Jakarta, CNBC Indonesia- Di tengah peringatan Hari Kartini yang jatuh hari ini, realita perempuan Indonesia masih jauh dari kata merdeka. Di balik simbol kebaya dan bunga, jutaan perempuan justru berjuang dalam senyap sebagai tulang punggung keluarga, bahkan dengan bekal pendidikan yang minim. Semangat emansipasi yang diwariskan Kartini belum sepenuhnya menyentuh struktur ekonomi dan sosial yang masih timpang.
Lebih dari 1 dari 10 pekerja di Indonesia adalah female breadwinners atau menjadi tulang punggung ekonomi keluarga. Dalam lanskap gender yang masih diwarnai norma tradisional, fakta banyaknya female breadwinners menjadi indikasi besarnya peran perempuan dalam struktur ekonomi masyarakat.
Dari sisi usia, kelompok lansia menyumbang angka sangat besar. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa 17,91% female breadwinners berusia 60 tahun ke atas, angka tertinggi dari seluruh kelompok umur. Sebagai catatan, populasi perempuan di Indonesia mencapai 137,91 juta dimana 105 juta berusia 15 tahun ke atas.
Ini bisa jadi gambaran kerasnya realita, bahwa banyak perempuan tetap bekerja di usia senja karena ketiadaan pasangan produktif, minimnya pensiun, atau kebutuhan dasar yang terus menekan.
Di sisi lain, kelompok usia produktif 35-59 tahun menyumbang porsi besar, menandakan titik beban ganda sedang berada di puncaknya antara urusan dapur dan deadline kantor.
Namun, paradoks muncul saat kita menilik pendidikan. Sebanyak 55,84% female breadwinners hanya menamatkan pendidikan dasar.
Bukannya perempuan berpendidikan tinggi tidak mampu berkontribusi, tapi kemungkinan besar, pasangan mereka memiliki pendapatan lebih tinggi membuat mereka tak menjadi pencari nafkah utama. Ini memperkuat argumen bahwa ketimpangan peran ekonomi dalam rumah tangga bukan hanya soal kemampuan, tetapi juga tentang pasangan.
Posisi mereka dalam keluarga juga menarik. Sekitar 40,77% female breadwinners adalah istri, bukan kepala rumah tangga.
Artinya, dalam banyak keluarga, peran pencari nafkah utama justru bukan berasal dari kepala keluarga secara administratif, melainkan dari peran "pendamping" yang secara ekonomi justru lebih dominan.
Sementara 39,82% lainnya berstatus kepala rumah tangga, menggambarkan situasi di mana perempuan benar-benar memikul beban penuh, baik secara struktural maupun finansial.
Status perkawinan turut membentuk dinamika ini. Meski mayoritas female breadwinners (51,36%) berstatus kawin, terdapat 17,46% yang belum menikah, 8,89% cerai hidup, dan 22,29% cerai mati.
Bagi kelompok terakhir, menjadi tulang punggung bukanlah pilihan, melainkan kebutuhan. Mereka bekerja bukan sekadar mengejar penghasilan, tapi memastikan roda keluarga tetap berputar.
Fenomena ini menunjukkan bahwa peran ekonomi perempuan tak lagi bisa dibatasi oleh status, usia, atau gelar. Mereka bukan hanya penopang kedua, tetapi kadang menjadi satu-satunya pondasi. Dengan segala tantangan mulai dari ketimpangan upah, beban ganda, hingga minimnya perlindungan sosial, female breadwinners sesungguhnya adalah potret ketahanan yang layak dihargai
CNBC Indonesia Research
(emb/emb)