (ESL), I Gusti Putu Ekadana, mendesak pemerintah daerah segera mencabut izin operasi budidaya mutiara milik PT. Autore Pearl Culture. Ia menilai keberadaan perusahaan asal Australia itu telah melanggar Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang telah ditetapkan.
“Kami mendesak pemerintah daerah untuk mencabut izin PT. Autore karena ada pelanggaran tata ruang di sini. Jika dibiarkan, berarti pemerintah daerah membiarkan pelanggaran RTRW terus terjadi, ” ujar Ekadana dalam konferensi pers di Mataram, Sabtu (01/02/2025).
Menurut Ekadana, PT. Autore Pearl Culture telah menduduki wilayah daratan dan perairan di Segui secara ilegal selama 14 tahun. Sejak 2013 hingga 2023, perusahaan tersebut disebut-sebut menempati lahan usaha pemanfaatan jasa lingkungan (IUPJL) yang menjadi hak PT. ESL, yang telah memperoleh izin resmi untuk pengembangan wisata bahari di kawasan tersebut.
Ekadana mengungkapkan bahwa PT. ESL sejak awal mendapatkan dukungan dari Pemerintah Swedia untuk melestarikan kawasan Hutan Abadi Sekaroh dan mengembangkan ekowisata berbasis lingkungan. Pada tahun 2010, PT. ESL diundang oleh Pemkab Lombok Timur untuk berinvestasi di sektor pariwisata dengan mengusung prinsip keberlanjutan.
“Pola yang diizinkan dalam IUPJL adalah 90 persen untuk pemulihan hutan dan 10 persen untuk pariwisata. PT. ESL satu-satunya investor yang mendapatkan dukungan tersebut. Bahkan, Duta Besar Swedia ikut serta dalam upaya pelestarian hutan Sekaroh ini, ” jelasnya.
Namun, setelah pergantian kepemimpinan di daerah, kebijakan berubah. Dinas Perizinan Lombok Timur disebut tidak melayani kelanjutan izin PT. ESL, sementara izin justru diberikan kepada PT. Autore Pearl Culture.
“Kami protes ketika Autore diberikan izin di atas lahan PT. Mitra Nusra. Kok bisa hutan tiba-tiba berubah jadi lahan jagung? Kok izin investasi pariwisata bisa berubah begitu saja? Malu kita di mata dunia, ” tegas Ekadana.
PT. ESL mengklaim telah mengantongi izin pemanfaatan kawasan hutan dan perairan Tanjung Ringgit, termasuk Perairan Segui, sejak 2011. Namun, PT. Autore Pearl Culture disebut tidak hanya mengekspansi wilayah laut, tetapi juga menduduki daratan yang sudah bersertifikat HGB milik PT. ESL.
“Atas dasar itu, kami mengajukan surat peringatan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) agar PT. Autore meninggalkan area IUPJL PT. ESL. Pada 2017, Gubernur NTB juga menginstruksikan agar PT. Autore dikeluarkan dari kawasan tersebut, ” jelas Ekadana.
Meski sempat keluar pada November 2022, PT. Autore kembali menduduki kawasan itu pada 2023, hingga akhirnya digusur paksa oleh PT. ESL pada Juni 2023. Namun, tidak ada sanksi tegas bagi PT. Autore atas pelanggaran tersebut.
“PT. Autore justru kembali membangun basecamp akuakultur lengkap dengan kantin, sumur, akomodasi, area produksi, hingga dermaga di area IUPJL PT. ESL. Padahal, Dinas Kelautan dan Perikanan NTB sudah tiga kali mengeluarkan teguran karena mereka melanggar tata ruang, ” ungkapnya.
PT. ESL berencana mengembangkan International Village, sebuah kawasan ekowisata yang melibatkan investor dari berbagai negara yang peduli lingkungan. Proyek ini mencakup pembangunan 3.000 kamar hotel, dermaga, serta infrastruktur pendukung pariwisata berbasis keberlanjutan.
Namun, Direktur Utama PT. ESL, Jhon Higson, menilai bahwa pengembangan destinasi wisata tidak bisa berjalan berdampingan dengan budidaya mutiara.
“Masterplan sudah jadi. Tapi PT. Autore justru merusak terumbu karang dan ekosistem laut dengan budidaya mutiara yang tidak sesuai aturan, ” tegas Higson.
Di sisi lain, PT. Autore Pearl Culture tetap bertahan. Presiden Direktur PT. Autore, Francesco Bruno, bersikeras bahwa Blok D di Perairan Segui adalah hak mereka berdasarkan izin yang dimiliki.
“Ini bukan sekadar persaingan bisnis. Jika Blok D hilang, kami harus angkat kaki. Kami sudah 27 tahun di Indonesia, dan kami akan mempertahankan Blok D sesuai aturan yang berlaku, ” ujar Bruno.
Kuasa hukum PT. Autore, Donal Fariz, juga menegaskan bahwa budidaya mutiara justru mendukung kelestarian lingkungan.
“Budidaya mutiara sangat bergantung pada kebersihan ekosistem laut. Tidak mungkin kami menghasilkan mutiara berkualitas tinggi jika lingkungan tercemar, ” katanya.
Selain itu, PT. Autore Pearl Culture mengklaim telah memberikan dampak ekonomi bagi masyarakat lokal dengan mempekerjakan lebih dari 450 tenaga kerja tetap, mayoritas dari wilayah sekitar.
Kasus sengketa lahan antara PT. ESL dan PT. Autore Pearl Culture kini berada di tangan pemerintah daerah dan pihak terkait. Dengan adanya berbagai klaim dan bukti yang saling bertentangan, keputusan pemerintah akan menjadi penentu masa depan kawasan Segui.
Akankah izin PT. Autore benar-benar dicabut, atau justru konflik ini akan terus berlanjut tanpa penyelesaian? Semua mata kini tertuju pada langkah yang akan diambil Pemkab Lombok Timur dan Pemerintah Provinsi NTB dalam menuntaskan permasalahan ini. (Adb)