Jakarta, CNBC Indonesia - Perjalanan pasar saham Tanah Air masih suram sepanjang tahun ini. Gonjang-ganjing ekonomi hingga masalah geopolitik mendorong investor asing terus lari dari pasar keuangan Tanah Air.
Sepanjang 2025, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terjun lebih dari 7% hingga perdagangan berjalan hari ini Rabu (26/2/2025). Sepanjang Februari 2025, IHSG ambruk 7,23%. Pelemahan dalam sebulan ini adalah yang terburuk Maret 2020 atau awal Pandemi Covid-19.
Jika melihat secara tren, IHSG kini tengah berada di tren penurunan. Sejak IHSG menyentuh level tertinggi pada 19 September 2024 di level 7.910,56, IHSG mulai mengalami gejolak dan berakhir di jalur penurunan hingga Februari 2025. Tercatat IHSG turun 17% sejak menyentuh level tertinggi tersebut.
Penurunan IHSG yang disebabkan oleh kaburnya investor asing, disebabkan oleh beberapa faktor. Berikut CNBC Indonesia Research rangkum alasan yang mendorong kaburnya investor asing.
Capital Outflow
Tercatat di sepanjang tahun 2025, investor asing telah kabur sebesar Rp16,78 triliun. Asing kabur karena memilih untuk membawa modal kembali ke Amerika Serikat (AS).
Outflow dipicu oleh kebijakan Presiden AS Donald Trump yang sangat menomorsatukan ekonomi dalam negeri, termasuk dengan memberlakukan kenaikan tarif.
Kebijakan ini memicu ketidakpastian global sehingga investor mencari aset aman seperti dolar AS atau surat utang AS.
Perlambatan Ekonomi Indonesia
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2024 tumbuh sebesar 5,03%. Jika dibandingkan pertumbuhan ekonomi di tahun 2023 yang sebesar 5,05%, tingkat pertumbuhan pada tahun 2024 ini mengalami pelambatan.
Perlambatan ekonomi ini menjadi sorotan karena terjadi di tengah banyaknya daya dorong ekonomi pada tahun lalu mulai dari pemilihan umum hingga pemiihan kepala daerah serentak.
Persoalan daya beli juga terus disorot karena melemahnya sejumlah indikator, seperti konsumsi rumah tangga. Konsumsi hanya tumbuh 4,94% atau di bawah level historisnya. Konsumsi bahkan sudah tumbuh di bawah 5% selama lima tahu terakhir.
Danantara
Usai Presiden RI Prabowo Subianto meresmikan Daya Anagata Nusantara (Danantara) pada Senin, (24/2/2025), pasar keuangan langsung merespon negative hingga perdagangan hari ini.
Diketahui total Aset Dalam Pengelolaan (AUM) yang akan dikelola oleh Danantara sekitar US$ 900 miliar atau setara Rp 14.710 triliun (Rp Rp 16.345/US$).
Investor domestik maupun asing hingga kini masih meragukan apakah lembaga Danantara ini dapat tidak mengalami kebocoran alias korupsi. Seperti yang diketahui bahwa kasus mega korupsi di Tanah Air masih belum surut. Hukuman yang dianggap tidak berat, mendorong kasus korupsi di Tanah Air tidak kunjung surut.
Ada empat perusahaan publik yang tergabung di Danantara dan memiliki kapitalisasi pasar besar. Di antaranya adalah PT Bank Rakyat Indonesia, PT Bank Mandiri, PT Bank Negara Indonesia (BNI) dan PT Telkom.
Laba Perusahaan Melambat
Perlambatan ekonomi dan adanya persoalan daya beli membuat penjualan perusahaan melambat. Akibatnya, pencapaian laba bersih melandai. Contohnya adalah laba BRI yang melambat menjadi 12,7% pada 2024, dibandingkan 19,4% pada 2023.
Laba PT Bank Tabungan Negara (BTN) terkoreksi 14%.
Peringkat Saham Indonesia Turun
Morgan Stanley menurunkan peringkat saham Indonesia dalam indeks Morgan Stanley Capital International (MSCI) dari equal-weight (EW) menjadi underweight (UW).
Dalam laporan terbarunya, MSCI mengatakan, langkah ini diambil seiring dengan melemahnya prospek pertumbuhan ekonomi domestik serta tekanan terhadap profitabilitas perusahaan di sektor siklikal.
Morgan Stanley menyoroti pergeseran tren return on equity (ROE) yang kini lebih menguntungkan China dibanding Indonesia. Analis menilai bahwa ROE saham-saham di China mulai menunjukkan pemulihan, terutama didorong oleh perbaikan kinerja operasional dan efisiensi neraca keuangan pada sektor yang memiliki bobot besar dalam indeks.
Sebaliknya, Indonesia menghadapi tekanan akibat melambatnya pertumbuhan ekonomi yang berdampak negatif pada sektor siklikal domestik. Tim analis Morgan Stanley tetap berhati-hati terhadap kemungkinan pemulihan dalam waktu dekat dan lebih memilih eksposur ke pasar lain di Asia.
Selain faktor fundamental, perbedaan valuasi juga menjadi alasan penurunan peringkat saham Indonesia. Morgan Stanley menyebut valuasi saham China kini lebih menarik dibanding Indonesia, terutama setelah pemerintah China menunjukkan sikap lebih positif terhadap sektor swasta.
"Oleh karena itu, kami menaikkan asumsi kelipatan valuasi kami yang kini berada di 11,6x untuk MSCI China dibandingkan 10,0x sebelumnya, kini dengan diskon 7% terhadap asumsi kami untuk pasar negara berkembang (EM), dibandingkan 17% sebelumnya," sebagaimana dikutip dari laporan tersebut, Selasa, (25/2/2025).
Di sisi lain, peningkatan risiko di pasar China tetap menjadi perhatian, terutama terkait ketegangan perdagangan dengan Amerika Serikat. Morgan Stanley mencermati kebijakan dagang "America First" yang akan dievaluasi pada 1 April serta potensi pembatasan ekspor yang dapat mempengaruhi sentimen investor global.
Dengan perubahan peringkat ini, Morgan Stanley menaretkantaret MSCI pasar negara berkembang (MSCI EM) ke 1.200, dengan kenaikan kurang lebih 5%. Sementara itu, target indeks Hang Seng untuk Desember 2025 dipatok pada 24.000 poin, dan MSCI China pada 77, naik signifikan sebesar 49% dari level saat ini.
Sanggahan: Artikel analisa saham ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(saw/saw)