Harga Nikel Lesu Gegara Banjir Suplai dari RI? Ini Data Terbarunya

3 hours ago 3

Jakarta, CNBC Indonesia - Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Meidy Katrin Lengkey mengungkapkan bahwa membludaknya pasokan nikel dari Indonesia telah berdampak pada jatuhnya harga nikel di pasar global.

Semula, Meidy mengakui bahwa tahun 2022 merupakan masa kejayaan industri nikel karena tren harga yang relatif tinggi. Namun demikian, sejak 2023 hingga 2024 harga nikel justru terus mengalami penurunan.

"Dalam perhitungan harga dari 2020 hingga 2025, kita melihat bahwa tahun 2022 merupakan masa kejayaan industri nikel. Namun, sejak 2023 hingga 2024, harga terus mengalami fluktuasi yang berdampak pada penerimaan royalti," kata Meidy dalam Press Conference Wacana Kenaikan Tarif Royalti Pertambangan, di Jakarta, Senin (17/3/2025).

Menurut Meidy, harga referensi domestik atau Harga Patokan Mineral (HPM) juga berbeda 40-50% dibandingkan harga internasional. Sejak 2017-2020, Asosiasi telah berjuang agar harga berbasis HPM diakui dalam regulasi. Meski HPM telah ditetapkan, transaksi di pasar masih mengalami kendala.

Untuk mengatasi persoalan ini, APNI bersama dengan berbagai kementerian terkait terus mendorong penerapan sistem transaksi berbasis Free on Board (FOB).

"Dengan Kemenko Marves waktu itu. Kemenko Marves udah selesai ya. Kemudian juga ada bagaimana melakukan transaksi berbasis FOB. Apa? Karena itu berpengaruh kepada penerimaan negara dari sisi royalti," katanya.

Di sisi lain, Meidy menyampaikan bahwa sejak 2022, pihaknya telah mengingatkan tentang kapasitas produksi nikel yang berlebih. Namun, alih-alih melakukan pembatasan, pemerintah justru memberikan persetujuan terhadap smelter baru.

"Luar biasa loh smelter ini. Gila beneran. Nambah terus-nambah terus. Padahal tahun 2022 APNI sudah berteriak. Pak moratorium, Pak. Tapi masih aja sampai sekarang," katanya.

Meidy membeberkan bahwa Indonesia telah menjadi produsen nikel terbesar di dunia dengan produksi bijih yang mencapai 300 juta ton per tahun. Adapun jika ditambah dengan proyek smelter yang masih dalam tahap konstruksi, angka ini bisa mencapai 500 juta ton.

"Ditambah dengan yang masih baru-baru tuh yang dikonstruksi. Totalnya 390 tambah 119. Hampir 500 juta ton bijih nikel. Nah lo beli di mana tuh? Nah ini yang saya tampilkan, hanya 95 yang produksi yang konstruksi. Data APNI khusus pengolahan nikel itu 147," katanya.

Perlu diketahui, berdasarkan data Trading Economics, harga nikel kini berada pada level US$ 16.294 per ton, pada Senin (17/3/2025).

Pada 2022, saat commodity boom, harga nikel sempat mencapai US$ 48.226 per ton, tidak termasuk di atas US$ 100.000 per ton saat terjadi anomali hingga akhirnya perdagangan London Metal Exchange (LME) sempat dihentikan sementara pada 8 Maret 2022.

Kemudian, pada 2023 harga nikel mencapai lebih US$ 29.000 per ton, lalu pada 2024 sempat di atas US$ 21.000 per ton. Namun setelah itu semakin turun, dan kini berada di kısaran US$ 16.000-an per ton.


(wia)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Menakar Masa Depan Sektor Mineral di Indonesia

Next Article RI Mau Pangkas Produksi Nikel, Dunia Langsung Bergerak!

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |