Kena Tarif 125% dari Trump, Bagaimana Nasib Ekonomi China?

1 week ago 11
Daftar Isi

Jakarta, CNBC Indonesia - Tensi dagang antara China dan Amerika Serikat (AS) terus memanas. Hal ini disebabkan aksi saling serang dengan tarif antara keduanya, yang dikhawatirkan akan menganggu perdagangan dunia.

Presiden AS Donald Trump pada Rabu (9/4/2025) mengumumkan tarif resiprokal hingga 125% untuk barang-barang asal Negeri Tirai Bambu. Hal ini dilakukan karena barang AS telah dikenakan tarif hingga 84% oleh Beijing.

Trump sendiri telah lama menuduh negara lain, terutama China, mengeksploitasi AS dalam perdagangan. Ia menganggap agenda proteksionisnya diperlukan untuk menghidupkan kembali manufaktur dalam negeri dan menopang kembali lapangan kerja Amerika.

Sejarah Perang Tarif AS-China

Pada 3 Februari, Trump mengenakan tarif tambahan sebesar 10% pada semua barang dari China. Kemudian, pada tanggal 5 Maret, Trump menggandakan tarif impor China menjadi 20%. Pada tanggal 2 April, ia menaikkannya lagi sebesar 34%, sehingga totalnya menjadi 54%.

Jumat lalu, pada tanggal 4 April, China mengumumkan tarif timbal balik sebesar 34% atas impor AS.

Trump kemudian kembali menaikkan suhu dengan mengancam akan mengenakan tarif lebih tinggi kecuali Beijing menarik kembali pungutannya atas barang-barang AS.

"Jika China tidak menarik kembali kenaikan tarif sebesar 34% di atas pelanggaran perdagangan jangka panjang mereka paling lambat besok, tanggal 8 April 2025, AS akan mengenakan Tarif TAMBAHAN sebesar 50% kepada China, yang akan berlaku mulai tanggal 9 April," kata Trump di platform Truth Social miliknya pada hari Senin. Dengan tarif tambahan tersebut, tarif pungutan atas impor China melonjak menjadi 10%.

Seiring berjalannya waktu, Trump tetap yakin bahwa Beijing akan menyerah. "China juga sangat ingin membuat kesepakatan, tetapi mereka tidak tahu bagaimana memulainya," tulis presiden AS dalam sebuah unggahan di media sosial. "Kami menunggu panggilan mereka. Itu akan terjadi!"

Namun itu tidak terjadi. Sebaliknya, Beijing menaikkan tarifnya atas barang-barang AS menjadi 84% pada hari Rabu. Beberapa jam kemudian, Trump membalas lagi, menaikkan tarif atas China lebih jauh lagi, sekarang menjadi 125%.

Tanggapan China

Saat mengumumkan putaran tarif terbarunya terhadap ekspor AS pada tanggal 9 April, Kementerian Perdagangan China mengatakan bahwa Beijing "memiliki tekad kuat dan sarana yang melimpah untuk mengambil tindakan balasan yang diperlukan dan berjuang sampai akhir".

"Sejarah dan fakta telah membuktikan bahwa kenaikan tarif Amerika Serikat tidak akan menyelesaikan masalahnya sendiri," kata pernyataan kebijakan tersebut.

"Sebaliknya, hal itu akan memicu fluktuasi tajam di pasar keuangan, meningkatkan tekanan inflasi AS, melemahkan basis industri AS, dan meningkatkan risiko resesi ekonomi AS, yang pada akhirnya hanya akan menjadi bumerang bagi dirinya sendiri."

Dalam sebuah pernyataan pada hari sebelumnya, pada tanggal 8 April, Kementerian Perdagangan China juga membuat pendekatan agresif, dengan mengatakan tindakan Washington "sama sekali tidak berdasar" dan merupakan bentuk "intimidasi" ekonomi.

Beijing membela tarif timbal baliknya dan mengatakan bahwa tarif tersebut ditujukan untuk menjaga "kedaulatan, keamanan, dan kepentingan pembangunan" China , serta menjaga pasar perdagangan internasional yang seimbang.

Di tempat lain, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Lin Jian mengatakan "Kami orang China bukanlah pembuat onar, tetapi kami tidak akan gentar ketika masalah menghampiri kami."

Dampak Tarif pada Ekonomi China

Meskipun ketegangan antara AS dan China meningkat, Washington dan Beijing tetap menjadi mitra dagang utama. Menurut Kantor Perwakilan Dagang AS, Amerika mengimpor barang-barang China senilai US$ 438,9 miliar (Rp 7.396 triliun) tahun lalu.

Jumlah tersebut setara dengan sekitar 3% dari total produk domestik bruto (PDB) China, yang sangat bergantung pada ekspor. Dalam sebuah laporan yang dibagikan kepada klien pada hari Selasa, Goldman Sachs mengatakan pihaknya memperkirakan tarif terbaru Trump akan menyeret turun PDB China hingga 2,4%.

Analis di UBS bahkan lebih pesimis: Mereka mengatakan kenaikan tarif Trump dapat mengurangi tingkat pertumbuhan ekonomi China menjadi hanya 4% pada tahun 2025. Itu pun dengan asumsi pemerintah terlibat dalam "ekspansi fiskal yang luas", yaitu investasi publik tambahan.

Langkah China Selanjutnya

Profesor ekonomi di Universitas Massachusetts Amherst, Jayanti Ghosh, Beijing mungkin akan fokus pada stimulus domestik dan meningkatkan hubungan dengan mitra dagangnya untuk mencapai target pertumbuhan sekitar 5%.

"Saya mengharapkan penurunan lebih lanjut pada suku bunga China yang (sudah) rendah bersamaan dengan lebih banyak pinjaman oleh pemerintah daerah dan bantuan untuk pekerja ekspor yang terkena dampak," katanya kepada Al Jazeera.

Ghosh menyarankan bahwa China akan "diam-diam" meningkatkan ekspor ke mitra dagang, khususnya di negara-nefara Selatan, melalui langkah-langkah seperti "pinjaman dan keringanan utang". Ia juga mengatakan bank sentral China mungkin membiarkan yuan terdepresiasi, sehingga menurunkan harga ekspor dan mengimbangi sebagian kerugian dari tarif.

Pada tanggal 3 April, lembaga pemeringkat Fitch menurunkan peringkat kredit China dengan alasan utang pemerintah yang meningkat pesat dan risiko terhadap keuangan publik, karena para pembuat kebijakan bersiap untuk melindungi ekonomi dari kenaikan tarif. Namun, bagi Ghosh, potensi keruntuhan ekonomi bisa lebih berbahaya di AS. 

"Saya jauh lebih khawatir tentang ekonomi AS," katanya.


(tps)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Pantang Mundur! China Tak Gentar Lawan Ancaman Tarif Trump

Next Article Dunia Makin Kacau, China Respons Perang Dagang Jilid II Trump

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |