Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara terus ambruk dihadang persaingan kepentingan China dan Amerika Serikat (AS). Merujuk data Refinitiv, harga batu bara kontrak Juni pada perdagangan Kamis 929/5/2025) ditutup di US$ 105,5 per ton atau melemah 1,96%.
Harga batu bara melemah dua hari beruntun dengan pelemahan mencapai 3%. Padahal, harganya sempat terbang tiga hari dan menyentuh rekor tertinggi 2,5 bulan di US$108,75 per ton.
Pelemahan harga batu bara dipicu oleh persaingan kepentingan China dan AS.
Di China, pasar batu bara kokas sedang lesu akibat kelebihan pasokan, turunnya permintaan baja domestik, dan harga yang menyentuh level terendah sejak 2016.
Sementara itu, di Amerika Serikat, pemerintah justru menganggap batu bara kokas sebagai material strategis, dengan tujuan mendorong produksi baja nasional dan mengurangi ketergantungan pada impor, terutama dalam konteks persaingan geopolitik dan kemandirian industri.
Kondisi China yang oversupply membuat pemerintah China pusing. Sebaliknya, AS ingin produksi bertambah.
China adalah produsen sekaligus konsumen batu bara terbesar di dunia. AS adalah salah satu produsen dan eksportir terbesar di dunia.
Dua negara ini memang memiliki konflik yang dilatarbelakangi dinamika pasar dan kebijakan industry yang berbeda.
Harga jatuh biasanya sinyal negatif tetapi AS justru ingin meningkatkan produksi, terlepas dari kondisi pasar global. Akibatnya harga jatuh.
Perusahaan seperti Glencore memanfaatkan momen ini untuk menawarkan kontrak dengan harga tetap yang lebih menarik di Asia.
Kelebihan pasokan di China juga bisa menjadi peluang bagi negara lain untuk membeli lebih murah, tapi sekaligus mencerminkan penurunan aktivitas manufaktur, yang bisa berdampak luas pada ekonomi regional.
Menurut Bloomberg, penurunan permintaan baja di China telah meluas ke pasar negara tetangga, menyebabkan harga batu bara kokas dan kok turun ke level terendah sejak 2016. Per tanggal 29 Mei, harga batu bara kokas berjangka di Bursa Dalian tercatat di level 765 yuan per ton (sekitar $106,2).
Situasi pasar batu bara semakin memburuk karena adanya peningkatan pasokan, dan kemungkinan harga akan terus menurun.
Menurut Asosiasi Transportasi dan Distribusi Batu Bara China, pabrik kokas di pusat produksi utama di Shanxi telah beroperasi pada kapasitas 83% selama seminggu terakhir dan tidak menunjukkan tanda-tanda untuk mengurangi produksi, meski pasar kelebihan pasokan.
Sementara itu, harga batu bara kokas ekspor laut (seaborne) tetap hampir tidak berubah sepanjang 16-23 Mei karena sentimen pasar yang negatif akibat pasokan yang melimpah. Per 23 Mei, menurut Kallanish, harga FOB Australia berada di level $193,76 per ton (dibandingkan $193,88 per ton pada 16 Mei).
Harga Australia Terlalu Tinggi, China Tawarkan Lebih Kompetitif
Harga batu bara kokas Australia untuk konsumen akhir di Asia Tenggara dianggap terlalu tinggi, terutama di luar pasar India.
Pedagang China menawarkan harga yang lebih kompetitif. Selain itu, Glencore, perusahaan tambang global, juga menawarkan dan telah menjual batu bara premium ke kawasan tersebut dengan harga tetap yang lebih menarik.
AS Tambahkan Batu Bara Kokas ke Daftar Material Kritis
Pada akhir pekan lalu, Amerika Serikat memasukkan batu bara kokas ke dalam daftar material kritis nasional. Alasan di balik keputusan ini adalah untuk mendukung target politik negara tersebut untuk mendominasi produksi baja, yang memerlukan peningkatan tajam dalam produksi dan konsumsi batu bara kokas domestik.
Namun, permintaan baja di AS saat ini rendah, dipengaruhi oleh ketidakpastian kebijakan perdagangan global, menurut S&P Global. Hal ini memberikan tekanan pada perusahaan batu bara metalurgi dan mendorong mereka untuk mengendalikan biaya sembari menunggu perbaikan pasar.
Bagaimana dengan Indonesia
Harga batu bara yang terus melemah tentu saja akan merugikan Indonesia. Seperti diketahui, Indonesia adalah eksportir terbesar batu bara di dunia. Kontribusi ekspor batu bara bahkan menembus 16% dari total ekspor.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan volume ekspor batu bara Indonesia pada 2024 menyentuh 405,76 juta ton. Volume ekspor tersebut naik 6,86% dibandingkan pada 2023.
Namun, secara nilai, ekspor batu bara anjlok 11,86% menjadi US$ 30,49 miliar. Jika harga terus turun maka perusahaan hingga negara akan dirugikan oleh menurunnya pendapatan dan pajak.
CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]
(mae/mae)