Jalan Terjal Rencana Akuisisi F-15EX di Era Perang Dagang

9 hours ago 1

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Perang dagang yang ditabuh oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump telah membuat banyak pihak melakukan perhitungan ulang dampak perang tersebut terhadap ekonomi, keuangan dan industri global. Para aktor negara kini sibuk melakukan kalkulasi dampak perang dagang terhadap pertumbuhan ekonomi masing-masing negara tahun ini, begitu pula dengan para pelaku usaha melaksanakan perhitungan ulang terhadap kelangsungan bisnis mereka.

Dengan tarif universal, tarif resiprokal dan tarif sektoral yang dijatuhkan secara sepihak oleh Amerika Serikat, setiap negara menghadapi tantangan yang berbeda yang tergantung dari karakter industri apa yang terkena dampak. Sebagian negara yang terkena dampak tarif bertumpu pada industri padat karya, sementara negara-negara lain mendapatkan industri padat modal mereka yang terkena.

Di antara industri yang terkena tarif universal, tarif resiprokal dan tarif sektoral ialah industri dirgantara dan pertahanan, suatu industri yang mengadopsi rantai pasok global. Sampai saat ini firma-firma besar seperti Boeing, Airbus, Lockheed Martin, Northrop Grumman, GE Aerospace, Honeywell dan Pratt & Whitney masih menunggu bagaimana implementasi kebijakan tarif universal, tarif resiprokal dan tarif sektoral terhadap bisnis mereka.

Sebagaimana diketahui, Presiden Trump telah lebih dahulu menjatuhkan tarif sektoral sebesar 25 persen untuk baja dan aluminium yang diimpor oleh Amerika Serikat. Beberapa negara seperti Kanada dan Uni Eropa sudah dan atau akan segera melakukan tindakan balasan atas tarif sektoral 25 persen bagi baja dan aluminium yang diterapkan oleh Amerika Serikat.

Boeing dipastikan akan terkena dampak yang lebih besar dari perang dagang dibandingkan dengan Airbus sebab Presiden Trump tidak mengecualikan sektor dirgantara. Airbus hanya akan terkena tarif sektoral untuk kegiatan produksi di Final Assembly Line (FAL) Mobile, Alabama, sementara Boeing yang berbasis di Amerika Serikat mempunyai jaringan pemasok parts, komponen dan engines dari luar negeri.

Sebagai ilustrasi, Boeing B737 MAX mengadopsi engine LEAP 1B buatan CFM International yang merupakan joint venture Safran Aircraft Engines dan GE Aerospace, di mana fan dan low pressure turbine diproduksi oleh Safran. Bila fan dan low pressure turbine tersebut dikenakan tarif sektoral oleh Amerika Serikat, apakah Boeing masih akan menjual B737 MAX kepada konsumen dengan harga lama?

CFM International merupakan salah satu cerita sukses kemitraan industri dirgantara dan pertahanan global yang telah berlangsung sejak 1970-an. Kemitraan industri terus berkembang di dunia sejak era tersebut hingga saat ini yang antara lain didorong globalisasi ekonomi dunia sehingga ketergantungan antar negara semakin kuat.

Bentuk kemitraan bukan semata joint venture yang bersifat tetap dan bersifat jangka panjang, namun juga kemitraan longgar yang berjangka pendek. Kemitraan longgar dapat mengambil bentuk konsorsium atau bentuk lainnya dengan fokus pada produk tertentu saja.

Kebijakan unilateral menyangkut tarif yang diterapkan oleh Presiden Trump merusak kemitraan ekonomi dan politik global yang secara ironis diinisiasi oleh Amerika Serikat sejak tahun 1970-an. Amerika Serikat selama ini telah diuntungkan dengan kemitraan industri dirgantara dan pertahanan, termasuk pada produksi pesawat tempur.

Program F-35 tidak akan sukses tanpa partisipasi BAE Systems seperti mitra utama Lockheed Martin, di samping suplai dana, parts dan komponen oleh sejumlah negara yang berpartisipasi dalam program jet tempur generasi kelima tersebut. Langkah Presiden Trump yang menjatuhkan tarif universal, tarif resiprokal dan tarif sektoral tanpa pandang bulu kepada semua negara menggerus kepercayaan para sekutu dan mitra bahwa Amerika Serikat adalah pihak yang dapat diandalkan.

Saat ini banyak ketidakpastian terkait kemitraan industri dirgantara dan pertahanan sebagai akibat perang dagang yang dipicu oleh Presiden Trump. Misalnya apakah Amerika Serikat akan mengenakan pajak pada seluruh nilai pesawat, engine dan komponen yang diimpor ataukah hanya pada kandungan luar negeri saja?

Apakah Uni Eropa akan mengumumkan tarif resiprokal yang mencakup terkait dengan produk dirgantara sebagai balasan terhadap Amerika Serikat? Satu hal yang pasti, terdapat maskapai penerbangan niaga Amerika Serikat yang akan menunda penerimaan pesawat buatan Airbus bila terdapat pengenaan tarif pada pesawat tersebut.

Terkait dengan perang dagang, tidak ada kemitraan industri dirgantara dan pertahanan yang signifikan antara Indonesia dan Amerika Serikat karena kemitraan yang terjalin selalu bersifat sementara dan berjangka pendek.

Akan tetapi Indonesia yang mencoba berunding dengan Amerika Serikat agar memberikan rabat terhadap tarif resiprokal 32 persen hendaknya mempertimbangkan pula aspek perniagaan di bidang dirgantara dan pertahanan sebagai salah satu komoditas untuk memperkecil defisit dagang.

Jika pemerintah hendak mengimpor komoditas dengan nilai besar dalam satu kali kontrak, maka akuisisi jet tempur F-15EX beserta logistik pendukung dari Amerika Serikat ialah salah satu cara tercepat. Apalagi pada tahun 2023, Prabowo Subianto yang di masa itu menjabat sebagai Menteri Pertahanan sudah menunjukkan komitmen kuat guna melakukan pengadaan 24 pesawat tempur buatan Boeing itu.

Namun rencana pembelian penempur generasi 4.5 tersebut tidak mudah mengingat bahwa Indonesia saat ini juga mempunyai ambisi yang bisa menggagalkan akuisisi F-15EX yakni mengimpor Su-35 buatan Rusia dan J-10C dari Cina. Lalu apakah benar Indonesia masih memberikan prioritas utama untuk mendatangkan F-15EX dibandingkan Su-35 dan J-10C?

Salah satu keunggulan Rusia dan Cina atas Amerika Serikat dalam perdagangan pertahanan ialah kedua negara tidak tidak menerapkan compliance ketat, di mana isu compliance ketat kurang disenangi oleh Indonesia. Selain itu, jika Amerika Serikat tidak suka dengan rencana Indonesia mengakuisisi Su-35 dan J-10C, apakah Washington akan berbalik arah dari awalnya menyetujui ekspor F-15EX ke Jakarta menjadi menolak melepas jet tempur tersebut?

Pada sisi lain, kondisi fiskal Indonesia saat ini penuh dengan tantangan yang akan mempengaruhi kapasitas belanja senjata pemerintah hingga 2029. Apakah pemerintah memiliki ruang fiskal untuk berbelanja F-15EX, Su-35 dan J-10C sekaligus? Kementerian Pertahanan tidak mungkin menandatangani Letter of Offer and Acceptance (LOA) F-15EX tanpa ketersediaan anggaran, mengingat Indonesia memiliki kewajiban membayar uang muka 30 hari kalender setelah LOA diteken.

Untuk tahun ini saja, terdapat sekitar 10 kontrak era MEF 2020-2024 yang belum mempunyai DIPA dari Kementerian Keuangan terkait dengan alokasi dana Rupiah Murni Pendamping agar dapat segera diaktivasi.

Sementara F-15EX masih menunggu kepastian program tersebut tercantum dalam Blue Book 2025-2029, program Su-35 dan J-10C konon sudah mempunyai kontrak walaupun eksistensi kedua program sebagai kegiatan yang didanai oleh Rupiah Murni maupun Pinjaman Luar Negeri (PLN) masih menjadi pertanyaan besar.

Apakah pemerintah berprinsip pada adagium "tandatangan kontrak dahulu, urusan fiskal belakangan?" untuk jet tempur produksi Rusia dan Cina? Mengacu pada aturan yang berlaku, pejabat pemerintah dilarang menandatangani kontrak untuk kegiatan yang pembiayaannya belum tercantum dalam program kerja pemerintah.


(miq/miq)

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |