IHSG Jatuh 2% : Terparah Dalam 3 Tahun! Ini Penjelasan Analis

2 weeks ago 10

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terjun ke bawah level 6400 akibat perang dagang ditambah rebalancing indeks Morgan Stanley Capital International (MSCI) yang menggunakan cut off closing Jumat hari ini (28/2/2025).

CNBC Indonesia memantau pada perdagangan hari ini sampai pukul 10.51 WIB, IHSG jatuh 159,48 poin atau 2,46% ke posisi 6,325.97

Jika pelemahan IHSG bertahan sampai akhir sesi, ini akan melanjutkan tren merah selama dua hari beruntun dan menandai posisi paling lebih dari tiga tahun.

Barra Kukuh Mamia, Ekonom dari Bank Central Asia (BCA) melihat penyebab dari IHSG yang semakin merah ini masih disebabkan rebalancing MSCI dan sentimen risk-off terkatit tarif Trump.

"Ini masih rebalancing sepertinya ya.. kalau beberapa hari terakhir yang merah bukan cuma Indonesia, tapi global juga. Kebanyakan bursa merah kecuali Jepang dan China" ungkap Barra.

Pada hari ini tercatat akan menjadi cutt off untuk rebalancing indeks MSCI dan akan efektif per 3 Maret 2025. Diketahui, MSCI telah mengurangi bobot Indonesia dari 2,2% menjadi 1,5% selama kurun waktu lima tahun terakhir.

Sebelumnya, MSCI telah memangkas jumlah konstituen saham Indonesia secara bertahap. Dalam rebalancing terbarunya, MSCI tidak menambah saham baru di kategori large cap Indonesia, tetapi justru mengeluarkan tiga saham yakni PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk (INKP), PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA), dan PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR). MDKA dan INKP kini masuk ke kategori small cap, sedangkan UNVR dikeluarkan sepenuhnya dari daftar konstituen MSCI. Perubahan ini mempersempit cakupan investasi asing di pasar saham domestik.

Dampak pemangkasan bobot Indonesia dalam MSCI ini juga semakin terasa dengan penurunan peringkat saham Indonesia dari equal-weight (EW) menjadi underweight (UW). Morgan Stanley mencatat bahwa tren return on equity (ROE) saham-saham Indonesia terus melemah akibat perlambatan ekonomi dan tekanan terhadap sektor siklikal. Dengan rebalancing yang makin menggerus bobot saham Indonesia, investor diharapkan mencermati aliran dana asing dan volatilitas yang berpotensi meningkat dalam waktu dekat.

Lebih lanjut Barra juga menerangkan soal risk off terkait Tarif Trump yang kabarnya akan dipercepat ke Kanada dan Meksiko, ditambah lagi ke China.

Presiden Trump kembali mempertegas tabuhan genderang perang dagangnya dengan mengumumkan tarif baru terhadap Meksiko dan Kanada sebesar 25% akan mulai berlaku pada 4 Maret, sementara China akan dikenakan tambahan tarif 10% pada tanggal yang sama. Keputusan ini memperkuat kebijakan proteksionisme ekonomi yang menjadi ciri khas pemerintahannya, sekaligus menambah ketidakpastian di pasar global.

Sebagai catatan, pada 4 Maret 2025 adalah pekan pertama di bulan Ramadhan sehingga kebijakan Trump ini diyakini berdampak besar terhadap pasar keuangan pekan tersebut.

Kebijakan tarif ini sebelumnya sempat ditangguhkan pada 3 Februari untuk jangka waktu satu bulan, yang menyebabkan kebingungan tentang apakah tarif akan kembali diberlakukan atau tidak setelah periode penundaan berakhir.

Dalam sebuah unggahan di Truth Social pada Kamis(27/2/2025), Trump memastikan bahwa tarif tersebut akan berjalan sesuai jadwal.

Dalam pernyataannya, Trump mengeklaim bahwa perdagangan narkotika ilegal dari Meksiko dan Kanada ke AS masih berada pada tingkat yang sangat tinggi dan tidak dapat diterima, meskipun kedua negara telah berjanji untuk meningkatkan pengawasan di perbatasan mereka.

"Kami tidak bisa membiarkan ancaman ini terus merusak AS. Oleh karena itu, hingga masalah ini berhenti atau setidaknya sangat dibatasi, tarif yang dijadwalkan untuk diberlakukan pada 4 Maret akan tetap berlaku, seperti yang telah dijadwalkan sebelumnya," tulis Trump, sebagaimana dikutip dari CNBC International.

Di sisi lain, data ekonomi AS juga melemah dan ada spekulasi soal stagflasi. Sentimen risk off ini kemudian terlihat dari indeks dolar AS (DXY) yang menguat lagi.

CNBC Indonesia memantau dalam tiga hari ini the greenback mencatat kenaikan beruntun. Dan pada hari ini sampai pukul 10.25 terpantau berada di posisi 107,35, menguat 0,07% sejak pembukaan.

Seiring dengan menguatnya the greenback, mata uang Garuda pun merespon dengan semakin melemah. Hal tersebut terjadi lantaran aliran dana keluar asing masih deras.

Enrico Tanuwidjaja, ASEAN Economist di UOB juga melihat bahwa dampak dari DXY yang terus menguat ini juga memukul pergerakan bursa saham Amerika Serikat (AS) atau Wall Street.

Selain dampak eksternal, Hosianna Situmorang,Ekonom Bank Danamon mengatakan ada dampak dari penyesuaian kebijakan baru di domestik sehingga outflow tidak terhindarkan.

Hossiana mengharapkan penerapan Devisa Hasil Ekspor (DHE) nanti bisa membantu arah perbaikan bagi rupiah terhadap dolar AS.

CNBC INDONESIA RESEARCH

Sanggahan : Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investor terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

(tsn/tsn)

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |