Ekspor Sawit RI Terancam, Kena Efek Tarif Trump-Kalah dari Malaysia

4 hours ago 2

Jakarta, CNBC Indonesia - Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Mukti Sardjono menegaskan, ekspor merupakan pasar yang penting yang harus dijaga Indonesia. Jika ekspor terhambat, bisa-bisa pasokan di dalam negeri akan banjir.

Tentu saja, hal ini akan memicu masalah baru, harga minyak sawit bakal tertekan. Padahal, ekspor sawit merupakan salah satu andalan RI mencari devisa.

Hal itu bukan tanpa alasan. Indonesia adalah negara penghasil terbesar minyak sawit di dunia. Disusul Malaysia. Dalam setahun, Indonesia bisa memproduksi minyak sawit sebanyak 50 juta ton, sehingga harus dipasarkan sebagian negara lain. 

Hal itu disampaikan Mukti merespons pertanyaan Ketua Komisi VII DPR RI Saleh Partaonan Daulay terkait penting atau tidaknya ekspor minyak sawit. 

"Kebutuhan minyak sawit di dalam negeri kan itu banyak, makanya kemarin harga minyak itu mahal, Minyakita hilang dan seterusnya, bagaimana kalau kita nggak usah ekspor aja? Mengganggu pengusaha sawitnya nggak?" ucap Daulay dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) bersama Komisi VII DPR RI di Jakarta, Senin (28/4/2025).

Hal itu langsung dijawab oleh Mukti Sardjono. Dia menegaskan, ekspor sawit tetap sangat penting untuk menjaga keseimbangan produksi.

"Produksi kita ini sekitar 50 juta ton, itu kita gunakan untuk minyak makan atau minyak goreng dan margarin itu sekitar 10 juta ton. Kemudian untuk industri oleokimia sekitar 2,5 juta ton sampai 3 juta ton. Kemudian ditambah biodiesel dengan B35 kemarin sudah 11 juta ton, kalau B40 mungkin sekitar 13 juta ton," jelasnya.

"Jadi kalau ditotal mungkin sekitar 25 sekian juta ton. Nah sisanya mau dikemanain?" tukas Mukti.

Tanpa ekspor, ujarnya, Indonesia akan mengalami kelebihan stok alias overstock besar.

"Kalau ini kita gunakan semuanya dalam negeri, ya overstock, Pak," ucapnya.

Tak hanya itu, sambungnya, ekspor sawit menyumbang devisa negara yang sangat besar.

"Devisa yang kita dapatkan setiap tahunnya sekitar US$ 30 miliar, kalau dirupiahkan kan sekitar hampir Rp505 triliun lebih kita dapatkan devisa dari minyak sawit," kata Mukti.

Bukan AS, Ekspor Minyak Sawit RI Terbanyak ke China

Mukti pun membeberkan fakta menarik tentang dominasi Indonesia di pasar minyak nabati dunia. Menurutnya, Indonesia saat ini bukan hanya pemain besar, tapi raja dunia dalam produksi, konsumsi, dan ekspor minyak sawit.

"Sawit ini sebenarnya, kita itu menguasai minyak nabati dunia. Jadi kita ini nomor satu baik produksi, maupun konsumsi, ataupun ekspor," kata Mukti.

Mukti menyebut pesaing utama Indonesia hanya Malaysia, sementara negara lain seperti Costa Rica, Guatemala, dan Honduras masih jauh dari angka produksi yang bisa menyaingi. Namun, di tengah keunggulan itu, Mukti menyoroti adanya tantangan berat, yakni beban ekspor yang semakin memberatkan.

"Indonesia sendiri sekarang dikenakan tarif resiprokal 32%, sedangkan Malaysia 24%. Ini tentunya menjadi PR bagi kita," ungkapnya.

Saat ini, paparnya, ekspor sawit Indonesia mencapai sekitar 30 juta ton per tahun. China menjadi tujuan ekspor terbesar, meski jumlahnya sempat turun.

"Ekspor ke China paling tinggi, pernah sampai 7 juta ton, tapi tahun kemarin turun menjadi 5,5 juta ton," jelas Mukti.

Selain China, ekspor juga banyak mengalir ke India 4,8 juta ton, Uni Eropa 3,3 juta ton, Pakistan 3 juta ton, dan Amerika Serikat (AS) sekitar 2,2-2,5 juta ton.

"Jadi bagi kita, AS pasar yang cukup baik, karena memang minyak sawit di AS digunakan untuk industri makanan, yang karena memang sawit mempunyai kelebihan dibandingkan dengan minyak nabati lain," ujarnya.

Ia bahkan berguyon soal keunggulan rasa sawit, "Kalau minyak sawit untuk menggoreng dia lebih krispi, rasanya juga lebih enak. Jadi Kentucky kalau tidak digoreng dengan minyak sawit, tidak akan crispy."

Adapun selama lima tahun terakhir, ekspor sawit RI ke AS terus menunjukkan tren naik, didominasi produk RBD Palm Oil. Nilainya pun fantastis, berkisar antara US$ 1,1 miliar hingga US$ 2,9 miliar, atau sekitar Rp18,5 triliun hingga Rp48,87 triliun per tahun (asumsi kurs Rp16.850/US$).

Kalah Saing dengan Malaysia

Meski begitu, Mukti mengingatkan, dibanding Malaysia, posisi Indonesia dalam bersaing masih berat. "Kalau kita sekarang ini kan, untuk sawit ekspor kita kena PE (pungutan ekspor), kemudian BK (bea keluar), sama DMO (Domestic Market Obligation). Itu kalau ditotal kurang lebih US$ 221 (atau sekitar Rp3,7 juta) per ton," ujarnya.

Sementara di Malaysia, beban ekspor hanya sekitar US$ 140 (atau sekitar Rp2,35 juta) per ton.

"Jadi kalau kita bandingkan, (beban ekspor) Indonesia sama Malaysia, kita kalah bersaing," tegasnya. Ditambah lagi dengan tarif resiprokal yang lebih tinggi, posisi Indonesia makin terjepit.

Agar produk sawit RI tetap kompetitif di pasar AS, Mukti mengusulkan agar beban ekspor bisa dikurangi. "Salah satu yang kita usulkan adalah agar beban ekspornya bisa dikurangi, apakah itu PE-nya, atau BK-nya, atau DMO-nya," kata dia.

Tak hanya itu, GAPKI juga berharap pemerintah memperkuat diplomasi dagang. "Tentunya kita juga mengharapkan, Indonesia terus melakukan bilateral yang baik dengan Amerika, atau juga dengan pasar-pasar yang potensial," imbuh Mukti.

Ia menambahkan, kawasan Timur Tengah dan Afrika bisa menjadi pasar sawit yang strategis karena kebutuhan minyak nabati yang tinggi di kedua wilayah tersebut.


(dce)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Tarif Resiprokal Ditunda, RI Siapkan Jurus Baru

Next Article Video: Produksi Turun, Pengusaha Ungkap Tantangan Industri Sawit RI

Read Entire Article
Berita Kasus| | | |