Oleh: Farid Wajdi
Negara ini pandai merayakan konsistensi. Ketika sekolah libur, kalender pendidikan berhenti berdetak, dan anak-anak kembali ke rumah, Makan Bergizi Gratis (MBG) tetap berjalan.
Negara hadir, ujar para pengelolanya. Gizi tidak mengenal libur. Bahkan muncul kalimat simbolik yang cepat menjadi mantra kekuasaan: hanya kiamat yang dapat menghentikan MBG.
Kalimat itu terdengar jenaka, sekaligus mengerikan. Jenaka karena berlebihan. Mengerikan karena menyiratkan satu keyakinan: kebijakan ini tidak boleh berhenti, tidak boleh dikritik, dan tidak boleh dievaluasi.
Dalam dunia kebijakan publik, kalimat seperti itu bukan sekadar retorika. Ia penanda cara berpikir.
Tak ada yang menolak kebutuhan biologis anak. Anak tetap lapar saat libur sekolah. Namun kebijakan publik tidak hidup di wilayah biologi. Ia hidup di dunia nyata, dengan anggaran terbatas, birokrasi berlapis, dan perilaku sosial yang tak selalu patuh pada desain negara.
Eko Prasojo (2019) menulis, kebijakan sosial hanya bekerja bila tujuan, konteks, dan instrumen saling menyapa. MBG sejak awal dirancang berbasis sekolah. Sekolah menjadi simpul distribusi, ruang kontrol mutu, sarana edukasi gizi, dan pagar akuntabilitas.
Ketika sekolah libur, simpul itu lenyap. Yang tersisa hanyalah aktivitas memasak dan menyalurkan makanan, tanpa kepastian siapa yang datang, siapa yang makan, dan siapa yang absen.
Di titik ini, MBG berhenti menjadi kebijakan pendidikan dan kesehatan. Ia berubah menjadi ritual administratif, tetap berjalan karena jadwal sudah disusun, bukan karena konteks masih mendukung.
Konsistensi yang Terlalu Setia pada Anggaran
Konsistensi sering dipuja sebagai kebajikan negara. Namun konsistensi tanpa jeda evaluasi menjelma dogma.
Riant Nugroho (2020) menyebut gejala ini sebagai policy inertia: kebijakan terus melaju karena sudah bergerak, bukan karena terbukti paling tepat.
Negara takut berhenti, sebab berhenti kerap dianggap kegagalan, bukan kesempatan memperbaiki arah.
Libur sekolah seharusnya menjadi ruang refleksi. Negara memiliki waktu menghitung ulang efektivitas, menilai kebocoran, dan menimbang alternatif.
Namun yang terjadi justru sebaliknya. MBG tetap dipaksakan berjalan, seolah jeda adalah pengkhianatan ideologis.
Ironisnya, Indonesia hampir sendirian. Di India, Jepang, Finlandia, dan Inggris, program makan sekolah berhenti saat sekolah libur. Anak tetap dilindungi, namun lewat instrumen berbeda, bantuan keluarga, kupon pangan, atau skema komunitas. Negara-negara itu tidak kehilangan empati hanya karena berani menyesuaikan desain.
Indonesia memilih jalur heroik: satu kebijakan untuk semua musim. Heroik dalam slogan, rapuh dalam praktik.
Dari sisi anggaran, persoalannya kian terang. MBG adalah program raksasa. Dalam logika fiskal, program besar menuntut akuntabilitas lebih ketat.
Namun birokrasi sering memperlihatkan paradoks: semakin besar anggaran, semakin sakral ia diperlakukan.
Bhima Yudhistira (2023) mengingatkan, program sosial masif rawan berubah menjadi budget-driven policy. Ritme belanja lebih dijaga dibanding dampak nyata. Evaluasi kerap dipersepsikan sebagai ancaman, bukan kebutuhan.
Pertanyaan sederhana jarang dijawab di ruang publik. Berapa persen MBG saat libur benar-benar diambil? Berapa yang tak terserap? Berapa biaya tambahan distribusi tanpa sekolah aktif? Berapa makanan yang mubazir?
Tanpa data itu, klaim keberpihakan pada anak berpotensi berubah menjadi puisi anggaran: indah di laporan, hampa di lapangan.
Siapa yang Kenyang, Siapa yang Tenang
Setiap kebijakan publik selalu diuji oleh satu pertanyaan klasik: cui bono. Siapa yang diuntungkan? Jika anak menjadi pusat kebijakan, maka MBG saat libur seharusnya memudahkan keluarga.
Namun realitas menunjukkan ironi. Anak libur, orang tua bekerja, sekolah tutup, tetapi orang tua diminta datang hanya untuk mengambil makanan.
Negara menyediakan pangan, sementara biaya waktu, tenaga, dan transportasi berpindah ke warga.
Sebaliknya, sistem birokrasi tetap tenteram. Target penyaluran tercapai. Kontrak penyedia aman. Laporan kinerja hijau. Narasi politik terjaga. MBG tampak lebih setia pada indikator administratif dibanding realitas sosial penerima manfaat.
Kontroversi kian terasa saat MBG tetap berjalan di bulan puasa. Argumen kembali normatif: gizi tetap penting. Tidak ada yang menyangkal itu. Yang dipersoalkan ketepatan instrumen.
Bambang Brodjonegoro (2021) mengingatkan, kebijakan yang tak peka terhadap konteks sosial dan budaya berisiko kehilangan legitimasi.
Memberi makanan siap santap di siang hari saat mayoritas siswa berpuasa memperlihatkan kekakuan negara membaca realitas.
Keberhasilan MBG lebih sering dipamerkan lewat angka distribusi. Publik jarang diajak melihat dampak. Apakah status gizi membaik secara signifikan? Apakah penurunan stunting dapat ditautkan langsung pada program ini? Bagaimana perbandingan biaya-manfaat dengan intervensi lain?
Faisal Basri (2018) mengingatkan, kebijakan yang tak pernah diuji dampaknya hanya sibuk dengan dirinya sendiri. Ia tampak bergerak, namun kosong secara substansi.
Ketika ada pernyataan hanya kiamat yang dapat menghentikan MBG, publik seharusnya berhenti tertawa. Kalimat itu bukan sekadar hiperbola. Ia cermin mentalitas kebijakan yang tak boleh salah, tak boleh berhenti, dan tak mau dikoreksi.
Padahal negara modern tidak menunggu kiamat untuk berubah arah. Ia cukup membutuhkan data, keberanian politik, dan kerendahan hati.
MBG lahir dari niat baik. Ia bisa menjadi investasi generasi bila dikelola secara adaptif. Namun niat baik tanpa keberanian berhenti sejenak hanya melahirkan kebijakan kaku: mahal, simbolik, dan rawan mubazir. Hebat, MBG tak ada liburnya.
Namun kebijakan yang benar-benar hebat tahu kapan harus berjalan, kapan harus menyesuaikan, dan kapan harus berhenti agar akal sehat tidak ikut diliburkan.
Penulis adalah Founder Ethics of Care, Anggota Komisi Yudisial 2015-2020, dan Dosen UMSU
Update berita terkini dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran favoritmu akses berita Waspada.id WhatsApp Channel dan Google News Pastikan Kamu sudah install aplikasi WhatsApp dan Google News.




















































