Jakarta, CNBC Indonesia - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah bertemu untuk berdialog soal perpajakan. Sebelumnya, sempat ramai soal Fatwa MUI yang melarang pemungutan pajak berulang pada bumi dan bangunan (PBB) yang dihuni.
Mengutip dari unggahan @ditjenpajakri di platform Instagram, dialog konstruktif tersebut dihadiri langsung oleh Dirjen Pajak Bimo Wijayanto.
"Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah melaksanakan dialog konstruktif dan produktif mengenai perpajakan dari kacamata ketentuan negara dan perintah agama. Kedua belah pihak memiliki semangat yang sama untuk mencapai solusi demi kemaslahatan umat dan kebermanfaatan bagi bangsa dan negara," dikutip pada Selasa (2/12/2025).
MUI dan DJP pun sepakat membentuk task force atau gugus tugas khusus dengan tujuan mengawal penyempurnaan sistem perpajakan nasional agar lebih berkeadilan dan akuntabel. Nantinya task force ini akan membedah rekomendasi fatwa MUI untuk diadopsi sebagai panduan etika dalam kebijakan pajak.
"Ini adalah bukti bahwa DJP terus membuka diri terhadap masukan dari berbagai elemen bangsa termasuk ulama, demi mewujudkan sistem perpajakan yang tidak hanya kuat secara regulasi, tapi juga memiliki legitimasi moral yang tinggi di mata masyarakat," tulis keterangan dalam unggahan tersebut.
Sebelumnya Fatwa soal melarang pemungutan pajak berulan PBB ditetapkan dalam Musyawarah Nasional (Munas) XI Majelis Ulama Indonesia (MUI) beberapa waktu lalu (23/11/2025). Komite A dalam munas tersebut menetapkan 5 fatwa. Salah satunya tentang Pajak Berkeadilan.
Ketua Komisi Fatwa SC Munas XI MUI KH Asrorun Ni'am Sholeh menyampaikan fatwa tentang Pajak Berkeadilan menegaskan bahwa bumi dan bangunan yang dihuni tak layak dikenakan pajak berulang.
Ketua MUI Bidang Fatwa ini menambahkan fatwa Pajak Berkeadilan ditetapkan sebagai tanggapan hukum Islam tentang masalah sosial yang muncul akibat adanya kenaikan PBB yang dinilai tidak adil.
"Sehingga meresahkan masyarakat. Fatwa ini diharapkan jadi solusi untuk perbaikan regulasi," kata ulama yang akrab disapa Prof. Ni'am di sela-sela Munas XI MUI, dikutip Selasa (2/12/2025).
Menurutnya, objek pajak dikenakan hanya kepada harta yang potensial untuk diproduktifkan dan atau merupakan kebutuhan sekunder dan tersier (hajiyat dan tahsiniyat).
"Jadi pungutan pajak terhadap sesuatu yang jadi kebutuhan pokok, seperti sembako, dan rumah serta bumi yang kita huni, itu tidak mencerminkan keadilan serta tujuan pajak," tegasnya.
Secara terpisah, Dirjen Pajak Bimo menuturkan hal yang disampaikan MUI tidak bertentangan, tetapi masalah PBB ini cukup menantang. Pemungutan PBB sebenarnya dilakukan oleh pemerintah daerah, bukan pemerintah pusat pada beberapa waktu lalu.
Dia menilai pajak sama seperti zakat. Konsepnya, dalam penghasilan masyarakat ada hak untuk orang lainnya. Inilah yang dikeluarkan dalam bentuk pajak. Artinya, sama dengan zakat, pajak juga memiliki fungsi redistribusi kekayaan.
"Yang disampaikan MUI tidak bertentangan tapi ada yang cukup challenging," papar Dirjen Pajak dalam Media Briefing dikutip Selasa (12/2/2025).
"Sebagian gaji (penghasilan) itu ada hak orang lain, itu ada fungsi pajak untuk meredistribusi kekayaan," kata Bimo.
(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]

1 hour ago
2

















































