Emanuella Bungasmara Ega Tirta, CNBC Indonesia
14 December 2025 14:22
Jakarta, CNBC Indonesia - Kemampuan bahasa Inggris Jepang mengalami kemerosotan paling tajam dalam lebih dari satu dekade terakhir. Negara yang selama ini dikenal sebagai raksasa ekonomi dan pusat inovasi teknologi itu masuk dalam kategori kemampuan bahasa Inggris "sangat rendah" secara global.
Fenomena yang bisa menjadi sinyal struktural berpotensi memengaruhi daya saing Jepang di tengah ekonomi dunia yang makin terhubung. Menurut laporan terbaru EF Education First (EF EPI), Jepang berada di peringkat ke-96 dari 123 negara.
Posisi ini menempatkan Jepang di bawah sejumlah negara berkembang seperti Vietnam, Laos, hingga Bhutan. Capaian tersebut menjadi yang terburuk sepanjang sejarah partisipasi Jepang dalam pemeringkatan EF EPI, mengonfirmasi tren penurunan yang konsisten selama lebih dari satu dekade
Jika ditarik ke belakang, kontrasnya terlihat tajam. Pada 2011, Jepang masih berada di peringkat 14 dunia. Namun setelah itu, peringkatnya terus melorot hampir setiap tahun. Bahkan ketika sempat tertahan pada posisi ke-26 pada 2014, penurunan kembali berlanjut hingga mencapai titik nadir pada 2025. Ini menandakan persoalan yang bersifat sistemik, bukan sekadar fluktuasi sesaat.
EF mencatat, kelemahan utama pelajar Jepang terletak pada kemampuan berbicara dan menulis. Sebaliknya, kemampuan membaca dan mendengar relatif lebih baik. Pola ini mencerminkan sistem pembelajaran yang masih menekankan hafalan dan pemahaman pasif, bukan penggunaan bahasa secara aktif.
Foto: REUTERS/Issei Kato
Orang-orang mengunjungi hari pertama Expo 2025 yang dibuka untuk umum, di Osaka, Jepang bagian barat, 13 April 2025. REUTERS/Issei Kato
Dengan kata lain, banyak pelajar "mengerti" bahasa Inggris, tetapi tidak percaya diri untuk menggunakannya dalam komunikasi nyata. Masalah ini diperparah oleh kesenjangan wilayah. Di pusat-pusat kota besar, paparan bahasa Inggris relatif lebih tinggi karena aktivitas bisnis global dan pariwisata.
Namun di wilayah rural, populasi yang lebih tua dan minim interaksi internasional membuat penggunaan bahasa Inggris nyaris tidak relevan dalam kehidupan sehari-hari. Ketimpangan ini memperlambat peningkatan kemampuan secara nasional.
Faktor lain yang turut berperan adalah perubahan perilaku belajar. Sejumlah pendidik di Jepang menilai kemajuan teknologi justru menurunkan urgensi belajar bahasa asing. Aplikasi penerjemah instan dan perangkat berbasis kecerdasan buatan membuat banyak orang merasa tidak lagi perlu menguasai bahasa Inggris secara aktif.
Ketergantungan pada teknologi ini menciptakan ilusi kemudahan, tetapi melemahkan kompetensi jangka panjang.
Dari perspektif ekonomi, penurunan kemampuan bahasa Inggris bukan isu sepele. Bahasa adalah infrastruktur lunak bagi perdagangan, investasi, dan diplomasi. Ketika kemampuan komunikasi global melemah, biaya transaksi meningkat, kolaborasi internasional menjadi lebih terbatas, dan daya tarik tenaga kerja Jepang di pasar global berisiko menurun.
Di tengah upaya Jepang menarik investasi asing dan tenaga kerja internasional untuk mengatasi krisis demografi, ironi ini semakin kentara. Keterbatasan bahasa bisa menjadi hambatan kultural sekaligus ekonomi.
CNBC Indonesia Research
(emb/wur)

7 hours ago
5

















































