Jakarta, CNBC Indonesia - Utusan Khusus Presiden Bidang Energi dan Iklim Hashim Djojohadikusumo mengaku pernah ditugasi Presiden Prabowo Subianto untuk menggali potensi penerimaan negara di Indonesia yang selama ini tidak mampu dipungut negara.
Dari hasil identifikasinya, Hashim menyebut, penerimaan negara yang selama ini sangat rendah, yakni hanya di kisaran 9%-10% dari produk domestik bruto (PDB) disebabkan masalah sistem pengumpulan perpajakan yang sangat buruk, baik di sektor penerimaan pajak maupun bea dan cukai.
"Terus terang saja, 11-12 tahun yang lalu saya ditugasi Pak Prabowo memimpin suatu tim dari partai kami untuk melihat bagaimana potensi negara kita, dan salah satu titik lemah kita dan juga berpotensi yang besar untuk kita adalah penerimaan negara kita, parah," kata Hashim dalam acara Bedah Buku Indonesia Naik Kelas di Universitas Indonesia, Jakarta, dikutip Senin (15/12/2025).
"Sistem penerimaan negara kita, pajak, bea cukai, dan semuanya, sangat-sangat parah, parah sekali," tegasnya.
Hashim menjelaskan alasannya menilai buruk kinerja sistem penerimaan negara Indonesia selama ini. Selain karena rasio penerimaan negara terhadap PDB yang hanya di kisaran 9-10% dan tertinggal dari negara lain, sistem nya juga sangat lemah di dunia untuk mengumpulkan setoran perpajakan.
Ia pun mengklaim, dua pekan lalu juga telah bertemu dengan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa terkait lemahnya sistem penerimaan negara yang diurus di bawah komando Kementerian Keuangan. Purbaya, kata Hashim membenarkan penilaiannya.
"Saya ketemu Pak Purbaya dua minggu lalu. Beliau membenarkan, beliau katakan, kan saya bilang waktu itu. Sejak 2013 saya perhatikan dan saya sudah ketemu Bank Dunia 8 kali, minggu depan saya ketemu lagi untuk 9 kali, dan data dari Bank Dunia sudah menunjukkan dari dulu sampai sekarang pajak, PNBP, royalti, cukai kita tetap tidak ada penambahan," ucap Hashim.
Bila merujuk pada laporan OECD dalam dokumen berjudul Government at a Glance: Southeast Asia 2025, rasio penerimaan negara terhadap PDB Indonesia bahkan menjadi yang paling rendah di banding-banding negara-negara ASEAN. Besarannya hanya 15,10% pada 2023, sedikit lebih rendah dari Kamboja yang 15,90%.
Tertinggi di ASEAN ialah Malaysia dengan rasio penerimaan negara terhadap PDB sebesar 20,95% pada 2023, diikuti Thailand 20,86%, Filipina 20,29%, Brunei Darussalam 18,50%, Singapura 18,32%, Vietnam 16,89%, dan Laos 16,46%.
"Kamboja lebih miskin dari kita, lebih miskin dari Filipina. 10 tahun lalu penerima negara yaitu termasuk pajak, cukai, PNBP, royalti, dari emas, tembaga dan sebagainya, batu bara. Juga bea masuk masuk dan sebagainya Kamboja itu 9%, Indonesia 12%," ucap Hashim.
"Itu 11 tahun lalu, 10 tahun lalu. Sekarang Kamboja 18%. Indonesia dimana? Tetap 12%. Berarti apa? Berarti tidak ada kenaikan," tegasnya.
Dengan kekayaan alam yang melimpah, dan kinerja ekonomi atau PDB nya yang menuju ke kisaran Rp 25 ribu triliun, Hashim bahkan menegaskan, bila aparat pajak dan bea cukai kerja benar dalam mengumpulkan penerimaan negara, APBN tiap tahunnya tak akan lagi defisit, alias mengandalkan utang untuk pembangunan.
"Kalau memang aparat pajak, aparat bea cukai, apara semuanya itu bekerja dengan benar, Indonesia bukan negara dengan defisit, Indonesia negara surplus, Indonesia negara kaya," tuturnya.
(arj/mij)
[Gambas:Video CNBC]

3 hours ago
3
















































