Jakarta, CNBC Indonesia - Industri manufaktur nasional disebut tengah berjuang menghadapi penurunan permintaan, seiring melemahnya kemampuan belanja masyarakat, terutama kelompok menengah bawah. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai kondisi ini menjadi salah satu faktor utama lesunya kinerja sektor manufaktur sepanjang 2025 menuju 2026.
Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo, Bob Azam menyampaikan, penurunan daya beli langsung memukul penjualan produk manufaktur.
"Kalau kita lihat industri manufaktur, ini mengalami pelemahan memang karena salah satunya ada daya beli. Pada tahun 2025 menuju ke 2026 ini kita merasakan daya beli masyarakat kelas menengah bawah sangat terdampak," ujar Bob dalam konferensi pers di Kantor Pusat Apindo, Jakarta, Senin (8/12/2025).
Bob menuturkan, meski pemerintah sudah menggelontorkan berbagai insentif konsumsi, termasuk paket Stimulus Ekonomi 8+4+5, yang diarahkan untuk menjaga daya beli masyarakat menengah bawah. Namun efeknya di sektor manufaktur belum merata.
"Kita bersyukur pemerintah memberikan 'Stimulus 8+4+5' itu salah satunya ikut mendorong konsumsi khususnya di kelas menengah bawah. Namun demikian, di manufaktur, produk-produk manufaktur baru dirasakan untuk produk-produk yang memang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat untuk konsumsi dan basic needs yang diharapkan," katanya.
Ia mengatakan, penyusutan kelas menengah sejak 2019 turut mempersempit pasar industri. Bob mencatat sekitar 9,5 juta orang turun dari kelompok pendapatan menengah, sehingga ruang konsumsi yang sebelumnya menopang permintaan manufaktur semakin tertekan.
Untuk mengimbangi kondisi tersebut, pemerintah memperluas stimulus pendapatan, termasuk program pemagangan, yang diharapkan dapat meningkatkan penghasilan dan daya beli masyarakat.
Foto: Wakil Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) Bob Azam usai acara diskusi media di gelaran TEI 2025, Rabu (15/10/2025). (CNBC Indonesia/Ferry Sandi)
Wakil Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) Bob Azam usai acara diskusi media di gelaran TEI 2025, Rabu (15/10/2025). (CNBC Indonesia/Ferry Sandi)
Industri Manufaktur Hadapi Tekanan Struktural
Bob juga menyinggung munculnya indikasi industrialisasi prematur. Kontribusi manufaktur terhadap PDB tercatat berada di sekitar 17,39%, dengan pertumbuhan yang masih lebih tinggi dari ekonomi nasional. Namun tekanan struktural menurutnya masih kuat dan perlu penanganan bersama.
"Oleh sebab itu, kita berharap pemerintah bisa mengkoordinasikan untuk kita berkolaborasi sama-sama agar manufaktur ini bisa menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi kita apalagi presiden mencanangkan pertumbuhan mencapai 8%," ucapnya.
Purchasing Managers Index (PMI) memang telah kembali ke zona ekspansif setelah beberapa bulan terkontraksi. Namun Bob menilai pemulihan itu belum cukup untuk mempercepat kebangkitan manufaktur secara signifikan.
Selain daya beli, sektor ini juga dihimpit tingginya biaya ekonomi. Apindo mencatat persoalan perizinan, regulasi yang belum efisien, keterbatasan bahan baku, hingga persaingan dari negara ASEAN 5 sebagai hambatan utama. Beban logistik, energi, dan bunga pinjaman juga memperberat kondisi pelaku usaha.
"Termasuk juga energi dan juga biaya logistik yang masih tinggi sekitar 23% dari PDB ini menjadi tantangan tersendiri. Inefficiency di birokrasi juga mempengaruhi di sektor manufaktur," ujar Bob.
Ia menekankan perlunya kebijakan suku bunga yang lebih kompetitif agar industri nasional dapat bersaing. Pada saat yang sama, peningkatan kompetensi tenaga kerja dan penguatan sistem pengupahan berbasis produktivitas dipandang sebagai elemen penting untuk mendorong total factor productivity di sektor manufaktur.
Sebagai catatan, laporan S&P Global mencatat PMI Manufaktur Indonesia mencapai 53,3 pada November 2025, naik dari 51,2 dari bulan sebelumnya. Periode November ini merupakan yang paling tinggi sejak Februari.
Dalam catatan S&P Global, PMI manufaktur ASEAN meningkat dari 52,7 pada Oktober menjadi 53,0 pada November 2025. Indonesia (53,3) berada dalam kelompok ekspansif bersama Thailand (56,8), Vietnam (53,8), Myanmar (51,4), dan Malaysia (50,1), sedangkan Filipina berada di zona kontraksi (47,4). Di luar kawasan, sejumlah negara besar juga mencatat ekspansi seperti India (59,2), Amerika Serikat (52,5), Australia (51,6), serta China (50,6). Kondisi tersebut menunjukkan aktivitas industri global mulai stabil, meski kecepatan pemulihannya tidak merata.
(wur)
[Gambas:Video CNBC]

1 hour ago
1
















































