Elvan Widyatama, CNBC Indonesia
18 December 2025 15:15
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar batu bara global di perkirakan tengah memasuki fase penurunan setelah mencapai puncak produksi dan konsumsi dalam dua tahun terakhir.
Berdasarkan proyeksi terbaru Energy Information Administration (EIA), industri batu bara dunia kini berada di titik pembalikan siklus setelah mencapai puncaknya pada periode 2024-2025.
Dalam lima tahun ke depan hingga 2030, permintaan global diperkirakan mulai melandai, diikuti penyusutan perdagangan internasional dan penurunan produksi secara bertahap.
Namun di tengah tren global tersebut, Indonesia justru menempati posisi yang berbeda. Saat banyak negara mulai mengurangi ketergantungan terhadap batu bara, konsumsi domestik Indonesia justru terus meningkat.
Batu Bara Dunia Masuk Fase Baru
EIA memproyeksikan produksi batu bara global berada di kisaran lebih dari 9 miliar ton pada 2024-2025, sebelum menurun secara bertahap menjadi sekitar 8,64 miliar ton pada 2030.
Penurunan ini setara dengan kontraksi sekitar 5% dalam lima tahun yang menandai pergeseran dari fase ekspansi menuju fase penurunan paling tidak dalam jangka menengah.
Penurunan tersebut tidak terjadi secara tiba-tiba. EIA menilai pasar batu bara global memasuki fase soft landing, seiring pergeseran bauran energi menuju sumber terbarukan, ekspansi kapasitas energi bersih, serta penguatan kebijakan dekarbonisasi di berbagai negara.
Dari sisi permintaan, batu bara masih menjadi sumber energi utama di banyak negara berkembang. Namun, daya dorong permintaannya mulai melemah menjelang 2030.
Meski demikian, EIA menegaskan bahwa batu bara belum akan sepenuhnya hilang dalam waktu dekat dan masih memainkan peran penting dalam menjaga keandalan pasokan listrik hingga sekitar 2030, terutama di negara-negara dengan pertumbuhan kebutuhan energi yang tinggi.
Produksi Global dari Titik Puncak Menuju Penurunan
EIA menilai produksi batu bara global berada dalam fase plateau atau puncak pada 2024-2025, sebelum berangsur turun hingga akhir dekade ini. Tekanan terhadap sektor batu bara datang dari kombinasi melemahnya permintaan global dan perubahan pasar energi global.
China tetap menjadi produsen batu bara terbesar dunia dan penentu utama arah pasokan global. Produksi China tercatat sekitar 4.6 miliar ton pada 2024 dan produksi China diperkirakan menurun secara perlahan menjadi 4,56 miliar ton pada 2027 dan 4,43 miliar ton pada 2030.
India menjadi pengecualian di tengah tren global yang melandai. Produksi batu bara India diproyeksikan terus meningkat hingga 2030, dari 1,08 miliar ton pada 2024 menjadi sekitar 1,28 miliar ton pada 2030. Kenaikan ini didorong oleh pertumbuhan kebutuhan listrik, ekspansi industri, serta strategi pemerintah untuk mengurangi ketergantungan impor.
Amerika Serikat menunjukkan pola berbeda. Produksi batu bara AS sempat tertahan oleh dukungan kebijakan pada pertengahan dekade ini, dari 461 juta ton pada 2024 menjadi 473 juta ton pada 2025. Namun tren tersebut bersifat sementara. Seiring ekspansi energi terbarukan dan berlanjutnya pensiun PLTU, produksi AS kembali menurun menjadi sekitar 386 juta ton pada 2030.
Australia juga akan menghadapi tekanan, dengan produksi batu bara asal Negeri Kanguru tersebut diproyeksikan turun dari 474 juta ton pada 2024 menjadi 409 Mt pada 2030.
Permintaan Mulai Menurun, China dan India Masih Mendominasi
Dalam proyeksi hingga 2030, EIA menilai permintaan batu bara global masih sangat ditentukan oleh China dan India.
Kedua negara ini menyerap lebih dari dua pertiga konsumsi batu bara dunia. Namun, di balik dominasi tersebut, arah permintaan keduanya mulai menunjukkan perbedaan.
Di China, permintaan batu bara telah mencapai titik jenuh. Konsumsi batu bara China diperkirakan berada di kisaran 4,9-5,0 miliar ton pada 2024-2025, sebelum berangsur menurun menuju sekitar 4,7 miliar ton pada 2030.
EIA menilai perlambatan permintaan tersebut mencerminkan perubahan struktural dalam sistem energi China.
Pertumbuhan ekonomi yang lebih moderat, peningkatan efisiensi energi, serta ekspansi masif pembangkit listrik berbasis energi surya, angin, dan nuklir mulai mengurangi kebutuhan tambahan terhadap batu bara.
Meski demikian, batu bara masih memegang peran sentral dalam menjaga stabilitas sistem kelistrikan, dengan fungsi yang bergeser dari sumber baseload utama menjadi penyedia fleksibilitas untuk menutup fluktuasi energi terbarukan.
India menunjukkan dinamika yang berbeda. Negara ini menjadi konsumen besar dunia yang masih mencatatkan kenaikan permintaan hingga akhir dekade.
EIA memproyeksikan konsumsi batu bara India meningkat dari sekitar 1,31 miliar ton pada 2024 menjadi mendekati 1,5 miliar ton pada 2030. Namun, meskipun naik secara nominal, laju pertumbuhannya melambat dibandingkan dekade sebelumnya yang seiring dengan peningkatan kapasitas energi terbarukan.
Sebaliknya, di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Jepang, dan Korea Selatan, permintaan batu bara diproyeksikan turun lebih tegas dalam periode 2025-2030, seiring percepatan transisi energi dan penutupan PLTU.
Penurunan di negara maju inilah yang membuat permintaan batu bara global secara agregat bergerak menurun, meskipun Asia masih mendominasi.
Bagaimana Posisi Indonesia?
Dalam lanskap perdagangan batu bara global yang menyusut, Indonesia menjadi salah satu negara yang paling terdampak.
Selama lebih dari satu dekade, Indonesia berperan sebagai swing supplier utama di Asia, memasok kebutuhan batu bara ke pasar-pasar besar seperti China, India, Jepang, Korea Selatan, dan negara-negara ASEAN.
Fleksibilitas volume ekspor Indonesia selama ini menjadikannya penyeimbang pasar ketika permintaan global melonjak. Namun, proyeksi terbaru Energy Information Administration (EIA) menunjukkan bahwa peran tersebut mulai tergerus secara struktural.
Setelah mencatat produksi sangat tinggi sebesar 836 juta ton pada 2024, produksi batu bara Indonesia diproyeksikan turun menjadi 778 juta ton pada 2025, lalu berlanjut melemah hingga sekitar 671 juta ton pada 2030. Penurunan produksi ini berjalan seiring dengan melemahnya ekspor, bukan karena keterbatasan cadangan, melainkan menyusutnya pasar internasional.
Penurunan impor China secara langsung menekan volume ekspor Indonesia yang selama ini sangat bergantung pada pasar tersebut.
Pada saat yang sama, persaingan antarprodusen global semakin ketat. Australia, meskipun produksinya juga menurun, tetap mempertahankan posisi kuat di pasar batu bara berkualitas tinggi, terutama untuk kebutuhan jangka panjang.
Rusia bahkan semakin agresif mempertahankan pangsa pasar Asia dengan menawarkan diskon harga, menyusul terbatasnya akses ke pasar Eropa. Kondisi ini membuat ruang ekspor Indonesia semakin menyempit, baik dari sisi volume maupun harga.
Konsumsi Dalam Negeri Justru Naik
Konsumsi domestik Indonesia justru diproyeksikan terus meningkat hingga 2030. Batu bara tetap menjadi tulang punggung sistem ketenagalistrikan nasional, baik melalui pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang terhubung ke jaringan PLN maupun PLTU yang melayani kawasan industri.
Dalam proyeksi EIA, konsumsi batu bara Indonesia diperkirakan naik dari sekitar 266 Mt pada 2025 dan terus meningkat mendekati 337 Mt pada 2030 atau bisa meningkat 27%.
Dengan angka tersebut, Indonesia bukan hanya menjadi konsumen terbesar di ASEAN, tetapi juga berada di jalur untuk menjadi salah satu konsumen batu bara terbesar dunia pada akhir dekade ini.
Lonjakan konsumsi domestik ini tidak terlepas dari agenda hilirisasi mineral yang agresif. Industri pengolahan nikel, baik melalui teknologi rotary kiln electric furnace (RKEF) maupun high-pressure acid leach (HPAL) sangat membutuhkan pasokan energi yang besar dan stabil, yang hingga saat ini masih sangat bergantung pada batu bara.
Selain itu, ekspansi smelter aluminium khususnya di Kalimantan Utara turut menambah kebutuhan listrik baseload dalam skala besar.
Dalam konteks ini, batu bara memainkan dua peran bagi Indonesia. Di satu sisi, perannya sebagai komoditas ekspor melemah. Di sisi lain, batu bara justru semakin menjadi input strategis bagi industrialisasi dalam negeri. Hingga 2030, EIA menilai ketergantungan sektor industri Indonesia terhadap batu bara masih akan bertahan, seiring keterbatasan alternatif energi murah dan andal dalam jangka menengah.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(evw/evw)

2 hours ago
3

















































