Ini Peran 7 Tersangka Kasus Tata Kelola Minyak Mentah

2 weeks ago 9

Jakarta, CNBC Indonesia - Kejaksaan Agung (Kejagung) baru saja menetapkan tujuh orang sebagai tersangka dalam kasus tindak pidana korupsi terkait tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina (Persero), Sub Holding, serta Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) pada periode 2018-2023.

Penetapan tersangka ini dilakukan setelah penyidik dan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung melakukan pemeriksaan terhadap sedikitnya 96 saksi dan dua orang ahli.

Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar meperinci ketujuh orang tersangka tersebut. Tiga berasal dari pihak swasta, yakni MKAR selaku Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa, DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan Komisaris PT Jenggala Maritim, GRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.

Sementara itu, empat orang merupakan pegawai Pertamina. Masing-masing RS selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, SDS selaku Direktur Optimasi Feedstock dan Produk PT Kilang Pertamina Internasional, YF selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, dan AP selaku VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional.

Qohar menjelaskan kasus ini bermula pada tahun 2018 ketika Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 42 Tahun 2018 tentang Prioritas Pemanfaatan Minyak Bumi untuk Pemenuhan Kebutuhan Dalam Negeri.

Aturan tersebut mewajibkan PT Pertamina mengutamakan minyak mentah hasil produksi dalam negeri untuk kemudian diolah di kilang perusahaan sebelum melakukan impor. Selain itu, KKKS swasta juga diwajibkan menawarkan bagian minyak mentahnya kepada Pertamina sebelum melakukan ekspor.

Namun, berdasarkan fakta penyidikan, Tersangka RS, Tersangka SDS, dan Tersangka AP melakukan pengkondisian dalam Rapat Optimasi Hilir (OH) yang dijadikan dasar untuk menurunkan readiness/produksi kilang. Sehingga produksi minyak bumi dalam negeri tidak terserap sepenuhnya dan akhirnya pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang diperoleh dari impor.

Pada saat produksi kilang minyak sengaja diturunkan, produksi minyak mentah dalam negeri milik KKKS sengaja ditolak dengan berbagai alasan. Pertama, produksi minyak mentah oleh KKKS tidak memenuhi nilai keekonomian, padahal harga yang ditawarkan oleh KKKS masih masuk range harga HBS.

Kedua, produksi minyak mentah KKKS dilakukan penolakan dengan alasan spesifikasi tidak sesuai dengan spek. Namun faktanya minyak mentah bagian negara masih sesuai dengan spek kilang dan dapat diolah atau dihilangkan kadar merkuri atau sulfurnya.

Kemudian saat produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS ditolak dengan berbagai alasan, maka menjadi dasar minyak mentah Indonesia dilakukan penjualan keluar negeri (ekspor). Adapun, untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, PT Kilang Pertamina Internasional melakukan impor minyak mentah dan PT Pertamina Patra Niaga melakukan impor produk kilang.

Sementara itu, untuk kegiatan pengadaan impor minyak mentah oleh PT Kilang Pertamina Internasional dan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga diperoleh fakta adanya permufakatan jahat (mens rea).

Pemufakatan jahat tersebut dilakukan antara Penyelenggara Negara (Tersangka SDS, Tersangka AP, Tersangka RS, dan Tersangka YF) bersama DMUT/Broker (Tersangka MK, Tersangka DW, dan Tersangka GRJ) sebelum tender dilaksanakan dengan kesepakatan harga yang sudah diatur yang bertujuan mendapatkan keuntungan secara melawan hukum dan merugikan keuangan negara.

"Tersangka RS, Tersangka SDS dan Tersangka AP memenangkan DMUT/Broker minyak mentah dan produk kilang secara melawan hukum," ujarnya.

Selanjutnya, tersangka DM dan Tersangka GRJ melakukan komunikasi dengan Tersangka AP untuk dapat memperoleh harga tinggi (spot) pada saat syarat belum terpenuhi dan mendapatkan persetujuan dari Tersangka SDS untuk impor minyak mentah dari Tersangka RS untuk impor produk kilang.

Adapun, dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, Tersangka RS melakukan pembelian (pembayaran) untuk Ron 92, padahal sebenarnya hanya membeli Ron 90 atau lebih rendah kemudian dilakukan blending di Storage/Depo untuk menjadi Ron 92 dan hal tersebut tidak diperbolehkan.

Pada saat telah dilakukan pengadaan impor minyak mentah dan impor produk kilang, diperoleh fakta adanya mark up kontrak shipping (pengiriman) yang dilakukan oleh Tersangka YF selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping sehingga negara mengeluarkan fee sebesar 13% hingga 15% secara melawan hukum sehingga Tersangka MKAR mendapatkan keuntungan dari transaksi tersebut.

Pada saat kebutuhan minyak dalam negeri mayoritas diperoleh dari produk impor secara melawan hukum, maka komponen harga dasar yang dijadikan acuan untuk penetapan HIP (Harga Index Pasar) Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk dijual kepada masyarakat menjadi mahal/tinggi sehingga dijadikan dasar pemberian kompensasi maupun subsidi BBM setiap tahun dari APBN.

Akibat adanya beberapa perbuatan melawan hukum tersebut, telah mengakibatkan adanya kerugian negara sekitar Rp 193,7 triliun, yang bersumber dari komponen sebagai berikut:

1. Kerugian Ekspor Minyak Mentah Dalam Negeri sekitar Rp35 triliun.

2. Kerugian Impor Minyak Mentah melalui DMUT/Broker sekitar Rp2,7 triliun.

3. Kerugian Impor BBM melalui DMUT/Broker sekitar Rp9 triliun.

4. Kerugian Pemberian Kompensasi (2023) sekitar Rp126 triliun.

5. Kerugian Pemberian Subsidi (2023) sekitar Rp21 triliun.


(fab/fab)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Inovasi Sosial & Lingkungan, PTBA Raih Dua Proper Emas 2024

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |